Kajian Tekstual & Konteks Sejarah Perkataan Yesus: Eli/Eloi Eli/Eloi Lama Sabachthani

Perkataan Yesus di kayu salib "Eli/Eloi Eli/Eloi Lama Sabachthani" menarik untuk dikaji secara teliti, karena beberapa polemikus Islam mempersoalkan perkataan tersebut. Polemik tentang hal ini begitu hangat di bahas di media sosial dan dipertajam dengan kajian The Yeshiva Intitute (TYI) dengan mengkonfrontir perkataan Yesus terhadap teks dalam Tanakh Hebrew dan Targum Aramaic. http://yeshivainstitute.net/hello-world-2/. Pada tulisan ini kita akan fokus pada kajian tekstual dari teks perkataan Yesus itu dan melihat kesesuiannya dengan konteks sejarah bahasa-bahasa di Israel pada abad pertama. Pada tulisan berikutnya kita akan menganalisis berbagai versi Tanakh termasuk Tarqum pada masa Yesus dan teknis pengutipannya yang membuktikan bahwa pengutipan itu tidaklah harus secara verbatim atau harus persis kata demi kata.

Berikut ini point utama dari TYI:
[[[Eli Eli lama azvatani אֵלִ֣י אֵ֭לִי לָמָ֣ה עֲזַבְתָּ֑נִי itu bahasa IBRANI sedangkan Eli Eli methul ma shevaqtani א ִלי ֵא ִלי ְמטוּל ַמה ְשַׁב ְקָתִּני itu bahasa ARAM. Bukan gado-gado Ibrani dan Aram.
Methul ma shevaqtani adalah frase Aram yang termaktub dalam Targum Yonathan, dan Lama shevaqtani adalah frase Ibrani atau Aram? Meskipun artinya sama tapi redaksinya BEDA. Masalahnya dari mana Yesus mengutip ucapan tersebut?
Apakah Yesus mengutip dari Targum versi ubahan sendiri atau rabbi-rabbi Yahudi yang telah mengubah teks Targum Yonathan?]]]


Hasil gambar untuk eli eli lama sabakhtani

Preposisi TYI dalam melontarkan tuduhan ini bahwa setiap perkataan yang merujuk ke Tanakh harus berupa kutipan verbatim (kata per kata). Menurutnya teks dalam Tanakh Hebrew tersebut menggunakan Ibrani dan Targum menggunakan Aramik, sehingga perkataan Yesus harus memilih diantara keduanya. Karena kata-kata dari perkataan Yesus terdapat unsur kata Ibrani & Aramik atau tidak sama persis dengan Tanakh Hebrew & Targum, maka disimpulkan Yesus telah keliru mengutip atau Yesus merujuk Targum ubahannya sendiri. Alternatif lain yang diajukan mereka bahwa teks Targum itu "aslinya" terdapat perkataan Yesus secara verbatim, namun kemudian diedit oleh rabi-rabi Yahudi. Alternatif solusi yang diajukan ini berdampak pada “pembenaran” adanya perubahan teks-teks kitab suci oleh orang Yahudi sesuai dengan perspektif teologis Islam.

Kajian TYI ini secara linguistik terkesan cukup powerfull karena ditunjang dengan data tekstual yang cukup memadai. Namun sayangnya pendekatan linguistik ini mengabaikan konteks sejarah berupa penggunaan bahasa yang multilingual di Israel pada masa Yesus serta cara perujukan ke teks-teks Tanakh melalui interpretasi teks-teks apokaliptik messianik yang lazim pada masa itu. Apakah rujukan atau pengutipan harus verbatim? inilah yang menjadi titik persoalan sebenarnya dan bukan pada masalah di permukaan menyangkut perbedaan minor secara tekstual . Sebagai kickback untuk TYI dan polemikus Islam lainnya, bagaimana jika metodologi mereka ini diterapkan ke Quran? akan terlihat terjadinya standard ganda dan Quran tidak akan lulus ujian berdasarkan standard mereka sendiri.

Tulisan ini diawali dengan kajian tekstual terhadap teks-teks yang dipermasalahkan. Transliterasi dilakukan menggunakan standard kaidah linguistik yang ada sedangkan arti dari beberapa kata kunci serta transliterasinya mengacu pada kamus standard Hebrew/Aramaic & Greek yang banyak digunakan dalam dunia akademik yaitu Strong's Hebrew & Greek Dictionaries. Sebagai pembanding digunakan kamus lainnya seperti Thayer, Gesenius & Jastrow. Untuk penjelasan terhadap konteks sejarahnya mengacu pada pendapat pendapat bible scholar sebagaimana tertulis dalam buku & jurnal akademik yang ada.

1. Kajian Tekstual: Sabachthani & Azavthani

Berikut ini teks yang akan menjadi kajian kita: 
Markus 15:34 Eloi, Eloi, lamma sabachthani
Matius 27:46 Eli, Eli, lama sabachthani
Mazmur 22:1 Eli, Eli Lama Azavthani (Catatan: untuk Bible versi Jewish ayatnya Maz 22:2)

Perkataan Yesus di kayu salib ini terdapat perbedaan antara Markus dan Matius pada kata Eloi &; Eli, sedangkan perbedaan antara Markus/Matius dengan Mazmur pada kata Sabachthani dan Azavthani. Untuk itu kita bahas dulu kata Sabachthani dan Azavthani yang paling dipersoalkan para polemikus Islam. Jawaban standard atas masalah ini dengan menyatakan bahwa kata Sabachthani adalah Aramik sedangkan Azavthani adalah Ibrani, namun kedua-duanya memiliki pengertian yang sama. Jika kita perhatikan teks-teks dalam Markus & Matius, pada bagian pertama penulis tidak menerjemahkan perkataan itu tetapi mentransliterasikannya ke Yunani. Nanti pada bagian kedua penulis memberikan terjemahan atau maknanya dalam bahasa Yunani. Untuk itu kita perlu memahami perspektif penulis Injil ini karena mereka lebih tahu situasinya pada masa itu.
Markus 15:34:...Ελωι ελωι λαμμᾶ σαβαχθανι ὅ ἐστιν μεθερμηνευόμενον Ὁ θεός μου ὁ θεός μου εἰς τί με ἐγκατέλιπές. Translit: elOi elOi lamma sabachthani o estin methermEneuomenon o theos mou o theos mou eis ti me enkatelipes
Matius 27:46:... Ηλι, Ηλι, λαμα σαβαχθανι; τουτ εστι, Θεε μου, Θεε μου, ινατι με εγκατελιπες; Translit: Eli Eli lama sabachthani tout estin thee mou thee mou ina ti me enkatelipes. 
Tidak ada perbedaan signifikan dari kedua "terjemahan" ini, hanya perbedaan minor dalam grammar. Markus menggunakan kata Theos dalam bentuk nominatif sedangkan Matius menggunakan kata Thee bentuk vokatif dari Theos serta perbedaan dalam penggunaan conjuction (eis & ina). Sedangkan kata lainnya terutama verb menggunakan kata yang identik "εγκατελιπες" (enkatelipes). Maka bisa dipastikan antara penulis Markus & Matius memiliki pengertian yang sama terhadap perkataan Yesus di kayu salib tersebut. Mari kita bandingkan dengan teks dalam Mazmur 22:1 dalam versi Greek (LXX/Septuginta)
Mazmur 22:1 . ...Ὁ θεὸς ὁ θεός μου, πρόσχες μοι· ἵνα τί ἐγκατέλιπές με; μακρὰν ἀπὸ τῆς σωτηρίας μου οἱ λόγοι τῶν παραπτωμά των μου. Translit: O theos o theos mou, prósches moi: ína tí enkatelipes me
Teks dalam LXX ini tidak ada perbedaan signifikan dengan Markus/Matius khususnya penggunaan kata "Theos" dan "Enkatelipes". Secara sederhana kita rumuskan silogismenya.
Premis 1: Kata "Sabachthani" dalam bahasa Aramik pada injil Matius/Markus diterjemahkan menjadi "Enkatelipes" dalam bahasa Yunani.
Premis 2: Kata "Azavthani" dalam bahasa Ibrani pada Mazmur diterjemahkan menjadi "Enkatelipes" dalam bahasa Yunani pada LXX.
Konklusi: Kata "Sabachtani" memiliki pengertian yang sama dengan "Azavthani".

Karena kata Sabachthani & Azavthani telah mendapatkan tambahan pronomina suffix "thani" maka kita perlu melacak apa kata dasarnya. Langkah pertama kita bandingkan dulu kata Azavthani & Enkatelipes menggunakan Strong's Hebrew & Greek Dictionaries.
Azavthani: H5800 עָזַב ‛âzab aw-zab' A primitive root; to loosen, that is, relinquish, permit, etc.: - commit self, fail, forsake, fortify, help, leave (destitute, off), refuse, X surely.
Enkatelipes: G1459 ἐγκαταλείπω egkataleipō eng-kat-al-i'-po From G1722 and G2641; to leave behind in some place, that is, (in a good sense) let remain over, or (in a bad one) to desert: - forsake, leave.

Akar kata azavthani: azab dan enkatelipes:egkataleipo dari rentang arti semantik kedua kata tersebut memiliki kesamaan pada makna "forsake/leave" dalam bahasa Indonesia artinya "meninggalkan". Langkah kedua kita mengidentifikasi apa kata dasar yang tepat untuk Sabachthani mengacu pada makna "forsake/leave" tersebut. Ada dua kandidat akar kata yang biasa diajukan dari beberapa peneliti berdasarkan kemiripan dengan kata "Sabach" (tanpa prononima thani) yaitu Shebaq (shebak) dan Zebach (zehbakh), ada beberapa variasi transliterasi dari kedua kata ini. Namun dalam tulisan ini kita gunakan transliterasi & arti kata menurut Strong.

Pertama, H7662 שְׁבַק shebaq sheb-ak' (Chaldee); corresponding to the root of H7733; to quit, that is, allow to remain: - leave, let alone.
Kedua, H2077 זֶבַח zebach zeh'-bakh From H2076; properly a slaughter, that is, the flesh of an animal; by implication a sacrifice (the victim or the act): - offer (-ing), sacrifice.
Berdasarkan rentang arti semantik kedua kata tersebut, maka kata yang pertama "shebak" yang paling sesuai yaitu pada makna kata "leave", sedangkan kata zebach makna katanya "sacrifice" tidak ada kaitannya dengan arti dari kata azavthani & enkatelipes.Selanjutnya kita menentukan jenis bahasa dari kata "shebak" apakah Ibrani atau Aramik dengan membandingkan berbagai Hebrew/Aramaic Dictionaries serta menganalisis sebaran & penggunaan kata ini dalam Tanakh. 

Dari uraian arti kata menurut Strong, kata Shebak disebut sebagai bahasa Chaldee, yang diserap ke dalam Aramik menjadi kata standard Aramik. HWF Gesenius dalam bukunya Gesenius Hebrew-Chaldee Lexicon to The Old Testament, 1846 serta Thayer juga menyatakan hal yang sama kata shebak adalah Chaldee. Sebagai kata standard Aramik kata ini digunakan di berbagai Targum (Aramik) sebagaimana dituliskan Marcus Jastrow dalam bukunya Dictionary of Targumim, Talmud and Midrashic Literature, 1926.

Mari kita lihat distribusi penggunaan kedua kata tersebut dalam Tanakh. Kata Shebaq digunakan sebanyak 5 kali tersebar di 5 ayat, kitab Ezra (6:7) dan Daniel (2:44, 4:15, 4:23, 4:26). Jika dicermati ayat-ayat ini hanya terletak pada teks-teks Aramik dalam Tanakh yang menurut bible scholars teks-teks Aramaic tersebut diantaranya Ezra (4:8-6:18;7:12-26) dan Daniel (2:4b-7:28). Daniel 2:4 (JPS) "Then spoke the Chaldeans to the king in Aramaic...". Sedangkan kata zebach digunakan sebanyak 162 kali di 153 ayat dan tidak satupun kata ini terletak di bagian Aramik dari Tanakh.

Kita sependapat dengan TYI dalam menganalisis teori Hamp tentang kata "shavak" sebagai kata Ibrani. Jika yang dimaksud kata shavak adalah shebak, maka meskipun kata itu terdapat dalam Mishnah tidak serta merta diklaim sebagai Ibrani. Karena memang Talmud & Mishnah banyak menyerap kosakata Aramik. Kata original Ibrani untuk makna yang sama dari kata Shebak: forsake/leave yaitu "azav/azab".

Dari kajian ini kita bisa pastikan bahwa akar kata yang tepat untuk Sabachthani adalah Shebaq (Aramaic) dan bukan Zebach (Hebrew). Jika ada yang tetap berpendapat bahwa akar kata sabachthani adalah Zebach yang artinya sacrifice/mengorbankan maka jelas telah berbeda pendapat dengan penulis Markus & Matius. Kedua penulis memahaminya demikian dan menerjemahkan ke Yunani menggunakan kata "εγκατελιπες/enkatelipes" yang artinya “leave/forsake”. Jika yang dimaksud maknanya adalah “sacrifice” maka akan digunakan kata "θυσία/thusia". Kata Shebaq setelah ditambah pronomina menjadi shebaqthani yang ditransliterasikan ke Greek menjadi σαβαχθανί, huruf vokal e & a disamakan menjadi a dan huruf q atau k menjadi huruf ch dalam bahasa Yunani sehingga transliterasi dalam huruf latinnya menjadi Sabachthani.

2. Kajian Tekstual: Eli/Eloi & Lamma
 
Sekarang kita kaji kata Eli & Eloi, mengapa terdapat perbedaan antara Markus & Matius?. Selama ini pemahaman umum yang berkembang kata Eli adalah Ibrani sedangkan Eloi adalah Aramaik. Arti kata Eli menurut Strong, G2241 ἠλί ēli ay-lee' Of Hebrew origin ([H410] with pronoun suffix); my God: - Eli. Kata El merupakan Noun yang merupakan nama ilahi selain Eloah dan Elohim. Setelah ditambahkan pronoun menjadi El-i atau my God/Allahku.

Kata Eloi yang selama ini dikenal sebagai Aramik, menurut saya kurang tepat. Karena kata yang tepat untuk Aramik adalah Elahi terdiri atas kata Elah bentuk noun nama ilahi dalam Aramik ditambah suffix pronoun "i" menjadi Elahi. Contoh penggunaan kata Elahi dalam Aramik bisa dilihat pada bagian Aramik dari Tanakh (Daniel 4:8). Kata Eloi merupakan salah satu varian hasil transliterasi dari Ibrani ke Yunani. Contohnya bisa dilihat dalam versi Greek dari Tanakh (LXX), Hakim-hakim 5:5 ὄρη ἐσαλεύθησαν ἀπὸ προσώπου κυρίου Ελωι, tertulis kata κυρίου Ελωι yang ditransliterasikan menjadi kyríou Eloi, kata Ελωι yang sama terdapat juga dalam Markus 15:34 ελωι ελωι λαμμα σαβαχθανι.

Bagaimana dengan kata λαμμα (Lamma)? Menurut Strokng kata ini adalah Ibrani; G2982 λαμά, λαμμᾶ lama lamma lam-ah', lam-mah' Of Hebrew origin ([H4100] with preposition prefixed); lama (that is, why): - lama. Kata dasarnya dalam Ibrani H4100, maw, mah, maw, mah, meh, A primitive particle; properly interrogitive what? (including how?, why? and when?). Penggunaan kata dasar yang mirip (מָה mâh) juga digunakan dalam teks-teks Aramik dengan makna yang sama (Why/Mengapa), seperti dalam Daniel 2:15 (מָה mâh). Kata ini menurut Strong adalah Aramik/Chaldee merujuk pada kata dasar yang mirip seperti yang digunakan dalam kata "lamma". H4101 מָה mâh maw (Chaldee); corresponding to H4100: - how great (mighty), that which, what (-soever), why.

Dari kajian ini kita telah mengetahui bahwa kata Eli bahasa Ibrani, Lamma bahasa Ibrani/Aramik dan Sabachthani bahasa Aramik. Dari data ini, maka kemungkinan paling kuat bahwa bahasa dasar yang digunakan Yesus adalah Aramik mengacu pada penggunaan kata sabachtani, jika bahasa dasarnya Ibrani maka yang digunakan Azavthani. Kata Lamma memang cenderung Ibrani namun memiliki akar kata yang mirip dengan Aramik, sehingga kata dasarnya Aramik telah mendapat pengaruh dari Ibrani. Khusus untuk kata Eli ada dua kemungkinan, pertama karena berkaitan dengan nama ilahi, orang Israel termasuk Yesus cenderung menggunakan istilah dalam Ibrani dibanding Aramik. Kemungkinan kedua kata El itu sendiri sifatnya generik untuk nama ilahi sebagai kata dasar untuk Elah (Aramik) dan Elohim (Ibrani), sehingga bisa digunakan oleh penutur bahasa Ibrani maupun Aramik.

Kesimpulan dari kajian tekstual ini perkataan Yesus tersebut menggunakan bahasa dasar Aramik yang beberapa katanya telah mendapat pengaruh cukup kuat dari Ibrani. Kesimpulan ini akan kita uji dengan kajian konteks sejarah bahasa-bahasa Palestina pada masa Yesus.

3. Kajian Konteks Sejarah Bahasa-bahasa di Israel pada Abad Pertama

Palestina pada masa Yesus memiliki keanekaragaman bahasa: Yunani, Ibrani dan Aramik bahkan di lingkungan penguasa Romawi digunakan bahasa Latin. Tidak heran tulisan pada salib Yesus (Titulus) dituliskan dalam tiga bahasa. Yoh_19:20 "... kata-kata itu tertulis dalam bahasa Ibrani, bahasa Latin dan bahasa Yunani". Kajian para scholar secara umum menyatakan bahwa orang Israel pada masa itu termasuk Yesus bisa berbahasa Ibrani & Aramik termasuk Yunani walaupun dalam bentuk percakapan yang sederhana.
"..Simultaneously, then, from about the time of the Maccabean revolt until into the third century A.D., the peoples of Palestine coexisted in a state of multilingualism. Native speakers of Hebrew, various dialects of Aramaic, anda Koine Greek lived side by side... Current scholarship tends to support the belief that Jesus may well have spoken at least three languages: Hebrew, Galilean Aramaic, and at least some Greek. Roger T. Macfarlane, Language of New Testament Judea, hal 233
"...This means that for Jesus to have conversed with inhabitants of cities in the Galilee, and especially of cities of the Decapolis and the Phoenician regions, he would have had to have known Greek, certainly at the conversational level..", The Galilee in Late Antiquity, Lee Levine (ed.), Jewish Theological Seminary of America: 1992
Penyebaran bahasa Aramik di Israel di mulai pada periode kerajaan Assyrian (720 SM), pada saat itu Aramik menjadi bahasa internasional (lingua franca) menggantikan Akkadian. Pengaruhnya semakin besar sejak periode Persia (538-332 SM), saat itu Persia menduduki wilayah-wilayah di sekitarnya termasuk daerah Palestina/Israel. Wilayah utara Israel yaitu Galilea yang berbatasan dengan Asyur/Persia jelas terkena dampak paling kuat dibanding daerah selatan: Yudea dan Yerusalem. Pada sekitar tahun 332 SM Alexander dari kerajaan Yunani menaklukan Persia sehingga mengakhiri hegemoni Persia digantikan dengan helenisasi diseantero wilayah mediterania termasuk Palestina, saat itulah bahasa Yunani menancapkan pengaruhnya. Pada masa Yesus bahasa lokal di Palestina menggunakan bahasa Ibrani/Aramik, sedangkan bahasa Yunani merupakan bahasa internasional yang umumnya digunakan dalam perdagangan, diplomasi, & surat menyurat. Makanya injil ditulis dalam bahasa Yunani untuk menjangkau semua orang termasuk non Yahudi. 

Penggunaan bahasa Aramik di Israel tidak saja dampak dari aneksasi kerajaan Persia, namun yang sangat signifikan terjadi saat orang-orang Israel dibuang ke Babel. Saat di Babel mereka diajarkan bahasa Aramik seperti Daniel dan orang-orang muda lainnya dan berinteraksi dengan penduduk setempat menggunakan Aramik. Sekembalinya dari Babel banyak orang Israel telah menggunakan Aramik dan khususnya untuk anak-anak mereka banyak yang tidak berbahasa Ibrani. Neh 13:24 “Sebagian dari anak-anak mereka berbicara bahasa Asdod atau bahasa bangsa lain itu dan tidak tahu berbicara bahasa Yahudi”. Para scholar seperti Joseph a. Fitzmayer telah mengkaji fenomena ini.
"..During the Babylonian captivity (sixth century B.C.) many Jews had been cut off from their homeland; in Babylonia, they had come to use the dominant lingua franca, Aramaic, a sister language of Hebrew. After their return, some of the returnees probably used Hebrew, but the use of Hebrew does not seem to have been widespread. Fitzmyer, Joseph A. “Did Jesus Speak Greek?.” Biblical Archaeology Revi ew, Sep/Oct 1992, 58-63, 76-77.
Bible scholars awalnya cukup banyak yang memandang fenomena pengaruh Aramik ini secara berlebihan dengan beranggapan bahasa Ibrani menjadi bahasa yang mati dan hanya digunakan di sinagoge saja atau dilingkungan keagamaan bangsa Yahudi. Namun dari berbagai penemuan arkeologi dan kajian terbaru, pemikiran ini sudah out of date.
"..Earlier scholarship used to argue that Hebrew had become a dead language after the exile, and that Aramaic was the spoken language of ordinary Jews" M.O Wise "Languages of Palestine" in Dictionary of Jesus and the Gospels, (Downer’s Grove, IL: InterVarsity Press) 1998, c1992. 
Inskripsi arkeologi dari Dead Sea Scroll menjadi salah satu bukti membantah anggapan itu, dengan jumlah teks-teks mayoritas dalam Ibrani dari berbagai dokumen Qumran tersebut. Namun di sisi lain mengambil kesimpulan ekstrim sebaliknya bahwa bahasa utama saat itu Ibrani dan mengecilkan arti bahasa Aramik juga tidak tepat. Karena di lingkungan Qumran yang sektarian dan tertutup itu, jejak pengaruh bahasa Aramik cukup banyak ditemukan walaupun tidak sebanyak Ibrani. Beberapa teks Aramik dari DSS sebagai berikut; Genesis Apocryphon, the Prayer of Nabonidus, the New Jerusalem text, bagian2 dari Enoch literature, a “pseudo-Daniel” cycle, Tobit dan the Testament of Levi. Selain itu kehadiran Targum yang merupakan parafrase Aramik dari Hebrew Tanakh juga menjadi salah satu bukti pengaruh Aramik yang cukup kuat di Israel pada abad pertama.

Persoalan Hebrew vs Aramaic memang masih diperdebatkan para ahli, namun satu hal yang pasti bahwa kedua bahasa ini memang telah eksis di Israel pada masa Yesus. Maka yang perlu dicermati bagaimana kehadiran secara bersama kedua bahasa ini. Beberapa scholar telah menganalisis tentang penyebaran kedua bahasa ini secara geografis bahwa di bagian utara Palestina/Israel yaitu Galilea tingkat konsentrasi pengggunaan Aramik lebih tinggi dibanding Ibrani dibanding bagian selatan; Yudea & Yerusalem. Beberapa scholar menyebut bahasa di Galilea ini sebagai Jewish Palestine Aramaic dan ada pula yang menyebutkan sebagai bahasa Ibrani dialek Galilea. Keterangan mengenai perbedaan bahasa atau dialek ini bisa kita temukan dalam Injil.
Mat 26:69 Sementara itu Petrus duduk di luar di halaman. Maka datanglah seorang hamba perempuan kepadanya, katanya: "Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus, orang Galilea itu. ...
Mat 26:73 Tidak lama kemudian orang-orang yang ada di situ datang kepada Petrus dan berkata: "Pasti engkau juga salah seorang dari mereka, itu nyata dari bahasamu." 
Rabin Chaim seorang jewish scholar menyatakan pendapatnya mengenai perbedaan bahasa/dialek di kedua daerah ini
"...while in Jerusalem mishnaic Hebrew was a home language and probably already also a literary language, and Aramaic a lingua franca, in Galilee Aramaic was a home language..", Rabin, Chaim. “Hebrew and Aramaic in the First Century.” in The Jewish People in the First Century: Section One: Historical Geography, Political History, Social, cultural and Religious Life and Institutions. Edited by Shmuel Safrai and Menahem Stern. Philadelphia: Fortress, 1976.
Tesis Chaim cukup masuk akal mengingat daerah Galilea berbatasan dengan Assyria sehingga tingkat penetrasi Aramik begitu tinggi, disamping itu kondisi Galilea umumnya pedusunan yang kurang maju di banding Yerusalem & Yudea. Kajian Chaim sejalan dengan Michael O. Wise yang menyatakan kurangnya pengaruh Ibrani di Galilea dibanding di Yudea.
"...The fact that the region [of Galilee] came under Jewish control only after some centuries of government by Aramaic and Greek-speaking rulers suggests that Hebrew was much less well known in Galilee than it would have been in Judea..." Michael O. Wise, "Languages of Palestine." Pages 434-44 in The Dictionary of Jesus and the Gospels (IVP: 1992).
Berdasarkan data ini, saya cenderung pada posisi bahwa bahasa dasar yang digunakan Yesus adalah Aramik karena Dia memang besar di Nazareth daerah Galilea dan pelayanannya umumnya di daerah tersebut. Namun pengaruh Ibrani dari bahasa yang digunakan Yesus begitu kuat, sebagaimana terlihat dari penggunaan beberapa kata Ibrani disamping Aramik & sebagian kecil Yunani yang tercatat dalam Injil. Silahkan saja bagi mereka yang berpendapat lain bahwa bahasa dasar Yesus adalah Ibrani, masalah ini bukan fokus tulisan ini. Jika seandainya Ibrani memang bahasa dasar Yesus maka pengaruh Aramik juga begitu kuat terhadap bahasa dasar tersebut. Hubungan saling mempengaruhi ini telah dikaji oleh banyak scholars salah satunya Roger T. Macfarlane.
 "..There is no doubt that Aramaic influenced the grammar and vocabulary of postexilic Hebrew. Aramaic, on the other hand, was no uniformly applied by the various ethnic and cultural groups that received it, Roger T. Macfarlane, Language of New Testament Judea, hal 233 ".
4. Kesimpulan

Kajian konteks sejarah bahasa-bahasa di Israel sejalan dengan kajian tekstual sebelumnya mengenai perkataan Yesus di kayu salib. Apa yang dikatakan Yesus di kayu salib tersebut merupakan kata-kata ungkapan keseharian mereka. Berbagai pengajaran Yesus yang merujuk kepada Tanakh termasuk berbagai perumpamaan dan pengajaran penggenapan nubuatan yang diajarkan Yesus menggunakan ungkapan keseharian dari penduduk Israel pada masa itu. Maka perkataan Yesus di kayu Salib dalam bahasa Aramik dengan pengaruh Ibrani merupakan hal yang wajar pada masa itu. Dari kajian ini pendekatan linguistik lewat kajin tekstual yang teliti, sangat cocok dengan kajian konteks sejarahnya. Sehingga anggapan bahwa kutipan atau rujukan kepada Tanakh harus mengacu secara verbatim pada teks Ibrani (Proto Masoret) atau teks Aramik (Tarqum) tidaklah tepat. Karena pengungkapan kata-kata dari pengutipan itu disesuaikan dengan ungkapan sehari-hari namun maknanya tepat sama dengan apa yang dimaksudkan dalam Tanakh tersebut.
Share:

Analisis Historis atas Teori-teori Yesus Tidak Mati di Kayu Salib

Fakta kematian Yesus memiliki dasar pembuktian yang sangat kuat, baik dari data biblikal maupun extra biblikal. Namun fakta ini ditolak oleh Quran yang muncul sekitar 600 tahun kemudian setelah peristiwa penyaliban & kematian Yesus. Kesarjanaan modern dari berbagai spektrum teologis dari konservatif sampai liberal tidak ada yang menolak salah satu fakta mendasar ini, bahwa Yesus memang telah disalibkan & mati. Bahkan scholar yang dikenal liberal, agnostic & atheis seperti John Dominic Crossan, Bart Ehrman & Gerd Ludemann tidak ada yang berpendapat bukan Yesus yg disalib atau Yesus tidak mati disalib. Namun para sarjana Islam tetap bertahan melawan pendapat mayoritas scholar ini dengan tetap meyakini bahwa Yesus tidak mati sesuai apa yang dinyatakan Quran.

Muncul pertanyaan berkaitan dengan konteks sejarah dari pernyataan Quran tersebut, apakah pernyataan ini memiliki kaitan dengan data sejarah sebelumnya? Atau pernyataan yang benar-benar baru? Sebelum menganalisisnya kita lihat dulu teks Quran yang berbicara tentang hal ini serta melakukan survey terhadap berbagai pendapat para sarjana & ulama Islam dari masa ke masa.

Teks yang menjadi acuan yaitu QS An Nisaa 4:157.
"dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa"
Berdasarkan teks ini muncul teori substitusi (substitution theory) yang menyatakan bahwa bukan Yesus (Isa) yang disalibkan. Namun teori ini tidak terima beberapa sarjana Islam lainnya dengan tafsiran tersendiri atas teks tersebut, mereka berpendapat Yesus memang disalibkan tetapi tidak mati atau hanya pingsan, pendapat ini dikenal dengan nama teori pingsan (swoon theory). Masih ada teori lain namun kurang begitu dikenal yaitu dual sphere/figurativ docetism theory. Kita tidak menganalisis lebih jauh teknis penafsiran atas teks itu dari pendapat-pendapat yang berbeda tersebut. Namun kita lebih menekankan pada analisis sejarah atas teori-teori tersebut. Jika kita menyimak sejarah tafsir Islam, maka terlihat jelas bahwa substitution theory & figurativ docetism theory lebih banyak dipegang para sarjana & ulama Islam awal sedangkan swoon theory lebih populer di masa belakangan.

Hasil gambar untuk jesus crucified swoon theory

Sarjana Islam awal yang diketahui memegang substution theory ini yaitu al-Kalbi (763M) dan sejarawan Islam awal Ibn Ishaq (767M) yang juga menulis biografi Muhammad yang pertama. Selanjutnya ahli tafsir Islam awal yang terkenal Al-Tabari (923M) kemudian sarjana Islam lainnya seperti Abd Al-Jabbar (1025M), Al-Baydawi (1286M), Ibn Kathir (1373M), Al-Suyuti (1505M) dll. Namun mengenai siapa "orang pengganti" tersebut terdapat banyak variasi pendapat. Ada yang menyatakan bahwa dia salah satu murid Yesus dan ada juga menyatakan dia salah satu orang Yahudi yang menangkap Yesus. Ada yang menyebutkan nama orang itu Yudas dan ada beberapa nama lainnya seperti Natyanus (al-Kalbi), Tatanus (Al-Baydawi), Serjes (Ibn Ishaq).

Namun ahli tafsir lainnya mengkritisi substitution theory dengan mengajukan dual sphere/figurative docetism theory seperti Ja'far Ibn Muhammad Al-Sadiq (750M), Al-Sijistani (971M) & Abu Al-Futuh al-Razi (1131M). Theory ini beranggapan bahwa tubuh fisik Yesus yang disalib tetapi jiwanya tidak disalib sehingga tidak ada "orang pengganti" dalam peristiwa penyaliban Yesus. Dari data sejarah tafsir Islam sejak lahirnya Islam sampai abad pertengahan, belum ada data tentang sarjana Islam yang memegang swoon theory, nanti pada abad belakangan mulai banyak sarjana Islam terutama para apologet Islam yang memegang teori ini seperti Ahmed Deedat orator Islam yang terkenal. Termasuk Irena Handono yang menuliskan buku khusus tentang hal ini.

Dari penelusuran berbagai data biblikal, non biblikal & extra biblikal pra Islam ditemukan hanya beberapa dokumen sejarah saja yang memiliki kaitan dengan substitution & figurativ docetism theory namun sama sekali tidak ada petunjuk mengenai swoon theory. Data sejarah tersebut bagian dari injil apokrif & dokumen-dokumen gnostik pada abad ke-2 s/d 5 yaitu The Second Treatise of the Great Seth & Apocalypse of Peter serta pengajaran dari Basilides & Cerinthus sebagaimana ditulis oleh Ireneus (Adv. haer). Sedangkan data awal untuk swoon theory kita bisa mengaitkannya dengan ide tentang teori pingsan yang pertama kali dimunculkan oleh Venturini pada sekitar abad ke-17.

Menurut Ireneus (Adv. haer. 1.24.4), the gnostic Basilides mengajarkan bahwa Yesus tidak menderita melainkan orang lain yang mengantikan dia disalib yaitu Simon dari Kirene  “Rather a certain Simon of Cyrene was compelled to bear his cross for him … and through ignorance and error it was he who was crucified.”. Sedangkan Cerintus menurut Ireneus ((Adv. haer. 1.26.1), Cerintus memiliki pemahaman adanya perbedaan antara Yesus duniawi (the earthly Jesus) dengan Kristus sorgawi (the heavenly Christ). Sehingga yang disalib adalah Yesus duniawi tetapi Kristus sorgawai tidaklah mati “in the end Christ withdrew again from Jesus—Jesus suffered and rose again, while Christ remained impassible inasmuch as he was a spiritual being.”.

Dalam the Apocalypse of Peter (VII.81.7–25) salah satu dokumen gnostik dari Nag Hammadi Library, kita bisa membaca bahwa menurut dokumen ini Petrus melihat ada dua figur yang terlibat dalam penyaliban. Salah seorang mengalami penyiksaan dengan dipaku kaki & tangannya dan orang yang lainnya melihatnya dari atas pohon sambil tertawa melihat peristiwa itu berlangsung. “The Savior said to me, ‘The one whom you saw on the tree, happy and laughing, is the living Jesus; but the one into whose hands and feet they drive the nail is his fleshly part. It is the substitute being put to shame, the one who came to being in his likeness.’”.

Hal yang serupa juga dinyatakan dalam dokumen gnostik lainnya dalam The Second Treatise of the Great Seth (VII.51.20–52.3) “I visited a bodily dwelling. I cast out first the one who was in it, and I went in … He was an earthly man; but I, I am from above the heavens.”. Dalam dokumen ini, Yesus dianggap menolak menyatakan bahwa dia yang disalib melainkan orang lain yaitu Simon "..It was another, their father, who drank the gall and the vinegar; it was not I … It was another, Simon, who bore the cross on his shoulder” (VII.56.6–11).

Dari berbagai data ini, kita bisa melihat adanya pemahaman gnostik yang beranggapan bahwa Yesus tidak disalibkan melainkan orang lain. Pemahaman lainnya bahwa bukanlah Yesus sesungguhnya yang disalibkan melalui hanya tubuh duniawinya saja. Apakah ini mirip dengan pengajaran Quran? yah, untuk substitution theory mirip dengan orang pengganti seperti Simon berdasarkan pengajaran Basilides & The Second Treatise of the Great Seth dan untuk figurativ docetism mirip dengan pengajaran Cerintus & the Apocalypse of Peter. Mungkin karena adanya kemiripan ini sehingga Menachem Ali menyebut tentang The Second Treatise of the Great Seth dalam sebuah seminar saat membahas penyaliban Yesus. Jika kita membandingkan sejarah tafsir Islam atas persoalan ini, adanya kemiripan ini memiliki kaitan dengan pendapat para sarjana Islam awal yaitu substitution & figurativ docetism theory. Hal ini menunjukan juga bahwa swoon theory memang benar-benar pendapat baru yang tidak memiliki rujukan sejarah pada masa lahirnya Islam maupun masa pra Islam.

Namun masalah yang substansial, apakah keterangan tersebut merupakan fakta sejarah yang riil atau tidak. Pernyataan-pernyataan dari Basilides, Cerintus, the Apocalypse of Peter & The Second Treatise of the Great Seth jelas bukanlah fakta sejarah melainkan imajinasi dari para pengikut gnostik. Makanya sejak awal para bapa gereja seperti Ireneus dalam bukunya yang membahas ajaran sesat, telah membantah hal itu seperti pengajaran Basilides & Cerintus tersebut. Demikian pula dengan dokumen gnostik the Apocalypse of Peter & The Second Treatise of the Great Seth yang berisi sinkretisme antara kekristenan & gnostik. Bahkan dari antara dokumen-dokumen tersebut terdapat detail signifikan tertentu yang kontradiktif, seperti yang disalibkan orang lain vs tubuh duniawi Yesus.

Perlu diketahui bahwa munculnya injil apokrif & dokumen gnostik nanti banyak terjadi mulai abad ke-2 yaitu sejak meninggalnya generasi para rasul. Pada abad pertama, ajaran-ajaran dalam kekristenan belum banyak muncul karena masih ada para rasul yang langsung mengcounter ajaran tersebut seperti surat rasul Yohanes menanggapi ajaran docetism. Sejak meninggalnya para rasul, mulai banyak bermunculan pengajar sesat dan juga menuliskan ajaran-ajarannya tersebut yang dikategorikan sebagai injil apokrif. Salah satu motivasi penulisan injil apokrif ini yaitu ingin memasukan bahan-bahan yang tidak ada dalam injil kanonik khususnya kehidupan masa kecil Yesus. Selain itu memasukan pengajaran gnostik dipadukan secara sinkretistik dengan kekristenan seperti paham docetism.

Banyak orang yang tidak paham termasuk Menachem Ali yang mencoba mengambil beberapa bagian tertentu dari injil apokrif untuk menjustifikasi Islam. Justru pemahaman dari kalangan kekristenan gnostik ini lebih menekankan pada aspek keilahian Yesus. Namun kesesatan mereka, terletak pada pemahaman kristologi yang tidak seimbang karena mereka umumnya menolak kemanusiaan Yesus. Hal ini sudah ditanggapi oleh rasul Yohanes dalam suratnya. Makanya mereka menolak Yesus bisa mati karena dianggap Yesus hanya sepenuhnya ilahi. Sehingga sungguh ironi, jika Quran mengadopsi hal ini namun disisi lain menolak keilahian Yesus yang justru posisi Yesus begitu ditinggikan sebagai figur ilahi dalam dokumen-dokumen gnostik tersebut.

Menarik menyimak pendapat salah seorang scholar Raymond Brown dalam bukunya The death of the Messiah, Volume 1 and 2: From Gethsemane to the grave, a commentary on the Passion narratives in the four Gospels (1094). New York; London: Yale University Press. Brown menuliskan
"..Islamic apologists have pointed out that Mohammed would have had no trouble accepting the crucifixion of Jesus; therefore the fact that he did not accept it shows he got revelation on the subject from God. But we do not know how much orthodox Christianity Mohammed knew; the Arabian Christianity he was acquainted with probably came from Syria and was heterodox. It may have brought with it the gnostic substitution views described above. (Tröger, “Jesus” 217, maintains that certainly the Islamic commentators on the Koran were familiar with gnostic texts.)..". 
Menurut Brown informasi yang terdapat dalam Quran tersebut kemungkinan didapatkan dari ajaran kekristenan heretik yang ada di Arabia. Hal ini sejalan dengan beberapa pendapat scholar lainnya seperti J. Spencer Trimingham  dalam bukunya Christianity Among the Arabs in Pre-Islamic Times, London, Longman, 1979.

Dari analisis historis ini kita bisa melihat bahwa anggapan bahwa Yesus tidak mati di kayu Salib, baik pendapat yang menyatakan bukan Yesus yang disalibkan tetapi orang lain maupun pendapat Yesus memang disalib tetapi tidak mati hanya pingsan, kesemua teori ini tidaklah memiliki dasar yang kuat. Rujukan sejarah yang ada dari substitution & figuratif docetisme theory justru membuktikan adanya pengaruh injil apokrif & dokumen gnostik terhadap Quran. Dan dokumen-dokumen itu seperti kisah tentang penyaliban bukan merupakan fakta sejarah melainkan imajinasi dari pengikut gnostik yang dianggap sebagai sebuah fakta sejarah dalam Quran.
Share:

Genealogy Discussion (Seri 2): Yesus Keturunan Daud Melalui Maria

Artikel ini ditulis pertama kali tanggal 20 Desember 2013 & diupdate tanggal 11 Agustus 2017. Pada awalnya tulisan ini menjawab bantahan polemikus muslim yang mempersoalkan Yesus sebagai keturunan Daud secara daging. Bantahan ditujukan pada pernyataan pihak Kristen bahwa silsilah dalam Lukas adalah silsilah Maria. Selanjutnya tulisan ini di-update untuk menjawab bantahan Menachem Ali dari The Yeshiva Institute yang mempersoalkan signifikansi Yesus keturunan Daud melalui Maria. Artikel ini menjadi pembahasan kedua menanggapi M Ali setelah sebelumnya pembahasan pertama berjudul Yesus Keturunan Daud Melalui Yusuf Link.


Menurut polemikus muslim, pendapat silsilah Maria dalam Lukas baru muncul pada abad pertengahan oleh seorang bernama Annius Viterbo. Menurutnya  pendapat yang menyatakan silsilah Yusuf dalam Lukas memiliki dukungan data yaitu keterangan dari Julius Africanus tentang Levirate Marriage. Selain itu dipersoalkan juga nama ayah Maria yaitu Yoakim bukan Eli serta Maria sendiri bukanlah keturunan Daud melainkan Harun. Menachem Ali kemudian menambahkan point tentang sistem patrilineal vs matrilineal yang menurutnya bangsa Yahudi menganut sistem patrilineal sehingga Yesus tereliminiasi sebagai keturunan Daud karena Yesus bukanlah anak biologis Yusuf. Untuk itu kita terlebih dahulu membahas pendapat M Ali ini dan selanjutnya membahas secara detail silsilah Maria.

1. Sistem Patrilineal vs Matrilineal
Dalam Tanakh/PL memang disebut tentang penggunaan sistem patrilineal (jalur ayah).
Bil 1:18  And they assembled all the congregation together on the first day of the second month, and they declared their pedigrees after their families, by their fathers' houses, according to the number of names, from twenty years old and upward, by their polls. 

Namun ada pengecualian yang diatur selanjutnya.
Bil 27:8  Dan kepada orang Israel engkau harus berkata: Apabila seseorang mati dengan tidak mempunyai anak laki-laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada anaknya yang perempuan.
Hal ini terjadi pada Maria yang tidak memiliki saudara laki-laki sehingga hak atas milik pusaka atau warisan berpindah ke anak perempuan.

Yoh 19:25  Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. 

Data ini menunjukan bahwa patrilineal (jalur ayah) memiliki pengecualian jika dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka jalur keturunan itu dapat melalui anak perempuan. Bahkan dalam budaya Yahudi pasca era the second temple seperti dituliskan dalam Mishnah (Kiddushin 3:12), jalur ibu menjadi acuan (matrilineal) khususnya dalam konteks perkawinan antara seorang ibu Yahudi dan non Yahudi yang telah convert ke Judaism . Kalaupun jalur ayah (Yusuf) tidak diperhitungkan karena Yesus bukan anak biologis, maka hak kewarisan melalui jalur ibu tetap memiliki legalitas berdasarkan Tanakh/PL (Bil 27:8).

Dalam kajian tentang Yesus Keturunan Daud Melalui Yusuf, Yesus memiliki hak kewarisan secara legal dari ayahNya, sehingga Yesus bisa disebut sebagai keturunan Yusuf. Bahkan melalui Maria berdasarkan data yang telah kita bahas, Yesus juga mewarisi hak kewarisan dari jalur ibuNya. Sehingga Yesus memiliki double hak kewarisan dari ayah & ibuNya sekaligus.


2. Silsilah Dalam Budaya Yahudi
Dalam sebuah diskusi, seorang apologis muslim menyatakan budaya penulisan silsilah (nasab) antara bangsa Arab & Israel hampir sama. Namun apologis itu tidak merinci lebih lanjut dasar pernyataannya. Kalau hanya sekedar penyebutan ben/bin-binti bisa saja sama, tetapi berkaitan dengan "silsilah", apakah orang Arab khususnya masa Arab pra Islam aware terhadap hal ini?

Dalam budaya Yahudi silsilah menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Setiap orang tercatat silsilahnya menurut kaumnya dalam daftar silsilah di desa-desa mereka.

Bil 1:18  dan pada tanggal satu bulan yang kedua mereka menyuruh segenap umat berkumpul. Kemudian silsilah orang-orang Israel disusun menurut kaum-kaum yang ada dalam setiap suku mereka..
1 Taw 9:22  ...Mereka telah terdaftar dalam silsilah di desa-desa mereka.

Bahkan untuk kasus-kasus tertentu seperti jabatan imam mereka akan menyeledikinya secara seksama.
Ezr 2:62  Mereka itu menyelidiki apakah nama mereka tercatat dalam silsilah, tetapi karena itu tidak didapati, maka mereka dinyatakan tidak tahir untuk jabatan imam. 

Apalagi berkaitan dengan kemesiasan yang dipahami mereka adalah anak (keturunan) Daud. Jika Yesus bukan keturunan Daud, maka orang-orang Yahudi akan menggunakan senjata itu menolak kemesiasan Yesus. Anehnya justru para kritikus yang hidup ribuan tahun kemudian yang mempersoalkannya?

Bible Scholars yang meneliti hal ini mengakui keakuratan orang Yahudi dalam penyusunan silsilah. Sebagai contoh Yoshepus yang menyusun daftar silsilahnya sendiri mengacu pada Public Records/Register yang ada, bahkan orang Yahudi di luar Palestina mengirim nama-nama anak mereka ke Yerusalem untuk dicatat.

"...Jews preserved their genealogical tables with remarkable accuracy through all the centuries before the birth of Jesus and also during the first century after His birth.. In his Autobiography (para. I) Josephus states that he reproduces his genealogical table as he found it "in the public records". And in his work Against Apion (i) he relates how Jews—even those who lived outside Palestine—sent the names of their children to Jerusalem to be officially recorded. (Geldenhuys, New International Commentary: The Gospel of Luke).

Demikian juga Maria tentu memiliki catatan silsilah dari jalur ayahnya. Uraian berikut ini memberikan bukti-bukti kuat bahwa di Lukas adalah silsilah Maria atau kombinasi antara silsilah Maria dan Yusuf.


3. Silsilah Maria melalui Lukas

Memang dalam budaya Yahudi penyusunan silsilah lebih ditekankan pada silsilah laki-laki. Namun bukan berarti perempuan tidak punya silsilah, bukankah ayah mereka punya silsilah. Karena bisa saja sebagai perempuan nama Maria tidak disebutkan digantikan dengan nama suaminya.

Selain ayat Bil 27:8 yang telah kita bahas, pada ayat lain disebutkan perempuan yang telah mewarisi milik pusaka itu harus kawin dengan laki-laki yang berasal dari salah satu kaum suku ayahnya.
Bil 36:8  Jadi setiap anak perempuan di antara suku-suku orang Israel yang telah mewarisi milik pusaka, haruslah kawin dengan seorang dari salah satu kaum yang termasuk suku ayahnya, supaya setiap orang Israel mewarisi milik pusaka nenek moyangnya. 

Berdasarkan keterangan ayat ini, pendapat tentang silsilah Maria dimungkinkan karena bisa berarti Yusuf & Maria berasal dari suku yang sama. Sekarang kita perhatikan contoh silsilah dalam PL mengenai seorang ayah yang tidak mempunyai anak laki-laki namun jalur keturunan (silsilah) ke bawahnya tidak terputus.

1 Taw 2:34  Sesan tidak mempunyai anak laki-laki, hanya anak-anak perempuan; tetapi Sesan mempunyai seorang budak laki-laki, orang Mesir, yang bernama Yarha. 
1 Taw 2:35  Jadi Sesan memberi anaknya kepada Yarha, budaknya itu, menjadi isteri, lalu perempuan itu melahirkan Atai baginya.

Yarha yang jadi suami dari anak perempuan Sesan adalah orang Mesir yang jelas bukan berasal dari suku Sesan. Apalagi jika suami anak perempuannya berasal dari suku yang sama dengannya. Acuan ini  kita sebut Special Adoption yang membuktikan tidak selalu silsilah harus mengacu pada jalur laki-laki. Sehingga pendapat silsilah di Lukas adalah silsilah Maria sangat dimungkinkan. Bukankah nama anak perempuan Sesan tidak disebutkan, maka wajar jika nama Maria tidak disebutkan.

Pendapat silsilah Maria ini bukan baru muncul pada abad pertengahan sebagaimana dinyatakan Patrizzi tentang Annius Viterbo yang dianggapnya penggagas awal pendapat ini. Banyak scholar lainnya berbeda pendapat dengan Patrizzi misalnya Cornelius Lapide dll. Pendapat silsilah Maria atau teori  Marian Genealogy telah ada di abad-abad sebelumnya seperti oleh John Damascus etc. Hillaries of Poitiers (315-367M) walaupun mungkin tidak menerima teori tersebut, dia menyebutkan tentang adanya pendapat ini. Ini berarti sebelum abad ketiga telah ada pendapat silsilah Maria tidak hanya Julius Africanus mengenai Levirate Marriage atau silsilah Yusuf. Hanya saja catatan Africanus yang sempat terekam sebagai kutipan dalam tulisan Eusebius.
 
Keterangan mengenai nama orang tua Maria dalam injil Apokrif yaitu Yoakim & Anne (Hanna) tidak dilengkapi penjelasan tentang silsilah Maria atau kedua orangtuanya.  Malah tradisi Islam mencampur adukan antara nama ayah Maria (Maryam) dalam Quran yaitu Imran dan mengambil nama ibunya Anne (Hanna) dari injil Apokrif.

Pseudo Matthew Gospel. Chap. 4. ...  And having weaned her in her third year, Joachim, and Anna his wife, went together to the temple of the Lord to offer sacrifices to God, and placed the infant, Mary by name...

Yoakim nama ayah Maria dalam injil Apokrif bisa saja perubahan nama dari Eliakim yang disingkat Eli. Keduanya mengandung nama ilahi Yo=Yehovah dan El=Elohim. Contoh perubahan dapat dilihat dalam PL dari Elyakim menjadi Yoyakim.
2 Raj_23:34  Firaun Nekho mengangkat Elyakim, anak Yosia, menjadi raja menggantikan Yosia, ayahnya, dan menukar namanya dengan Yoyakim.

Selain itu dalam kitab Judith versi Yunani (Septuaginta) pada pasal 4 tertulis nama imam besar Yoakim sedangkan dalam versi Latin (Vulgata) dengan nama Eliakim “..Sacerdos etiam Eliachim scripsit ad universos qui erant contra Esdrelon..”. Perbedaan ini terletak pada perbedaan teks dari beberapa manuscript yang menandakan adanya variasi penyebutan Eliakim-Yoakim yang bersifat interchangeable.

Memang point mengenai nama Eli/Eliakim/Yoakim terkesan spekulatif. Namun jika ditambah dengan penjelasan budaya Special Adoption & pendapat bapa gereja seperti John Damascus, serta penjelasan tentang figur Maria yang menjadi sentral utama dalam narasi Lukas. Maka pendapat bahwa silsilah di Lukas adalah silsilah Maria cukup kuat & masuk akal.

"This conjecture finds some support from the fact that the Matthean birth narrative focuses more on the role of Joseph than of Mary, while Luke’s narrative makes Mary the more central figure in the drama. It also comports with the ancient conjecture that Joseph is ultimately the source of much of the Matthean birth narratives, while Mary is the source for most of Luke’s material. ...." Green, Joel G.; McKnight, Scot; Marshall, I. Howard; editors, Dictionary of Jesus and the Gospels, (Downer’s Grove, IL: InterVarsity Press) 1998, c1992.

4. Silsilah Yusuf & Maria di Lukas
Jika pendapat Africanus mengenai Levirate Marriage (silsilah Yusuf) menjadi acuan, ini  tidak berarti catatan silsilah dalam Lukas hanya milik Yusuf. Karena kemungkinan lainnya silsilah itu juga bisa milik Maria mulai pada level tertentu karena adanya faktor kekerabatan/pertalian keluarga (Consanguinity) antara Yusuf & Maria yang berarti Maria berada pada jalur Nathan sedangkan Yusuf dari jalur Salomo sekaligus Nathan.

Hal menarik dalam buku William Lukyn mengenai jawaban Androinicus (1310M) terhadap pertanyaan orang Yahudi tentang Maria sebagai keturunan Daud. Androinicus menyatakan telah menemukan sebuah tulisan seorang rabi Yahudi (Elijah) yang menyebutkan Maria keturunan Daud. Sekaligus informasi nama orang tua Maria Yoakim dan Anne serta kaitannya dengan Levirate Marriage.

"Why do Christians extol Mary so highly, calling her nobler than the Cherubim, incomparably greater than the Seraphim, raised above the heavens, purer than the very rays of the sun? For she was a woman, of the race of David, born to Anne her mother and Joachim her father, who was son of Panther. Panther and Melchi were brothers, sons of Levi, of the stock of Nathan, whose father was David of the tribe of Judah." William Lukyn, Adversus Judaeos: A Bird's-Eye View of Christian Apologiae until the Renaissance, Cambridge University Press, 2012

Dalam bagian lain di buku Lukyn tersebut juga tertulis hal senada yang mengacu pada dokumen Yahudi Doctrina Jacobi (634M). Dalam dokumen itu disebutkan tentang cemoohan seorang rabi dari Tiberias tentang Maria.
“..Anda he said, Why do the Christians magnify Mary? She is the daughter of David and not Theotokos (i.e. born of God), for Mary is a woman, daughter of Joakim and her mother was Anna. Now Joakim is son of Panther and Pather was brother of Melchi, as the tradition of us Jews in Tiberias has it, of the seed of Nathan, the son of David, of the seed of Judah.. (idem).

Berdasarkan data ini, menjadi jelas bahwa pandangan Julius Africanus tidak bisa dijadikan dasar menolak silsilah Maria di Lukas. Lebih tepatnya silsilah Maria sekaligus silsilah Yusuf yaitu pada Lewi yang memperanakan Melchi kakek dari Yusuf dan Panther kakek dari Maria.

5. Maria keturunan Harun?
Argumentasi muslim lainnya yaitu tesis Maria keturunan Harun. Sepertinya mereka terinspirasi dengan pembahasan seputar masalah penyebutan Maryam saudara perempuan Harun dalam Quran (Surah Maryam 19). Kita tidak akan membahasnya dalam tulisan ini.

Namun point yang relevan, inti argumentasi muslim tentang Maryam saudara perempuan Harun ini yaitu mencoba membangun "link" antara Maryam ibu Yesus dengan Maryam pada masa Musa yang adalah saudara perempuan Harun. Namun jika mencermatinya justru terjadi kontradiksi dengan pendapat muslim bahwa Maria (Maryam) ibu Yesus adalah keturunan Harun. Karena "link" itu mengacu pada saudara perempuan Harun bukannya langsung Harun dan di Quran tidak tertulis Maryam anak Harun.

Sekarang mari kita lihat ayat-ayat Bible.
Luk 1:5  Pada zaman Herodes, raja Yudea, adalah seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet.
Luk 1:36  Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu.

Elizabeth & Zakharia jelas keturunan Harun yang berarti dari suku Lewi (Bil 17:8). Kata kuncinya terletak pada kata "syngenis" yang berarti relative/cousin etc atau sebagai sepupu, tante dan hubungan kekeluargan lainnya. Namun yang jelas bukan hubungan kakak adik apalagi usia Maria dan Elizabeth terpaut jauh. Bisa jadi ibu Maria adalah saudara perempuan Elizabeth atau saudara perempuan ayah Elizabeth.

Kemungkinan Maria keturunan Harun bisa saja, namun bukan berarti dia bukan keturunan Daud. Dalam Bible begitu jelas bahwa Yesus adalah keturunan Daud secara daging yang berarti Maria juga adalah keturunan Daud.

Rom 1:3  tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud
Dalam kitab Ibrani disebutkan bhw Yesus berasal dr suku Yehuda.
Ibr 7:14  Sebab telah diketahui semua orang, bahwa Tuhan kita berasal dari suku Yehuda dan mengenai suku itu Musa tidak pernah mengatakan suatu apapun tentang imam-imam.

Androiicus dalam dialognya dengan orang Yahudi mengutarakan bahwa Yesus tidak saja keturunan suku Yehuda, dia juga keturunan suku Lewi atau keturunan Harun & Daud “.. And our Gospel is true, when itu says that Mary is the kinswoman of Elizaveth, for the tribes of Judah and of Levi were mingled”. William Lukyn, Adversus Judaeos: A Bird's-Eye View of Christian Apologiae until the Renaissance, Cambridge University Press, 2012

6. Bukti Yesus keturunan Daud secara daging melalui Maria.
Point paling penting, lepas dari perbedaan pendapat seputar silsilah ini. Yesus jelas keturunan Daud secara physically/genetic selain secara hukum melalui Yusuf yang mewarisi royal lineage. Sebagaimana ditulis diawal, semua orang Israel tercatat silsilahnya dan catatannya tersimpan dalam dokumen publik (Public Records/Register) di Yerusalem. Dokumen ini bisa diakses dan bisa dijadikan dasar oleh musuh-musuh kekristenan baik orang-orang Yahudi yang belum percaya termasuk penguasa Romawi untuk menyerang kekristenan. Dalam Talmud, Yesus dituduh anak perwira Romawi (Ben Pandera) yang menghamili Maria namun tidak ada catatan yang menolak Yesus atau Maria sebagai keturunan Daud.

Pada dokumen Yahudi kuno seperti Doctrina Jacobi dan acuan Androinicus pada rabi Yahudi masa-masa awal, menyebutkan Maria keturunan Daud. Bahkan telah dikenal di kalangan Yahudi seperti di Tiberias bahwa Maria keturunan Daud “...as the tradition of us Jews in Tiberias has it, of the seed of Nathan, the son of David, of the seed of Judah” (idem).

Berikut rincian tambahan bukti Maria keturunan Daud yang berarti Yesus juga keturunan Daud secara fisik.
Why 5:5  Lalu berkatalah seorang dari tua-tua itu kepadaku: "Jangan engkau menangis! Sesungguhnya, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh meterainy
KPR 2:30  Tetapi ia adalah seorang nabi dan ia tahu, bahwa Allah telah berjanji kepadanya dengan mengangkat sumpah, bahwa Ia akan mendudukkan seorang dari keturunan Daud sendiri di atas takhtanya.

Para bapa gereja yang hidup dekat dengan masa hidup Yesus juga menyaksikan hal ini. Seperti Ignatius dari Antiokhia (110M).
“...For the Son of God, who was begotten before time began, and established all things according to the will of the Father, He was conceived in the womb of Mary, according to the appointment of God, of the seed of David, and by the Holy Ghost. Epistle of Ignatius to the Ephesians Chapter XVIII. - The Glory of the Cross.

Demikian juga dengan injil Apokrif yang dijadikan acuan muslim untuk penyebutan nama orang tua Maria: Yoakim & Hanna juga menyebutkan bahwa Maria keturunan Daud.
“...The blessed and glorious ever-virgin Mary, sprung from the royal stock and family of David”. Gospel of the Nativity of Mary, Chapter 1
"...  And the priest said: Call unto me pure virgins of the tribe of David. And the officers departed and sought and found seven virgins. And the priests called to mind the child Mary, that she was of the tribe of David and was undefiled before God:"  Protevangelium of James,

Bahkan yang menarik ahli tafsir Islam klasik seperti Tabari & Ibn Kathir menyatakan juga Maria keturunan Daud. Berbeda dengan banyak apologis muslim masa kini yang menolaknya termasuk Ahmed Deedat yang mempopulerkan pandangan Yesus bukan keturunan Daud.
al-Tabari menuliskan daftar silsilah Maria melalui Imran sampai ke Salomo.
“...According to Ibn Humayd- Salamah- Ibn Ishaq: As far as I could learn from her lineage, Mary was the daughter of ‘Imran b. Josiah b. Amon b. Manasse b. Hezekiah b. Ahaziah b. Jotham b. Azariah b. Amaziah b. Joash b. Ahaziah b. Joram b. Jehosaphat b. Asa b. Abijah b. REHOBOAM b. SOLOMON. The History of al-Tabari Volume IV - The Ancient Kingdom, The State University of New York Press; Albany, 1987

Demikian juga dengan Ibn Kathir menuliskan tafsirnya mengenai Surah 19:16
“... She was Maryam bint `Imran from the family lineage of Dawud..”

Dari seluruh uraian ini, bukti bahwa silsilah di Lukas adalah silsilah Maria atau kombinasi silsilah Yusuf & Maria begitu kuat. Sehingga bisa dipastikan Yesus adalah keturunan Daud baik secara hukum maupun secara daging. Kesimpulan akhir yang bisa ditarik Yesus memang Sang Mesias anak Daud.

Yoh 7:42  Karena Kitab Suci mengatakan, bahwa Mesias berasal dari keturunan Daud dan dari kampung Betlehem, tempat Daud dahulu tinggal
Mat 22:42  "Apakah pendapatmu tentang Mesias? Anak siapakah Dia?" Kata mereka kepada-Nya: "Anak Daud."

Amin..
Share:

Genealogy Discussion (Seri 1): Yesus Keturunan Daud Melalui Yusuf

Penulis dari The Yeshiva Institute bernama Menachem Ali selanjutnya disingkat M Ali menuliskan kajian seputar silsilah Yesus & Muhammad Link 1, Link 2 & Link 3.  Dalam tulisannya M Ali berupaya menyajikan data & intepretasi bahwa Muhammad berdarah Yahudi yang berarti keturunan Ishak sekaligus keturunan Ishmael. Di sisi lain yang bersangkutan mendiskreditkan perihal silsilah Yesus dalam injil Matius & Lukas bahkan menyerang masalah orang tua Yesus berdasarkan literatur rabbinik. Kajian tersebut memang terkesan akademik dengan argumentasi yang terlihat powerfull, namun jika diteliti secara cermat ternyata banyak kelemahan dengan argumentasi & data yang digunakan. Bahkan tanpa disadari atau memang disadarinya, beberapa point argumentasinya justru menyerang otentitas Quran itu sendiri.

Mengingat persoalan yang dibahas cukup kompleks, maka tanggapan atas kajian M Ali akan dibagi 5 (lima) bagian. Pertama, tentang Yesus keturunan Daud melalui Yusuf. Kedua, Yesus Keturunan Daud melalui Maria, telah ditulis sebelumnya Link. Ketiga, menjawab tuduhan Talmud tentang orang tua Yesus yang dianggap sebagai pezinah. Keempat mempertanyakan validitas data & signifikansi atas klaim Muhammad berdarah Yahudi dan mempertanyakan historitas klaim Muhammad keturunan Ishmael. Dan kelima, menyajikan perbandingan antara silsilah Yesus & Muhammad serta konklusi pembahasan.

Sebelum kita lanjut dalam pembahasan pertama, kita perlu melihat dua faktor utama yang mendasari diskusi kita yaitu Mesias dari keturunan Daud & kelahiran Yesus dari perawan Maria (The Virgin Birth). Berikut ini data tentang kedua faktor penting tersebut.
= Mesias keturunan Daud
Yes 11:1  Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah
Yer 23:5  Sesungguhnya, waktunya akan datang, demikianlah firman TUHAN, bahwa Aku akan menumbuhkan Tunas adil bagi Daud. Ia akan memerintah sebagai raja yang bijaksana dan akan melakukan keadilan dan kebenaran di negeri.

Selain keturunan Daud, Mesias juga disebutkan berasal dari keturunan Yehuda salah satu anak Yakub/Israel. Namun kita fokus pada pembahasan keturunan Daud yang merupakan bagian utama dari pengharapan mesianik bangsa Israel.

= The Virgin Birth
Dalam injil Mat 1:18 disebutkan bahwa Maria telah mengandung dari Roh Kudus sebelum Yusuf & Maria hidup sebagai suami istri. Demikian pula dalam penulisan silsilah Yesus, kedua penulis injil "aware" dengan adanya fakta The Virgin Birth ini.
Luk 3:23  Ketika Yesus memulai pekerjaan-Nya, Ia berumur kira-kira tiga puluh tahun dan menurut anggapan orang, Ia adalah anak Yusuf, anak Eli. 
Mat 1:16 "Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus".


Dalam injil Lukas digunakan kalimat "menurut anggapan orang" (ōn huios hōs enomizeto) dan dalam injil Matius kata egennçsen (bentuk aorist aktif) artinya "memperanakkan" tidak digunakan untuk menghubungkan Yusuf & Yesus. M Ali mengomentari hal ini dengan menyatakan "...Pada teks Injil Matius 1:1 St. Matius berbicara silsilah Yesus dalam konteks teologis, sebaliknya pada Injil Matius 1:16 ternyata St. Matius berbicara justru dalam konteks historis yang sebenarnya, karena secara de facto Yesus memang tidak memiliki nasab dari jalur Yusuf secara biologis..". Pada bagian lain M Ali menyatakan ".. susunan redaksi teks Matius 1:16 justru berubah 360% yakni berpola dogmatis, bukan berpola genetis..".

Saya kira pernyataan M Ali tidak tepat, justru penulis injil Matius menyajikan data historis apa adanya bukan pernyataan dogmatis seperti klaim M Ali. Bukankah dalam ayat berikutnya (Mat 1:18) dituliskan narasi tentang kehamilan Maria yang tidak ada unsur keterlibatan Yusuf, sehingga penulis ini memang "aware" terhadap faktor "The Virgin Birth" atas kelahiran Yesus. Karena dalam ayat 16 penulis secara jelas menyebutkan Maria yang melahirkan Yesus dan bukan Yusuf memperanakan Yesus.

Ok mari kita masuk pada inti pembahasan tentang Yesus sebagai Keturunan Daud melalui Yusuf.
Image result for Jesus Joseph

M Ali merumuskan kriteria Mesias dengan tiga kategori "... seorang Messiah harus (1) seorang laki-laki dan bukan seorang perempuan, (2) nasabnya harus bersambung dari jalur garis ayah (lineage of the father) karena sistem silsilah merujuk pada sistem patriakhal, dan bukan bersambung pada jalur garis ibu, (3) dia nasabnya bersambung kpd Raja Daud..". Saya sependapat dengan kategori 1 & 3, namun berbeda pendapat dengan kategori 2 karena yang disebut sebagai keturunan Daud tidak harus melalui jalur ayah tetapi bisa juga melalui jalur ibu dan Yesus memenuhi kedua jalur tersebut. M Ali kemudian menambahkan penjelasan bahwa keturunan dari jalur ayah itu harus keturunan secara biologis dan Yesus tidak memenuhi syarat berdasarkan kriteria tersebut  "...status jalur 'biologis' tidak ada hubungan sama sekali antara Yesus & Yusuf..". Namun masalahnya tidak data yang secara jelas menegaskan tentang point keturunan biologis ini.

Ok mari kita bahas secara detail tentang hal ini, terlebih dahulu membahas tentang keharusan keturunan biologis untuk penyebutan seorang anak. Apakah disebut sebagai anak yang sah haruslah anak kandung secara biologis? Data dari Tanakh & literatur rabbinik jelas berkata tidak. Memang untuk anak non biologis biasa kita kenal dengan sebutan anak angkat atau anak adopsi. Namun dari data yang ada, hampir tidak ada perbedaan signifikan antara anak biologis vs anak non biologis karena keduanya sama-sama disebut sebagai anak.

Pertama-tama kita lihat dari data yang diajukan M Ali tentang Levirate Marriage dalam pembahasannya atas silsilah dalam injil Lukas. ".. Jadi Yusuf bukan anak angkat Eli, karena konsep anak angkat tidak dikenal dalam silsilah, yang dikenal hanyalah silsilah dalam perkawinan Levirat (Ulangan 25:5-6)".
Ulg 25:5  "Apabila orang-orang yang bersaudara tinggal bersama-sama dan seorang dari pada mereka mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka janganlah isteri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya; saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi isterinya dan dengan demikian melakukan kewajiban perkawinan ipar.
Ulg 25:6  Maka anak sulung yang nanti dilahirkan perempuan itu haruslah dianggap sebagai anak saudara yang sudah mati itu, supaya nama itu jangan terhapus dari antara orang Israel.


Dalam aturan tentang Levirate Marriage disebutkan tentang seseorang yang telah kawin kemudian mati dengan tidak meninggal anak laki-laki, maka saudara dari yang meninggal itu kawin dengan istri dari yang meninggal itu. Anak laki-laki yang lahir dianggap sebagai anak dari yang meninggal itu. Ini berarti anak itu adalah anak non biologis dari yang meninggal. Sebenarnya hal ini sudah ada sebelum Taurat diberikan kepada Musa yaitu pada masa Yakub. Kej 38:8  Lalu berkatalah Yehuda kepada Onan: "Hampirilah isteri kakakmu itu, kawinlah dengan dia sebagai ganti kakakmu dan bangkitkanlah keturunan bagi kakakmu."

Dari data ini, point saya jelas bahwa yang disebut anak tidaklah harus anak secara biologis. Ketentuan ini memang secara khusus diatur dalam aturan Levirate Marriage dan bisa dikatakan sebagai "special adoption". Hal seperti ini bisa juga terjadi dalam kondisi lain seperti antara Yusuf & Yesus.

Selanjutnya kita lihat data tentang Musa yang diangkat sebagai anak oleh puteri Firaun.
Kel 2:10  Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya, dan menamainya Musa, sebab katanya: "Karena aku telah menariknya dari air."
M Ali memberi komentar tentang hal ini ".. Fir'aun mengangkat Musa sbg anak angkat, karena Musa bukan anak istrinya. Dan itu pun tradisi Mesir, bukan tradisi Yahudi. Musa adalah anak orang Ibrani, atau anak orang lain yang dibuang, lalu diangkat menjadi anak angkat oleh Firaun...".

M Ali menyatakan hal itu bukanlah tradisi Yahudi melainkan tradisi Mesir, namun sayangnya M Ali yang familiar dengan literatur rabbinik justru mengabaikan data yang ada dalam Talmud yang bertentangan dengan pernyataan tersebut.
"..R. Simon b. Pazzi once introduced an exposition of the Book of Chronicles as follows: 'All thy words are one, and we know how to find their inner meaning'. [It is written], And his wife the Jewess bore Jered the father of Gedor, and Heber the father of Socho, and Jekuthiel the father of Zanoah, and these are the sons of Bithya the daughter of Pharaoh, whom Mered took. Why was she [the daughter of Pharaoh] called a Jewess? Because she repudiated idolatry, as it is written, And the daughter of Pharaoh went down to bathe in the river, and R. Johanan, [commenting on this,] said that she went down to cleanse herself from the idols of her father's house. 'Bore': But she only brought him [Moses] up? - This tells us that if anyone brings up an orphan boy or girl in his house, the Scripture accounts it as if he had begotten him. 'Jered': this is Moses. Why was he called Jered? Because manna came down [yarad] for Israel in his days..." (Talmud Mas. Megillah 13a)

"And his wife Ha-Jehudiah bore Yered the father of Gedor [and Heber the father of Soco, and Jekuthiel the father of Zanoah] and these are the sons of Bithia the daughter of Pharaoh, whom Mered took. Now, 'Mered' was Caleb; and why was he called Mered? . - Because he opposed the counsel of the other spies. But was he [Moses] indeed born of Bithia and not rather of Jochebed? - But Jochebed bore and Bithia reared him; therefore he was called after her". (Talmud Mas. Sanhedrin 19b)

Keterangan dalam Talmud ini merupakan interpretasi atas tulisan dalam kitab Tawarikh (JPS/Jewish Publication Society)
1Tw 4:17  And the sons of Ezrah: Jether, and Mered, and Epher, and Jalon. And she bore Miriam, and Shammai, and Ishbah the father of Eshtemoa -
1Tw 4:18  and his wife Hajehudijah bore Jered the father of Gedor, and Heber the father of Soco, and Jekuthiel the father of Zanoah - and these are the sons of Bithiah the daughter of Pharaoh whom Mered took.


Dalam Talmud ini disebutkan tentang puteri Firaun bernama Bithiah (daughter of God) yang kemungkinan diberi nama itu setelah convert ke Judaism. Kemudian disebut sebagai Jehudijah atau diterjemahkan secara literal menjadi "Jewess" dalam Sanhedrin. Bithiah ini kawin dengan Mered dan melahirkan beberapa anak. Namun yang menarik salah satu anak bernama Jered menurut Talmud adalah Musa (Moses) yang secara genetis anak dari Jochebed dan Amram (Kel 6:20), tetapi Jered ini tetap disebutkan sebagai anak dari Bithiah.

Terlepas dari benar tidaknya intepretasi dari Talmud ini, pointnya tetap jelas bahwa perihal anak adopsi bukan hanya tradisi Mesir melainkan juga bagian dari tradisi Yahudi. Sebagai data tambahan dari Midrash yang meneguhkan point tersebut. Shemot Rabbah 46:5 He who brings up a child is called “Father,” not he who merely begot him.

Sekarang kita lihat data seputar Yesus sebagai anak Yusuf.
Dalam Matius 1:18 dituliskan tentang Maria yang bertunangan dengan Yusuf keturunan Daud dan Maria ternyata telah mengandung dari Roh Kudus sebelum mereka hidup sebagai suami istri. Masalah tentang pertunangan dan kaitannya dengan status suami istri bisa disimak di Link ini. Hal ini membuat Yusuf akan menceraikan Maria yang dianggapnya telah berzinah atau telah berhubungan seks dengan orang lain (Ay 19). Tuduhan ini dikembangkan dalam Talmud dan sayangnya M Ali ikut serta mendukung tuduhan Talmud itu, padahal Quran sendiri menerima konsep "The Virgin Birth" dan tidak menerima tuduhan zinah tsb. Tetapi malaikat Tuhan datang menjumpai Yusuf dan menegaskan untuk tetap mengambil Maria sebagai istri dan menjelaskan bahwa kandungan Maria dari Roh Kudus (Ay 20-21) dan Yusuf melakukan apa yang diperintahkan malaikat itu (ay 24-25).

Dari narasi ini, Yesus jelas lahir dari keluarga Yusuf & Maria serta Yusuf menerima Yesus sebagai anaknya. Hal ini semakin dipertegas dengan ritual Sunat kepada Yesus yang dilaksanakan Yusuf & Maria (Luk 2:21), membawa anak itu ke Yerusalem untuk diserahkan kepada Tuhan (Luk 2:22-23) dan secara rutin tiap tahun pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah (Luk 2:41). Pada usia ke-12, Yesus dibawa ke Yerusalem dan terpisah dengan kedua orang tuanya. Saat Yesus ditemukan oleh orangtuaNya, ibuNya bertanya kepadaNya "..lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau (Luk 2:48). Maria menyebutkan kalimat "Bapa-MU dan aku.." yang menunjukan dengan jelas bahwa Yusuf adalah ayah dari Yesus.

Berdasarkan semua data ini tidaklah terlihat perbedaan signifikan antara anak biologis dan anak non biologis karena sama-sama disebut sebagai anak. Anak dari hasil Levirate Marriage tetap disebut sebab anak dari saudaranya yang telah meninggal. Musa (Jered) menurut Talmud walaupun bukan anak biologis dari Bithiah (Puteri Firaun) tetap disebut sebagai anak Bithiah. Data lain dari Talmud  juga menegaskan bahwa anak adopsi itu dianggap sebagai anak yang dilahirkan ".. This teaches thee that whoever brings up an orphan in his home, Scripture ascribes it to him as though he had begotten him". (Talmud Mas. Sanhedrin 19b)
Demikian pula Yesus disebut anak Yusuf tidaklah salah, bukankah Maria sendiri menyebutkan bahwa Yusuf adalah ayah Yesus. Dalam ayat-ayat lain Yesus juga disebut sebagai anak Yusuf.
Yoh 6:42  Kata mereka: "Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapanya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari sorga?"
Luk 4:22  Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: "Bukankah Ia ini anak Yusuf?"
Yoh_1:45  Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret."


Lalu bagaimana dengan ayat berikut ini?
Rom 1:3  tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud,
Ayat ini menuliskan tentang Yesus sebagai keturunan Daud menurut daging atau keturunan secara genetik yang merujuk ke Maria. Paulus dalam surat-suratNya banyak berbicara pada aspek inkarnasi Yesus sebagai Firman yang menjadi manusia (Rom 8:3, 9:5, 1 Tim 3:15) sebagaimana juga dituliskan oleh rasul Yohanes (Yoh 1:1, 2 Yoh 1:7). Hal ini berkaitan dengan nubuatan mesianik seperti Mesias yang menderita (Yes 53), Kelahiran sang Mesias (Yes 7:14, Mika 5:1), Mesias yang Ilahi (Yes 7:24, 9:6) dll.

Namun bukan berarti yang disebut sebagai keturunan Daud hanya dari sisi genetik. Pada bagian lain dari PB kita bisa melihat Yesus disebutkan sebagai keturunan Daud secara hukum. Hal ini berkaitan dengan nubuatan mesianik yang berbicara tentang Mesias sebagai Raja sehingga lebih banyak dikaitkan dengan Daud yang keturunannya dijanjikan menjadi Raja yg kekal (Yes 11:1, Yer 23:5). So.. apakah Yesus memiliki legal standing sebagai Mesias sang Raja?

Dalam pembahasan kita sebelumnya, anak hasil dari Levirate Marriage juga disebut sebagai anak dari saudaranya yang meninggal. Hal ini berarti secara hukum anak itu sah sebagai anak dari saudara ayah kandungnya yang telah meninggal sehingga berhak menerima warisan. Demikian pula Yesus berhak menerima warisan dari Yusuf karena Yesus adalah anak yang sah secara hukum. Tidak hanya hukum Yahudi termasuk hukum internasional saat itu yaitu hukum Romawi.

Pertama Yusuf & Maria secara resmi telah bertunangan/menikah (Mat 1:18, Luk 2:5) dan hal ini tentu dicatat secara administratif menurut hukum Yahudi dalam sebuah "public records"termasuk nama anak mereka. "...Jews preserved their genealogical tables with remarkable accuracy through all the centuries before the birth of Jesus and also during the first century after His birth.. In his Autobiography (para. I) Josephus states that he reproduces his genealogical table as he found it "in the public records". And in his work Against Apion (i) he relates how Jews—even those who lived outside Palestine—sent the names of their children to Jerusalem to be officially recorded. (Geldenhuys, New International Commentary: The Gospel of Luke). Kedua, Yusuf & Maria telah membawa Yesus sebagai anak mereka untuk menjalankan ritual Yahudi yaitu Sunat hari ke delapan (Luk 2:21), pentahiran (Luk 2:22-23) dan secara rutin tiap tahun mengikuti ritual Paskah (Luk 2:41), sehingga secara hukum Yahudi Yesus benar-benar anak Yusuf. Ketiga, Yesus sebagai anak mereka telah didaftarkan dalam sensus yang dilaksanakan oleh pemerintahan Romawi (Luk 2:1).

Mari kita lihat kembali pernyataan M Ali tentang hal ini "..Jadi kalau secara hukum TaNaKH, status Yesus yang disebut anak Daud yang dikaitkan dng Yusuf ternyata tidak memiliki makna apapun. Dalam hal ini saya tidak mempersoalkan status hukum Yusuf sebagai keturunan Daud melalui King Salomo, dan laporan Injil Matius itu sesuai dng status hukum dalam TaNaKH, baik ditinjau dari status perkawinan ipar nenek moyang Yusuf maupun bila ditinjau dari status garis ayah biologis beliau. Namun yang kita kaji ini adalah status hukum Yesus, bukan status hukum Yusuf. Yesus tidak memiliki status hukum apa2 bila dikatikan dng Yusuf.."

Berdasarkan kajian ini maka pernyataan M Ali ini tidaklah berdasar, karena Yesus jelas memiliki status hukum sebagai anak Yusuf yang sah. So... apakah Yesus keturunan Daud melalui Yusuf? jawabannya tegas Yah.

Pembahasan bagian kedua tentang Yesus Keturunan Daud melalui Maria silahkan disimak di link ini.
Share:

Benarkah Shur adalah Hijr al-Hijaz menurut Tafsir Saadia Gaon?

Ulasan ini ditujukan untuk menjawab tulisan Menachem Ali (M Ali) yang diposting di website The Yeshiva Institute dengan judul Dimana Lokasi Hijr Al-Hijaz dan Al-Jafar dalam Targum Saadia?. Apologet Islam ini memang selalu memberi kesan sebagai "linguistic expert" namun jika dikaji secara seksama kajiannya cenderung sebuah "word play" demi agenda yang diusungnya. Tema tentang Hijr al-Hijaz sebenarnya telah didiskusikan lewat FB dan saya telah mengklarifikasi tuduhannya seputar "linguistic study", namun M Ali mengabaikannya dan tetap mengulang tuduhannya tersebut dengan memainkan Strawman Argument.
Share:

Apologetika Islam & Tafsir Saadia Gaon

Sudah hal biasa apologis Islam berupaya mencari rujukan teks dalam Bible untuk mendukung eksistensi Islam. Berbagai ayat ditafsirkan secara eisegesis berdasarkan kemiripan atau kecocokan tertentu dengan mengabaikan konteks dari teks yang dimaksud. Sehingga makna sebenarnya dari teks digantikan dengan makna sesuai keinginan penafsir. Pendekatan ini dipopulerkan oleh debator Islam Ahmed Deedat dan diteruskan oleh penerusnya Zakir Naik. Cara yang lebih "ilmiah" melalui kajian linguistik yang lebih tepat disebutkan sebagai "word play" dilakukan Benyamin Keldani dalam bukunya Muhammad in the Bible. Belakangan ini apologis Islam seperti The Yeshiva Institute (Menachem Ali dkk) mulai concern dengan pendekatan historis dengan mencari sumber-sumber ektrabiblikal terutama literatur rabbinik untuk mendukung posisi Islam. Rujukan utama mereka pada Tafsir Saadia Gaon, seorang rabbi di era Gaonim pada sekitar abad ke-10 yang memberikan beberapa detail informasi yang dianggap mengkonfirmasi pernyataan Quran.

Sebenarnya sangat banyak detail informasi  dari berbagai literatur rabbinik seperti Targum, Talmud, Midrash dan tulisan rabbi-rabbi Yahudi, namun informasi yang diambil TYI hanya bagian sangat kecil yang dianggap cocok dengan teologi Islam. Kepingan informasi itu dikemas dan di-blow up sedemikian rupa dalam framework apologetis Islam. Padahal hal-hal yang substansial yang seharusnya ada kalau memang benar-benar ada justru tidak ada data penunjangnya. Misalnya konsep Tahreef Bible, nubuat kenabian Muhammad, Ismail sebagai anak dikorbankan, eksistensi kabbah & blackstone dll justru tidak ada petunjuk yang bisa mereka dapatkan dari literatur rabbinik yang ada karena memang nihil.

Dalam artikel ini kita secara khusus mengkaji tentang Rabbi Saadia Gaon disingkat Rasag yang Tafsirnya menjadi sumber rujukan utama pihak TYI. Ruang lingkup kajian ini mencakup latar belakang sejarah tafsir Rasag, metodologi penulisannya dan pendapat Rabbi  & Jewish Scholars serta kajian singkat atas literatur rabbinik awal. Sumber referensi yang digunakan adalah tulisan para Scholar yang memang disegani dalam dunia akademik. Namun artikel ini belum masuk pada kajian yang lebih detail seperti kajian linguistik terhadap primary sources. Kajian yang lebih teknis akan menyusul ditulis & publish setelah artikel ini.

Sebelum lebih lanjut, perlu diluruskan dulu opini yang dibangun pihak TYI yaitu Menachem Ali & Ismaun Ghofur yang memposisikan kami seakan-akan menolak tulisan Rasag secara keseluruhan. Ismaun Ghofur dalam sebuah diskusi di FB menyatakan ".. Kristen menolak tafsir Rasag hanya karena alibi penolakan tanpa dasar ilmiah adalah sebuah upaya apologetika tanpa pertanggungjawaban akademik, fakta tradisi Rabbinik justru menerima sepenuhnya Tafsir Rasag..". Padahal tidak ada pernyataan kami yang menolak tafsir Rasag dalam pengertian tafsir secara keseluruhan, melainkan harus dilihat case by case seperti tafsir Rasag atas Kej 10:30 yang menurut kami tidak tepat.

Kekristenan dan Yudaisme terutama sejak era abad pertengahan berbeda pendapat dalam penafsiran teks-teks messianik dalam Tanakh/PL, namun dalam penafsiran ayat-ayat lain umumnya tidak ada perbedaan yang substansial. Sebaliknya pernyataan Ismaun Ghofur bahwa tradisi rabbinik menerima sepenuhnya tafsir Rasag justru bertentangan dengan data yang ada karena dalam beberapa detail tertentu rabbi-rabbi lain seperti Ibn Ezra, Rashi, Radak dll tidak sependapat dengan Rasag. Bahkan beberapa Jewish Scholar masa kini mengkritisi metodologi penafsiran yang dilakukan Rasag. Herannya TYI yang mengklaim bahwa pihak yang mengkritisi Rasag dianggapnya tidak akademik, justru tidak memberlakukan data seputar Rasag secara proporsional tetapi terlalu melebih-lebihkan melampaui kapasitas data yang ada. Apakah pihak TYI memang sepenuhnya menerima tafsir Rasag dan konsisten dengan sikapnya ini?

Kita akan menggali lebih lanjut masalah ini diawali dengan pembahasan latar belakang sejarah tafsir Rasag. Selanjutnya mencermati metodologi penafsiran yang dilakukan serta memperhatikan pendapat dari rabbi Yahudi dan Jewish scholars.

A. LATAR BELAKANG SEJARAH TAFSIR RASAG
Saadia Gaon (Rasag) merupakan salah satu rabbi terkenal di era Geonim, lahir di tahun 882 M di distrik Fayyiim Mesir dan meninggal di tahun 942M pada abad ke-10. Pada awal tahun 920 M menjadi figur penting di lingkaran rabbinik dan di tahun 928 diberi posisi sebagai Gaon kepala Akademi Sura sekolah rabinnik yang berada di Baghdad. Biografi lengkap Rasag ditulis Henry Malter dalam bukunya Saadiah Gaon: His Life and Works (Philadelphia, 1921).

Pada masa hidup Rasag, pemerintahan Islam telah berkuasa di seputar Timur Tengah, Afrika Utara dan seputar Mediterania sampai ke Andalusia Spanyol. Pasca kejayaan dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus, dinasti selanjutnya dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad melanjutkan hegemoni pemerintahan Islam. Kehadiran pemerintahan Islam pada masa Rasag di abad pertengahan telah memberi dampak semakin meluasnya pengaruh Islam dan budaya Arabic di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Pihak minoritas seperti Yahudi & Kristen memang dilindungi terutama bagi mereka yang taat terhadap penguasa ditandai dengan memberikan pajak (jizyah). Namun kuatnya pengaruh Islam dan budaya Arabic ikut mempengaruhi kehidupan orang Yahudi & Kristen pada masa itu.

Teguh Hindarto telah melakukan kajian cukup komprehensif latar belakang sejarah masa hidup Rasag dalam tulisannya Saadia Gaon dan Tumbuhnya Tradisi Penulisan Judeo Arabic di Era Pemerintahan Islam: Tinjauan Sosio Historis. Dalam tulisan itu Hindarto menggambarkan keberadaan pemerintahan Islam dan dampaknya terhadap kehidupan orang Yahudi pada masa itu, salah satunya berkaitan dengan penggunaan bahasa Arab "...Sejak pemerintahan Islam menaklukkan negara-negara besar di atas (Persia, Spanyol, Konstantinopel), bukan saja warga negara yang ditaklukkan memiliki status dhimmi melainkan terjadi penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa lisan dan tulisan serta media penyebarluasan pengetahuan dan kebudayaan dengan menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani klasik yang menjadi basis perkembangan sains modern di kemudian hari. Bukan hanya karya-karya filsafat Yunani klasik melainkan naskah-naskah keagamaan Yahudi/Yudaisme pun diterjemahkan dalam bahasa Arab.." hal 5.

Rasag merupakan rabbi Yahudi yang merintis penerjemahan Torah secara lengkap ke dalam bahasa Arab. Uniknya terjemahan berbahasa Arab itu tetap menggunakan karakter Hebrew yang diistilahkan dengan nama Judeo Arabic. Hindarto menyatakan bahwa kehadiran bahasa Judeo-Arabic merupakan cara komunitas Yahudi beradaptasi terhadap pengaruh dan dominasi pemerintahan Islam. Rasag yang hidup di lingkungan pemerintahan Islam terutama saat dia menjadi kepala Akademi Sura di Baghdad yang menjadi pusat pemerintah dinasti Abbasiyah melakukan penerjemahan Torah ke dalam Arabic karena kondisi yang mengharuskan dia melakukan hal seperti itu.

Penerjemahan yang dilakukan Rasag juga melibatkan penafsiran Rasag atas teks-teks Torah sehingga tulisannya lebih tepat disebut Tafsir dalam bahasa Arab dibanding Tarjamah sama seperti Targum yang merupakan parafrase Torah/Tanakh dalam Aramaic. M. Polliack menyatakan hal tersebut dalam bukunya The Karaite Tradition of Arabic Bible Translation: A Linguistic and Exegetical Study of Karaite Translations of the Pentateuch from the Tenth and Eleventh Centuries C.E. (Leiden, 1997)  ".. Saadiah's awareness of the interpretive nature of his translation of the Pentateuch may explain its designation as tafsir; a term which better conveys this sense than the term tarjamah.." hal 86. Dalam kajian kita selanjutnya, tidak hanya sebatas pengaruh penggunaan Arabic terhadap Rasag namun juga adanya serapan Islamic Terms dalam proses penerjemahan/penafsiran yang dilakukan Rasag.

B. SERAPAN “ISLAMIC TERMS” DALAM TAFSIR RASAG
Saadia Gaon dalam tafsirnya atas Torah menggunakan beberapa Islamic terms seperti Allah sebagai kata ganti YHWH & Elohim, Imam, Rasul, Musa dan sebagainya. Penggunaan terms dari luar sebagai bahasa serapan merupakan hal yang biasa seperti bahasa Indonesia yang menyerap kata-kata dalam bahasa Arab, Ibrani, Sansekerta dll yang juga digunakan dalam Alkitab dan terjemahan Quran. Quran sendiri dalam bahasa aslinya Arab juga terdapat kosakata serapan dari bahasa Ibrani, Yunani dsb. Namun masalahnya, Rasag melangkah lebih jauh dengan menggunakan Islamic Terms yang umumnya nama-nama geografis yang ada dalam Torah digantikan dengan nama yang ada dalam tradisi Islam yang lokasinya berbeda.

Pihak apologis Islam seperti TYI mengklaim bahwa nama-nama geografis itu dalam tradisi Islam yang disebutkan dalam Tafsir Rasag merujuk pada lokasi yang sama. Sehingga hal ini menguatkan upaya pihak Islam membangun benang merah antara Islam dan tradisi sebelumnya sebagaimana tercatat dalam Tanakh/PL. Beberapa Islamic Terms yang dimaksud adalah:
  • Mecca = Mesha dan Madinah = Sefar dalam tafsir Kej 10:30
  • Mata air Zam-zam = sumur Lahai Roi dalam tafsir Kej 16:13-14
  • Al-qiblah untuk Negeb dalam tafsir Kej 12:9, 13:1
  • Hijr Al-Hijaz = Shur dalam tafsir Kej 16:7 dan lain-lain. 
Untuk mendukung tafsir Rasag, pihak TYI mengajukan kitab Asathir yang diklaim sebagai Targum Samaritan yang di dalamnya ada tulisan Bakkah. Selain itu mereka melakukan eisegesis atas kata boakah sebagai Bakkah dalam Kej 25:18 serta menafsirka lembah Baka dalam Maz 84:7 sebagai Bakkah/Mekkah. Kemudian mencoba mengangkat figur Ismael yang diklaim setara dengan Ishak karena sama-sama sebagai anak (benih) Abraham.
Masing-masing point akan dibahas tersendiri melalui kajian detail mengacu pada primary sources serta membandingkan secondary sources yaitu kajian Bible Scholars yang ahli dibidangnya. Secara garis besar bisa dijelaskan secara ringkas nama-nama yang disebut dalam tafsir Rasag berikut ini: 
  • Pernyataan Rasag bahwa Mecca = Mesha dan  Madinah = Sefar justru bertentangan dengan tradisi Islam karena dalam hadist Bukhari disebutkan saat kunjungan Abraham ke Bakkah tempat itu belum berpenghuni dan tafsir Rasag tidak didukung oleh umumnya rabbi-rabbi Yahudi serta analisis historis sebaran keturunan Joktan tidak merujuk ke daerah Mekkah & Madinah.
  • Sumur Lahai Roi yang dianggap sebagai mata air Zam-zam juga bertentangan tradisi Islam yang menyebutkan mata air Zam-zam ditemukan oleh Hagar & Ismael sedangkan dalam Tanakh sumur Lahai Roi ditemukan oleh Hagar dan saat itu Ismael belum lahir. Letak sumur Lahai Roi di antara Kadesh & Bered di selatan Palestina bukan di Arabia.
  • Kata al-qiblah sebagai Negeb juga tidak tepat karena kata Negeb bisa merujuk pada nama tempat (tanah Negeb) yang berada di wilayah selatan Israel atau arah selatan dan tidak ada sangkut pautnya dengan arah Qiblah ke Kabbah di Mekkah. 
  • Kata Hijr Al-Hijaz = Shur tidaklah tepat karena Shur yang dimaksud masih terletak di wilayah selatan Israel dekat dengan Kadesh, sedangkan Hijaz nama kuno untuk sebuah wilayah yang berada di Arabia. Kata Hagra dalam Tarqum juga tidak merujuk pada Mekkah melainkan dibagian selatan Israel. 
Seorang Jewish Scholar bernama David M. Freidenreich telah melakukan kajian cermat terhadap tafsir Rasag dalam tulisan The Use of Islamic Sources in Saadiah Gaon's "Tafsīr" of the Torah", The Jewish Quarterly Review, New Series, Vol. 93, No. 3/4 (Jan. - Apr., 2003). Freidenreich menyatakan "..Saadiah Gaon's influential translation of the Torah into Arabic has long been known to contain countless "mistranslations," passages in which Saadiah consciously modifies the biblical text to conform to Arabic literary style or to his own beliefs and understanding of the Bible. Several of the modifications found in Saadiah's Tafslr derive from Islamic sources, including Islamic terminology and phraseology, Islamic law and tradition, and the Qur'an itself." hal 353.

Freidenreich telah memberikan bukti komprehensif terhadap pernyatannya tersebut tentang "mistranslations". Salah satunya tentang tafsir Rasag mengenai hajr alhijaz=road to shur dalam Kej 16:7 "... Saadiah's Tafsir of Gen 16:7 thus ignores all biblical evidence that Shur is in the Sinai and reports that Hagar received the annunciation of the birth of Ishmael on the road to Mecca, the very location to which, according to Islamic tradition, Abraham took Ishmael and Hagar after Sarah sent them away and the place in which Abraham built the Ka'bah. There can be no doubt that the translation of shur as hajr alhijaz must be due to the influence of Islamic traditions, as Jewish sources ascribe no significance whatsoever to the Hijaz region of Arabia..” hal 374. Demikian pula tentang Mesha = Mecca dan Sefar=Madinah dalam tafsir Kej 10:30, Freidenreich menyatakan "... he (Rasag) translates the locations Mesha and Sephar as Mecca and Medina, respectively; Saadiah was clearly not averse to including references to Islamic sites in the Tafsir.." hal 375-376.

Kajian yang dilakukan David M. Freidenreich tentulah dapat dipertanggungjawabkan secara akademik yang jelas bukan sebuah "pseudo academic" sebuah term yang disematkan pihak TYI terhadap lawan diskusinya. David M. Freidenreich sendiri adalah Associate Professor of Jewish Studies di Colby College. Dia mendapatkan gelar Ph.D dari Columbia University dan rabbinic ordination dari the Jewish Theological Seminary.  Ini merupakan bukti bahwa tafsir Rasag tidak harus diterima sepenuhnya.

Untuk melengkapi pemahaman kita atas masalah ini, kita perlu mengetahui dari mana sumber informasi tentang berbagai Islamic Tems ini. Jika kita kembali pada pembahasan sebelumnya mengenai latar belakang sejarahnya, maka tindakan Rasag ini dilakukan karena kondisi saat itu begitu kuatnya hegemoni Islam. Apalagi dia berada di Baghdad yang merupakan pusat pemerintah dinasti Abbasiyah. Dalam buku H. Malter, Saadiah Gaon: His Life and Works (Philadelphia, 1921), Malter menuliskan pengaruh dari penulis-penulis Islam di Mesir sebelum dia pindah dari Mesir ke Palestina ".. The question is to what extent did Saadia, prompted either by his own desire for learning, or other motives, familiarize himself with the works of Muhammedan authors before his emigration from Egypt to Palestine. We shall have occasion to show the influence of Arabic literature on Saadia in works of his, written beyond a doubt at a later period of his life. Here, only the following passage can be cited to prove that the Arabic influence had begun to show its traces at the time when he was preparing one of his earliest known literary productions, the Hebrew lexicon and rhyming dictionary 'Agron. The very name of this book, written in his twentieth year, is in imitation of titles used by Muhammedan authors for similar works.." hal 39.

C. RABBI-RABBI YAHUDI, JEWISH SCHOLARS & TAFSIR RASAG
Rasag adalah rabbi terkenal di era Geonim (540 - 1040 M) dan selanjutnya di era Rishonim (1040 - 1560 M) bermunculan banyak rabbi yang terkenal dan sering menjadi sumber rujukan Yudaisme seperti Shelomo ben Yitzhak (Rashi), Shmuel ben Meir (Rashbam), Moshe ben Nachman (Ramban), Rabbi Moshe ben Maimonede (Rambam), Avraham ben Meir (Ibn Ezra), David Kimchi (Radak) dll. Namun dari sekian banyak tulisan dari para rabbi ini sangatlah sedikit yang menyebutkan informasi yang sejalan dengan Rasag terhadap penyebutan nama-nama geografis seperti Mesha = Mecca, Lahai Roi = Zam-zam dll.

Memang Radak menyebutkan tentang tafsiran Rasag mengenai Kej 10:30 Mesa=Mecca & Sefar=Madinah, namun bukan berarti Radak sependapat dengan Rasag. Karena Radak justru punya penafsiran sendiri yang berbeda dengan Rasag. Jika memang benar Mesa=Mecca maka informasi ini merupakan salah satu informasi penting yang seharusnya telah diketahui rabbi-rabbi lainnya. Ayat ini dalam perikop Table of Nations secara khusus ayat 30 itu berkaitan dengan sebaran tempat tinggal keturunan Joktan. Namun hanya beberapa Rabbi yang mengulas tentang Joktan dan tidak menyinggung sama sekali tentang keberadaan Mekkah & Madinah tersebut. Satu-satunya konfirmasi dari rabbi-rabbi lain seperti Radak dan Ibn Ezra yaitu tentang sumur Lahai Roi sebagai mata air Zam-zam. Namun mereka hanya menyatakan dugaan saja yang jika dibandingkan dengan tradisi Islam justru kontradiktif. Karena mata air Zam-zam dalam tradisi Islam ditemukan oleh Hagar & Ismael sedangkan Lahai Roi oleh Hagar sendiri & Ismael belum lahir. Mengenai al-Qiblah = Negeb dan Al-Hijaz = Shur, tidak dukungan  pernyataan rabbi-rabbi yang lain.

Bahkan rabbi Abraham Ibn Ezra justru mengkritik penyebutan nama-nama lokasi biblikal dalam tafsir Rasag yang dianggapnya hanya mimpi atau imajinasi Rasag dalam rangka menyesuaikan tafsirannya dengan Islam. Sebagaimana dinyatakan Freidenreich mengenai tafsir Ibn Ezra atas Kej 2:11 "... The 12th-century commentator Abraham Ibn Ezra, who frequently cites and often rejects Saadiah's translational interpretations, comments acerbically that: [Saadiah] did this with families, cities, animals, birds, and rocks. Maybe he saw them in a dream. And he certainly erred in some cases, as I will explain in their proper places. If so, we should not rely on  his dreams. Perhaps he did this for the glory of God. Because he translated the Torah in the language of Ishmael and in their script ..". Idem

Rabbi Saadia Gaon memang diakui dalam tradisi rabbinik sebagai salah satu rabbi yang berpengaruh di samping Rashi, Rambam dll. Namun bukan berarti seluruh tafsirannya harus diterima, buktinya pernyataan-pernyataan berkaitan dengan Mekkah dalam Tanakh tidak mendapat dukungan dari rabbi-rabbi lainnya. Bahkan dari pihak Yudaisme masa kini tidak ada pernyataan yang mendukung tafsir Rasag berkaitan dengan Mekkah tersebut, termasuk Tovia Singer yang cukup dekat dengan Menachem Ali. Demikian pula dalam tulisan-tulisan akademis dari Jewish sholars tidak ada yang memperhitungkan pernyataan Rasag tersebut. Nahum Sarna seorang Jewish Scholar yang disegani dalam commentary-nya atas kitab Kejadian tidak menyebutkan pernyataan-pernyataan Rasag tersebut. Sarna, N. M. (1989). Genesis. English and Hebrew; commentary in English.; The JPS Torah commentary. Philadelphia: Jewish Publication Society. Demikian pula dalam commentary berbobot lainnya diantaranya:
  • Adele Berlin & Marc Zvi Brettler,  The Jewish Study Bible, Oxford University Press, 2004
  • Speiser, E. A, Genesis: Introduction, Translation, and Notes (70). New Haven;  London: Yale University Press, 2008 
  • Skinner, J., A critical and exegetical commentary on Genesis. New York: Scribner, 1910
  • Lange, J. P., Schaff, P., Lewis, T., & Gosman, A, A commentary on the Holy Scriptures : Genesis. Bellingham, 2008
  • Fruchtenbaum, A. G,  Ariel's Bible commentary: The book of Genesis (1st ed.), San Antonio, TX: Ariel Ministries, 2008



D. LITERATUR RABBINIK AWAL & TAFSIR RASAG
Dari mana sumber informasi Rasag dalam menuliskan hal-hal tersebut? masa hidup Rasag di abad ke-10 M sangat jauh dengan masa terjadinya kisah-kisah tersebut pada sekitar abad 18 SM. Jika tafsirnya hanya sebatas tafsiran moral dalam penerapan Torah bisa saja itu sebagai inovasi atau penemuan baru. Namun informasi berupa nama-nama geografis seperti Mesha, Lahai Roi tidak bisa hanya sekedar imajinasi semata, melainkan perlu warisan dari oral tradition dan mendapat konfirmasi dari sumber-sumber yang lebih awal seperti Targum, naskah Qumran, jewish apokriph, jewish pseudopigrapha dan berbagai literatur rabbinik masa-masa awal. Satu-satunya rujukan yang dianggap berasal pada masa awal sekitar abad ke-2 adalah kitab Asathir. Namun uraian dari kitab Asathir juga bertentangan dengan tradisi Islam dan menurut para ahli yang kredibel dalam studi Samaritan Aramaic, kitab Asathir ini merupakan produk belakangan pada abad pertengahan.

Apakah Saadia Gaon mewarisi oral tradition tentang eksistensi Mekkah khususnya di kalangan bangsa Yahudi sebagaimana klaim M Ali? Kisah Abraham & Ismael yang berkunjung ke Mekkah untuk membangun Kabbah/Mekkah terdapat dalam tradisi Islam seperti Quran, Hadist, kitab Tarikh & Tafsir. Kisah ini jelas peristiwa signifikan dalam masa hidup Abraham & Ismael. Namun mengapa kisah ini tidak tercatat dalam Tanakh/PL?. Bisa saja dijawab bahwa Bible telah dipalsukan, namun kapan pemalsuan ini terjadi untuk menghilangkan kisah "penting" tersebut? Adakah referensi sejarah tentang peristiwa pemalsuan itu? Apakah narasi dalam dokumen Dead Sea Scroll yang paralel dengan Tanakh berbasis Masoret Text juga telah dipalsukan?

Jika peristiwa kunjungan Abraham & Ismael ke Mekkah ini benar-benar fakta sejarah, maka seharusnya narasi kisah ini tercatat dalam Tanakh. Demikian pula keberadaan "Black Stone" dan bangunan Kabbah yang menjadi inti dari Mekkah itu sendiri.Tetapi yang diajukan sebagai bukti hanya untuk eksistensi "Mekkah" sedangkan hal yang substansial yaitu narasi kisahnya dan eksistensi Black Stone & Kabbah tidak ada data pendukungnya. Apakah oral tradition yang dimaksud hanya menyangkut eksistensi "mekkah"? Jelas tidak ada oral tradition seperti itu, kecuali berdasarkan pada penafsiran pribadi Rasag tentang Mesha = Mecca, Lahai Roi = Zam-zam, al Qiblah = Negeb, Al-Hijaz = Shur dsb.

Berbagai dokumen kuno yang relevan tidak ada jejak narasi kisah Abraham ke Mekkah, eksistensi Black Stone & Kabbah termasuk Mekkah itu sendiri. Mulai dari berbagai versi Tanakh: Teks Masoret (bah Ibrani), Septuaginta (bah Yunani) dengan berbagai variannya, Samaritan Pentateuch (bah Aramaic) termasuk dokumen-dokumen Dead Sea Scroll. Berbagai dokumen Jewish Apocrypha seperti Esdras, Tobit, Makkabe dll. Berbagai dokumen Jewish Pseudepigrapha seperti Enoch, Sibylline Oracles, Testament of Levi dll. Berbagai Targum, Talmud, Midrash serta tulisan penulis Yahudi kuno seperti Philo & Joshepus. Bahkan bisa diperluas dengan dokumen-dokumen extrabiblikal seperti tulisan Herodotus, Strabo dll.

E. PENUTUP
Tafsir Saadia Gaon (Rasag) telah digunakan sebagai rujukan apologetika Islam khususnya oleh pihak TYI dalam upaya membuktikan keberadaan Mekkah dalam Tanakh. Namun dari kajian yang cermat, tafsir Rasag yang memuat hal-hal yang mendukung teologi Islam ini justru tidak bisa dilepas dengan kondisi pada masa itu adanya pengaruh budaya Arab & Islam yang begitu kuat. Tafsir Rasag tentang Mekkah, Zam-zam dll ini merupakan pendapat pribadinya yang mengakomodasi Islamic Terms dalam tafsirnya, pendapat ini seharusnya merupakan informasi penting, namun tidak diketahui atau didukung oleh rabbi-rabbi lain seperti Rashi, Rambam dll. Demikian pula pernyataan Rasag itu bukanlah mewarisi oral tradition, karena tidak ada bukti signifikan dari literatur rabbinik awal seperti Targum, Talmud dsb.

Penggunaan tafsir Saadia Gaon oleh apologis Islam sebenarnya problematik bagi Islam sendiri. Karena terbukti pernyataan Rasag itu kontradiktif dengan tradisi Islam seperti penyebutan Mesa=Mekkah yang dalam Tanakh dalam konteks keturunan Joktan. Padahal dalam Hadist Bukhari dituliskan saat kunjungan Abraham ke Mekkah untuk membangun Kabbah, saat itu Mekkah belum berpenghuni. Jika kita mengkaji lebih lanjut sebenarnya tradisi Islam tentang Abraham, Ismael dan kabbah banyak terdapat versi yang kontradiktif. Uraian lengkapnya bisa dibaca dalam buku Reuven Firestone, Journeys in Holy Lands: The Evolution of the Abraham-Ishmael Legends in Islamic Exegesis (Albany, 1990). Demikian pula keberadaan Mekkah pada masa Abraham juga patut dipertanyakan, karena tidak ada rujukan dari berbagai literatur kuno yang menyebut keberadaannya bahkan sebelum abad ke-4. Silahkan baca buku Rafat Amari, Islam in the Light of History, Religion Research Institute, 2004.
Share: