Polemik seputar isu "aktif vs pasif" telah berlangsung cukup lama, update terakhir pihak API menyajikan tulisan tentang hal ini sekaligus menegaskan posisi API yang bisa disalahpahami berdasarkan tulisan mereka sebelumnya. API dengan cermat mengingatkan adanya false dilemma dalam isu ini yaitu adanya dikotomi aktif vs pasif atau antara Yesus bangkit sendiri vs Yesus dibangkitkan. Jika kita memetakan posisi pihak yg berdiskusi maka dikotomi itu tidak tepat, karena sebenarnya yg terjadi antara mereka yg menerima keduanya "aktif & pasif" versus pihak yg menerima "hanya pasif".
Memang sepertinya posisi "hanya pasif" merasa disudutkan karena seakan-akan dianggap menolak aspek keilahian Yesus karena berpendapat Yesus tidak bangkit sendiri. Namun bagi mereka yg tahu duduk masalah termasuk mengenal posisi teologis pihak "hanya pasif" tentu tidak beranggapan demikian. Apalagi ada pernyatan tegas bahwa Yesus memiliki kuasa utk membangkitkan diriNya sendiri hanya saja beranggapan Yesus tdk menggunakanNya. Dalam hal ini semua pihak yg berdiskusi sepakat & menerima keilahian Yesus disamping kemanusiaanNya sehingga bisa dikatakan sama-sama sebagai murid Kristus hanya berbeda untuk isu ini.Posisi mainstream kekristenan termasuk christian scholars menerima keduanya "aktif pasif" dan itu bahkan dituangkan dalam buku-buku standard pengajaran seperti dogmatics reformed yg ditulis Geerhardus Vos & Richard Gaffin dll. Maka begitu ada pendapat berbeda berkaitan dengan doktrin primer dan sepertinya menolak semacam "konsensus" scholars terutama dari kalangan evangelical & reformed scholars tentu saja menimbulkan reaksi. Namun kita perlu ingat bahwa "kebenaran" tdk ditentukan dgn suara mayoritas tetapi oleh kualitas argumentasinya. Maka adanya pendapat yg berbeda "dissenting opinion" seharusnya bukan masalah karena penilaian akhir tetap dikembalikan kepada para pembaca (judge if for yourself).
Menurut saya pribadi untuk point yg berbeda pada hal sensitif berkaitan dgn doktrin primer perlu hati-hati menyampaikannya ke publik. Mungkin maksudnya mengedukasi para pembaca utk berpikir secara kritis, tetapi masalahnya jika point argumentasi tidak begitu kuat dan menimbulkan reaksi yg men-challenge pendapat itu sehingga bisa membingungkan awam. Mungkin sebaiknya pendapat yg berbeda itu disampaikan ke ranah akademik melalui forum-forum diskusi internal atau dituliskan dalam bentuk buku atau jurnal. Ini hanya saran saja, kalaupun telah terlanjur dibahas di ranah publik sebaiknya diskusi tetap fokus pada content argument dan bukan pada hal-hal yang sifatnya personal & retorik yang mengarahkan ke "ad hominem argumentum".
Berkaitan dengan isu ini posisi saya tegas menerima "aktif & pasif", namun saya tetap menghargai posisi rekan2 yg memilih "hanya pasif". Dalam tulisan & tanggapan saya di FB termasuk di video youtube saya berusaha tetap fokus pada content argument, termasuk berusaha memahami jelas posisi lawan diskusi agar terhindar dari strawman argument. Saya berharap rekan2 yg akan berinteraksi dengan point2 tanggapan saya, bisa memberi klarifikasi jika ada point-point saya yg terindikasi strawman arguments.
Dalam membangun argumentasi rujukan ke secondary sources berupa tulisan scholars adalah sah-sah saja, malah dalam tulisan akademik sebaiknya kita menyertakan referensi acuan kita dlm bentuk footnotes atau endnotes. Tetapi kita harus menghindari membangun "klaim" kebenaran posisi kita bersandar pada pendapat penulis tertentu karena sudah masuk kategori logical fallacy yaitu appeal to authority. Misalnya dengan adanya polemik istilah teolog papan atas vs papan bawah, sebaiknya istilah2 ini tdk perlu disebutkan lagi.
Tulisan saya sebelumnya menanggapi posisi pihak "hanya pasif" yaitu rujukan yg digunakan tulisan Geerhardus Vos & Richard Gaffin. Saya memilih utk mengkaji langsung tulisan itu dibanding dgn membandingkannya dengan scholars lainnya atau mencari kelemahan dari latar belakang personal Vos & Gaffin. Dari kajian saya ternyata terjadi misreading atas tulisan mereka sehingga terjadi misleading atas posisi teologis mereka seakan-akan mereka berpendapat kebangkitan Yesus hanya "pasif saja". Untuk menghindari agar saya juga tdk misreading, maka dlm tulisan di FB dan di video youtube, saya mengutip langsung (screenshot) tulisan mereka satu persatu. Jika ternyata ada kekeliruan dalam tulisan dan video itu, alangkah baiknya direspon balik dengan menyajikan point argumentasi dan data.
Dalam tulisan Paulus termasuk Kisah Para Rasul memang banyak menulis Yesus yg dibangkitkan karena narasi itu ditulis setelah terjadinya peristiwa kematian & kebangkitan Yesus. API telah menuliskan secara ringkas maksud dari pernyataan "dibangkitkan" ini sebagai konfirmasi dari Allah Bapa atas berbagai peristiwa yang dialami Yesus termasuk kebangkitanNya. Menurut Gaffin, Paulus memang sedang menekankan aspek kemanusiaan Yesus yg secara hypostatik sehakekat dengan kita manusia. Sebaliknya pernyataan Yesus dalam Yoh 2:19-21, 10:17-18 sedang berbicara tentang aspek keilahianNya. Sepertinya ada konflik antara pernyataan Yesus vs Paulus seperti ditulis oleh Gaffin, tetapi kata Gaffin masalah ini terselesaikan dengan adanya konsep hypostatic union bahwa Yesus itu adalah satu pribadi yg memiliki 2 hakekat sebagai Allah & manusia.
Pihak "hanya pasif" menolak hal ini, bukan menolak hypostatic union tetapi berpendapat bahwa pribadi Anak memilih tidak menggunakan kuasaNya untuk bangkit sendiri karena solidaritas sebagai manusia. Secara retorik memberi pertanyaan balik, bagaimana dengan kelahiranNya? Apakah pribadi Anak terlibat aktif dalam kelahiranNya? Tentu saja Dia juga aktif dalam kelahiranNya, bukankah Yesus memiliki pra eksistensi sebagai Logos yang kemudian pada saat Dia berinkarnasi natur kemanusiaan ditambahkan kepadaNya. Pada saat kelahiranNya, Logos yang telah eksis ditambahkan natur kemanusiaan, saat kematianNya natur kemanusiaanNya mengalami kematian dan saat kebangkitanNya, natur kemanusiaanNya dihidupkan kembali.
Respon baliknya bahwa natur dianggap sebagai sifat yg tdk mengalami kematian/kebangkitan karena yg bisa mati/bangkit hanya pribadi. Respon ini sepertinya memisahkan natur & pribadi, namun dlm konsep hypostatic union, natur jelas bagian dari pribadi atau pribadi itu terdiri atas natur ilahi dan manusia. Apakah ini mengarah ke nestorianisme? jelas tidak karena nestorian mengajarkan adanya 2 pribadi atau 2 hypostatic yaitu Allah Firman dan manusia Yesus, seakan-akan posisi "aktif pasif" bermakna Allah Firman telah membangkitkan manusia Yesus. Kalau pandangan seperti itu, akan menunjukan adanya suatu pribadi (Allah Firman) yg membangkitkan pribadi yg lain (manusia Yesus). Namun konsep hypostatic union tidak seperti itu, karena lebih tepat dikatakan Yesus sebagai Allah membangkitkan diriNya sendiri.
Untuk memudahkan kita memahami hal ini, kita bisa lihat perbandingannya tentang Yesus yg berkuasa bisa menciptakan makanan seperti mujizat 5 roti dan 2 ikan, namun pada saat bersamaan Dia sebagai manusia sedang merasakan lapar. Kondisi terjadi hanya pada satu pribadi Yesus yg memiliki natur ilahi yg bisa menciptakan makanan dan natur manusia dimana Dia merasakan lapar. Contoh yg lain sebagai manusia Yesus menangis atas sahabat-Nya Lazarus namun sebagai Allah Dia berkuasa membangkitkan Lazarus dari kematian. Penjelasalan2 seperti ini telah diuraikan para bapa gereja seperti Leo yg menuliskan Tomus, Cyrillus - formula unions dll yg kemudian dirumuskan dlm konsep hypostatic union di konsili Chalcedon (451M).
Dlm diskusi isu ini disinggung juga konsep Perikoresis yg sebenarnya justru meneguhkan posisi "aktif pasif" bahwa kebangkitan Yesus sebagai bagian dari karya Allah Tritunggal (opera ad extra) dimana Yesus sebagai pribadi Anak terlibat didalamnya. Masalah hubungan ketiga pribadi dalam konsep Allah Tritunggal telah digumulkan oleh para bapa gereja yg dalam posisi selain menolak konsep unitarian dari Arius juga menghadapi 2 ekstrim berkaitan Allah Tritunggal, ekstrim pertama Triteisme yg terlalu menekankan ketigaan sehingga tergelincir pd konsep 3 Allah dan ekstrim kedua modalisme/sabelian yg menekankan keesaan sehingga tiga pribadi itu hanya topeng atau peran semata. Bapa-bapa gereja Kapadokia (gregorius dr Nazianzus, Gregorius dr Nyssa & Basilius dr Kaisarea) telah membantah kedua ekstrim ini. Gregorius dr Nyssa dalam bukunya Quod Non Sint Tres Dii sebagaimana ditulis Tony Lane dlm bukunya Runtut Pijar menyatakan "... Kita tidak pernah mendengar bahwa Sang Bapa berbuat sesuatu sendiri tanpa kerja sama dengan Sang Anak. Demikian juga Anak tidak pernah bertindak sendiri tanpa Roh Kudus...". Maka konsep Perikoresis seperti yg ditunjukan dlm tulisan bapa-bapa gereja Kapadokia justru mendukung posisi "aktif pasif" bahwa Yesus sebagai bagian dari Allah Tritunggal juga terlibat aktif dalam kebangkitan tubuh manusiaNya.
Respon baliknya jika demikian apakah berarti Allah Bapa juga mengalami kematian seperti pribadi Anak? jawabannya jelas tidak, demikian juga pribadi Anak tidak mengalami kematian karena Tuhan tidak bisa mati. Yang mati adalah Yesus sebagai manusia. Rasul Petrus tegas menyatakan hal ini. 1 Pet 3:18 ... Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh,
Kematian bukan berarti hilang lenyapnya eksistensi seseorang tetapi lepasnya nyawa dari tubuh seseorang dan secara roh dia tetap eksis.
Sebenarnya dasar argumentasi dr posisi "hanya pasif" terletak pada konsep Kenosis dlm Filipi 2. Dalam keadaan Yesus sedang berinkarnasi dan mengalami kenosis dianggap banyak kuasa Yesus tidak digunakanNya. Bahkan sampaikan dikatakan kebangkitan Lazarus oleh Yesus bukan karena kuasaNya sendiri tetapi kuasa Roh Kudus seperti yg juga dilakukan oleh Elia & Petrus. Kecuali kuasa menyembuhkan mata orang buta dan kuasa mengampuni dosa. Perihal kebangkitan Lazarus, saya telah tulis dalam tulisan sebelumnya yg membuktikan bahwa Yesus membangkitkan Lazarus dengan kuasaNya sendiri dan mujizat Yesus merupakan salah satu bukti keilahianNya.
Dari pemahaman atas konsep "Kenosis" ini maka muncul istilah "potentiality & actuality". Yesus punya potensi untuk membangkitkan diriNya sendiri tetapi Dia tidak menggunakanNya karena mungkin karena "berkenosis". Masalah Kenosis ini tentu perlu pembahassan tersendiri secara komprehensif. Secara ringkas kenosis ini berkaitan dengan Yesus yg sedang membatasi diriNya dalam penggunaan atribut-atribut keilahianNya, posisi saya cenderung sependapat dgn D.A.Carson. Namun kita harus hati2 utk tidak menerapkan ke banyak hal yg tanpa dsadari bisa mereduksi keilahianNya. Saya kira byk scholar sepakat bahwa salah satu pembatasan yg dilakukan Yesus yaitu pada rencana Bapa berkaitan dengan hari kedatanganNya dimana Anak tidak mengetahui. Kemudian dalam hal ketundukan kehendak Anak terhadap kehendak Bapa saat Dia berinkarnasi menjalankan misi penyelamatan manusia. Namun saat kebangkitan dan kenaikanNya, Yesus menerima kembali semua kemulian dan kuasa itu yg sebelumnya utk sementara waktu Dia batasi penggunaanNya.
Di luar perihal ketundukan kehendak Anak terhadap kehendak Bapa dan rencana kedatanganNya kedua kali, tidak ada petunjuk lain bahwa Yesus membatasi penggunaan kuasa yg dimilikiNya. Bahkan seorang perempuan yg sedang sakit pendarahan saat menyentuh jubahNya merasakan adanya kuasa yg keluar dari diri Yesus. Tentu akan terasa janggal jika Yesus memiliki kuasa tetapi meminjam kuasa Roh Kudus untuk melakukan mujizat seperti membangkitkan Lazarus. Apalagi terbukti bahwa saat melakukan mujizat Yesus tidak pernah bermohon kepada Allah Bapa atau Roh Kudus untuk bisa melakukan mujizat. Saat Yesus meneduhkan angin ribut, Dia melakukannya secara spontan tanpa perlu berdoa dulu. Apakah saat melakukan mujizat itu, dalam diriNya ada 2 kuasa yaitu kuasa diriNya dan kuasa Roh Kudus dan yg aktif saat itu kuasa Roh Kudus?.
Sekarang kita balik pada teks-teks Alkitab berkaitan dengan isu "aktif pasif" ini. Memang teks-teks yg menunjukan Yesus "aktif" dalam kebangkitanNya tidaklah banyak (Yoh 2:19-21, 10:17-18) dibandingkan teks yg menunjuk Yesus "pasif" dlm kebangkitanNya yg jumlahnya cukup berlimpah terutama tulisan2 Paulus. Namun penarikan konklusi tidak boleh didasarkan pada jumlah teks antara mayoritas vs minoritas, demikian juga dgn membandingkan pernyataan Yesus vs Paulus seakan-akan ada yg lebih berotoritas.
Pihak posisi "aktif pasif" tidak mempermasalahkan teks-teks "pasif" yg umumnya pernyataan Paulus karena juga menerimanya dan memiliki otoritas yg sama dengan pernyataan Yesus. Namun pihak "hanya pasif" tentu akan menolak teks2 "aktif" tersebut utk tetap meneguhkan posisinya. Mari kita lihat teks Yoh 2:19-21
Joh 2:19 Jawab Yesus kepada mereka: "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali."
Joh 2:20 Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?"
Joh 2:21 Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri.
Joh 2:22 Kemudian, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, barulah teringat oleh murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya..
Konsep "potentiality vs actuality" sepertinya sulit diterapkan pada teks2 ini, kecuali "mungkin saja" pada Yoh 10:17-18 walaupun maknanya belum tentu seperti itu. Mengenai Yoh 10:17-18 perlu dibahas tersendiri. Maka pendekatan yg dilakukan bahwa pernyataan Yesus itu belum terjadi atau bersifat "future tense" berbeda dgn apa yg ditulis Paulus yg riil sudah terjadi. Argumentasi ini lemah karena sepertinya meragukan apa yg dikatakan atau dinubuatkan Yesus yg mungkin dianggap bisa tidak terjadi. Ayat 22 sudah jelas menolak hal ini. Bantahan lain dengan mempersoalkan grammar mengenai middle voice, argumentasi ini juga tidak kuat karena dari struktur kalimatnya jelas menunjukan subjek pelakunya adalah Yesus sendiri. Apalagi konteksnya menunjukan bahwa Yesuslah pelaku utama dari narasi itu bukan Allah Bapa atau Roh Kudus.
Bantahan yg cukup kuat yaitu pada kajian grammar atas ayat 21, yg mempertanyakan terjemahan LAI kata "ialah" karena jika dimaksudkan kata "ialah" atau "adalah" maka seharusnya ada kata "estin" di situ, sama seperti di Yoh 10:30 Aku dan Bapa adalah satu. Preposisi yang digunakan kata "autos" yg merujuk pada "naos" dan "soma" sehingga harus diterjemahkan menggunakan kata "of/dari". Maka seharusnya terjemahan yg tepat adalah "the temple of his body" atau "Bait (dari) tubuhNya". Dalam proses penerjemahan Alkitab penerjemahan menjadi "the temple of his body" sebagaimana terjemahan literal yg mencoba setia pada grammar contohnya KJV & ASV. Namun metode penerjemahan lainnya menggunakan gaya penerjemahan dinamis yg bermaksud mempermudah dimengerti oleh pembaca yg maknanya tetap seperti yg dimaksud oleh sang penulis Alkitab. Misal LAI, NIV & ISV. New International Version: But the temple he had spoken of was his body.
Argumentasi ini cukup kuat, namun apakah berarti kata "naos" tidak merujuk ke tubuh Yesus? belum tentu! jika kita mengikuti terjemahan literalnya, akan muncul beberapa pengertian utk kata "naos" mengacu penggunaan kata ini secara metafora/simbolik dalam bagian Alkitab lainnya. Ada 2 pengertian yg utama, pertama merujuk ke tubuh Yesus secara fisik dan yg kedua merujuk pada orang-orang percaya sebagai bagian dr tubuh Kristus atau kita bisa sebut "gereja" sebagaimana ditulis oleh rasul Paulus.
Saya telah mengkaji masalah ini dgn melihat aspek gramatikal seperti yg telah diuraikan serta memperhatikan konteksnya. Kemudian membandingkan dgn kajian dr para scholar seperti Ridderbos, D.A.Carson, C.K. Barrett, George R. Beasley-Murray, Constanble, Raymond Brown dll. Selanjutnya melihat tulisan bapa-bapa gereja yg relevan dengan masalah ini seperti Ignatius, Clement of Alexandria, Ireneus, Tertulian, Origen, Hypolatus dll. Kajian lengkapnya akan dibahas tersendiri karena cukup panjang.
Secara ringkas dari kajian ini, kata "naos" yg dimaksudkan lebih tepat merujuk ke tubuh fisik Yesus yg akan dibangkitkan Yesus sebagai Allah. Konteks dekatnya mempertegas hal itu. Adapun penafsiran kata "naos" merujuk pada gereja nanti muncul belakangan setidak-tidaknya sejak hr Pentakosta. Umumnya bapa gereja merujuk kata "naos" pada tubuh fisik Yesus bahkan Ignatius dalam tulisannya Epistle to the Smyrnaeans, Chap. II dengan tegas menyatakan "..He truly raised up Himself". Memang ada bapa gereja seperti Origen juga memahami kata "naos" merujuk ke gereja namun itu pengembangan makna secara alegoris dan makna awalnya tetap dimaknai Origen merujuk ke tubuh Yesus.
D.A Carson menegaskan "..interpretations that understand the body that is raised up to be the church... are without warrant. The words
‘his body’ can refer only to the physical body of Jesus, crucified, buried, and raised from the dead..". D.A. Carson, The Gospel According to John, Eerdmans, Grand Rapids,1991. Memang ada scholar seperti Raymond Brown yg menyatakan teks itu bisa bermakna ganda sekaligus ke tubuh Yesus dan gereja. Namun sy belum menemukan scholar dlm posisi bahwa kata "naos" dalam teks2 itu hanya merujuk ke gereja dan bukan ke tubuh Yesus. Ini berarti pandangan yg mengganggap adanya makna ganda tidak menghilangkan point utama bahwa Yesus memang berbicara tentang tubuhNya yang akan dibunuh dan akan Dia bangkitkan sendiri.
Ada terdapat dua konteks utama yg berkaitan dgn hal, pertama tentang pembersihan Bait Allah yg dilakukan Yesus yg secara typologi merujuk ke diriNya sebagaimana Tabernakel dlm PL yg melambangkan "dwelling place of divine" dan konteks kedua tentang tanda yg diminta orang Yahudi, yg dalam injil sinoptik merujuk ke tanda Yunus. Jelas tanda Yunus berkaitan dengan nubuatan kematian dan kebangkitan sang Mesias, sehingga pernyataan Yesus tentang Bait Allah berbicara tentang kematian dan kebangkitanNya. Lambang Bait Allah yg digunakan jelas merujuk ke diriNya sendiri. Dari konteks ini jelas tidak ada kaitannya dgn "gereja", seperti yg dinyatakan pak Chandra salah seorang narasumber dalam video di RBS agar kita tidak memasukan teologi Paulus ke teologi Yohanes yg bisa mengarah ke eisegese.
Demikian tulisan ini semoga memberi manfaat. Banyak hal-hal teknis teologi yg disinggung dlm tulisan ini seperti hypostatic union, perikoresis, kenonis dll, jika dari uraian ini ada yg dianggap kurang tepat mohon bantuan utk meluruskannya. Tentu kita perlu kembangkan semangat berdiskusi yang fokus pada content argument.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar