Allah Tritunggal : Waspada ekstrim Triteisme & Modalisme

Allah Tritunggal adalah doktrin primer Kristen yg paling banyak dibahas, diperdebatkan dan dipertanyakan, bukan hanya dari pihak non Kristen tetapi juga internal kekristenan. Konsep Allah Tritunggal lahir sebagai konsekuensi logis dari apa yang diajarkan Alkitab itu sendiri. Bapa sebagai Allah sudah jelas diajarkan dalam PL & PB. Yesus sebagai Allah juga diajarkan dalam Alkitab bahkan dalam Perjanjian Lama yang dikenal sebagai Mesias yang Ilahi (Divine Messiah), demikian juga dengan Roh Kudus. Apakah ini bisa langsung disimpulkan berarti ada 3 Allah ? Tentu tidak, karena ajaran keesaan Allah juga diajarkan Alkitab bahkan dinyatakan oleh Yesus sendiri yang berarti Alkitab mengajarkan Monoteisme. Makanya jika kita terlalu menekankan pada aspek ketigaan Allah dan mengabaikan keesaanNya kita bisa tergelincir ke Triteisme.

Tetapi sebaliknya jika kita terlalu menekankan pada aspek keesaan Allah dan mengabaikan ketigaanNya kita bisa tergelincir pada Modalisme atau Oneness. Untuk itu kita perlu ekstra hati-hati melihat data Alkitab agak tidak tergelincir ke salah satu ekstrim. Maka kita coba rumuskan data Alkitab ini menjadi 5 premis yang tiap premisnya memiliki dukungan data Alkitab yang kuat.
Premis 1: Allah itu esa
Premis 2: Bapa sebagai Allah
Premis 3: Anak (Yesus) sebagai Allah
Premis 4: Roh Kudus sebagai Allah
Premis 5: Ketiganya bisa dibedakan

Kelima premis ini telah tertuang dalam Pengakuan Iman Rasuli & Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel. Konsili Nicea 325 diadakan sebagai respon munculnya ajaran bidat arianisme yang menolak premis 3 dengan menyatakan Yesus adalah makhluk atau ciptaan yang berarti bukan Allah seperti Allah Bapa. Konsili berikutnya Konsili Konstantinopel (381) melengkapi formulasi konsili Nicea dengan lebih memperjelaskan keallahan Roh Kudus (premis 4) sekaligus merespons ajaran bidat Makedonianisme yg menganggap Roh Kudus itu makhluk.

Pihak Modalisme kurang memperhatikan premis 5 sehingga memunculkan pemahaman bahwa Allah itu satu pribadi. Sebelum konsili Nicea ajaran modalisme atau lebih tepatnya monarkianisme telah muncul dan telah ditanggapi bapa gereja diantaranya Tertulianus dalam bukunya Adversus Praxean menanggapi praxeas. Konsili Nicea memang fokus menanggapi Arianisme, namun sebenarnya juga menolak modalisme atau monarkianisme.

Jika kita cermati data Alkitab, primes 5 itu sangat jelas misalnya tentang pembaptisan Yesus yg menunjukan adanya eksistensi Bapa (suara dari surga), Yesus dan Roh Kudus dalam bentuk burung Merpati, demikian juga dengan doa Yesus di Getsemani dll. Pada masa kini varian Modalisme yang mulai populer yaitu Oneness Pentacostalism yang menekankan hanya satu pribadi Yesus yang ilahi, istilah lainnya Jesus Only.

Jika Allah bukan satu pribadi berarti tiga pribadi, bukankah tiga pribadi menunjuk 3 pribadi Allah? Pertanyaan ini telah menjadi pergumulan bapa-bapa gereja untuk menjelaskannya. Bapa gereja Tertulianus memunculkan istilah dalam bahasa latin "una substantii, tre personae", bapa-bapa gereja timur menggunakan istilah "hypostatis" untuk kata "personae" yang kemudian dipadankan ke bahasa Inggris dengan kata "person" atau "pribadi" dalam bahasa Indonesia. Bapa-bapa gereja berikutnya mengadopsi istilah ini (personae/hypostatis) termasuk istilah (homoousios/sehakekat) sambil memberi penjelasan definisi dari istilah-istilah tsb.

Bapa-bapa gereja Kapadokia yaitu Gregorius dary Nyssa, Gregorius dari Nazianus & Basilius dari Kaisarea, banyak membahas masalah ini khususnya keterkaitan antara kata hypostatis & homoousios. Untuk menelaskan homoousios mereka mengambil analogi dengan pribadi dalam hubungan sesama manusia bahwa seorang bapa dan anaknya miliki satu hakekat sebagai manusia. Namun selanjutnya tidak boleh berhenti sampai di situ, karena bisa terjerumus dalam Triteisme karena "Pribadi" ilahi yang dimaksud berbeda dengan "pribadi" manusia. Mereka menjelaskan bahwa pribadi manusia dapat dibeda-bedakan tindakan satu orang dengan yang lainnya jika mengerjakan tugas yang, maka sudah ditepat disebut banyak orang. Pribadi manusia terpisah satu sama lainnya. Berbeda dengan Allah yang tidak terpisahkan satu sama lain, tidak pernah mengerjakan suatu pekerjaan sendiri tanpa melibat yang lainnya. (Gregorius dari Nyssa, Quod Non Sint Tres Dii).

Masih banyak uraian para bapa gereja lainnya tentang hal ini namun point yang bisa kita dapatkan dari uraian bapa-bapa gereja Kapadokia bahwa kata Hypostatis bisa saja diartikan sebagai Person atau Pribadi tetapi bukanlah sepenuhnya seperti pengertian pribadi dalam kamus masa kini. Karena konsep pribadi masa kini melibatkan atribut kesadaran diri yang independen yang tidak terkait dengan pribadi lainnya.

Pada abad ke-18 teolog Karl Barth mengangkat kembali masalah Trinitas yang sudah kurang menjadi perhatian pada masanya. Bahkan pada masa itu seiring dengan munculnya liberalisme, beberapa teolog liberal berpendapat inkarnasi itu mitos dan dengan sendirinya menolak Trinitas. (John Hick, The Myth of God Incarnate). Barth mengkritisi penggunaan istilah "pribadi" yang menurutnya sudah berbeda dengan pengertian yang dimaksud oleh bapa-bapa gereja dan memperkenalkan istilah seinswiese atau "cara berada". Hal ini dituliskan Harun Hadiwijono

".. Sejak abad ke-18 ini sebenarnya pengertian persona atau oknum telah tidak mungkin lagi diterapkan guna mengungkapkan pengertian Alkitab yang mengenai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebab memang bukan pengertian yang seperti itulah yang dimaksud oleh Gereja kuna ketika merumuskan ajarannya tentang ketritunggalan Allah. Oleh karena itu maka banyak para ahli teologi sekarang yang menerjemahkan ungkapan hypostatis atau persona bukan dengan oknum, melainkan cara berada (seinswiese atau mode of existence), sehingga ketritunggal dirumuskan demikian: Allah adalah satu di dalam substansinya, tetapi memiliki tiga cara berada. (Umpamanya Karl Barth)". Harun Hadiwijono, Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, 2007, p100.

Namun kita harus hati-hati mengambil acuan dari tulisan ini, yaitu menolak konsep "tiga pribadi" itu lalu meloncat ke konsep "satu pribadi". Karena jika tidak hati-hati bisa tergelincir ke Modalisme. Saya coba pelajari pemahaman Karl Barth ini, yang ternyata dia tidak maksud menolak pemahaman bapa gereja itu tetapi hanya mengkritisi konsep pribadi masa kini utk dijadikan acuan memahami konsep "pribadi" yang dimaksud bapa gereja. Dalam buku-bukunya dia sangat tegas menolak modalisme walaupun ada beberapa teolog yang mencurigai konsepnya itu sebagai modalisme misalnya jurgen moltman. Harun Hadiwijono sendiri yang mengikuti konsep Barth atas istilah "cara berada" menolak bahwa konsep itu mengajarkan sabellian (hal 133). Masalah ini tentu perlu kajian yang lebih teknis & detail.

Berdasarkan uraian singkat ini, maka diperlukan kehati-hatian memahami relasi dalam Allah Tritunggal, karena bisa tergelincir ke ekstrim Triteisme atau ekstrim Modalisme. Jika tertarik menggunakan istilah "cara berada" sebagaimana diajukan Barth, maka kita harus paham bahwa itu tidak dimaksudkan menolak konsep "una substantii, tre personae" atau Satu Hakekat Tiga Pribadi tetapi pengertian "pribadi" yang dimaksud harus dimengerti seperti apa yang dimaksud bapa gereja, seperti dijelaskan oleh bapa-bapa gereja Kapadokia dan "Cara Berada" yang dimaksud tetap merujuk eksistensi atau "pribadi". Apalagi sampai meloncat ke pemahaman Satu Pribadi Tiga Cara Berada yang justru paham Modalisme yang telah ditentang para bapa gereja.
Share:

Tidak ada komentar: