Benarkah Shur adalah Hijr al-Hijaz menurut Tafsir Saadia Gaon?

Ulasan ini ditujukan untuk menjawab tulisan Menachem Ali (M Ali) yang diposting di website The Yeshiva Institute dengan judul Dimana Lokasi Hijr Al-Hijaz dan Al-Jafar dalam Targum Saadia?. Apologet Islam ini memang selalu memberi kesan sebagai "linguistic expert" namun jika dikaji secara seksama kajiannya cenderung sebuah "word play" demi agenda yang diusungnya. Tema tentang Hijr al-Hijaz sebenarnya telah didiskusikan lewat FB dan saya telah mengklarifikasi tuduhannya seputar "linguistic study", namun M Ali mengabaikannya dan tetap mengulang tuduhannya tersebut dengan memainkan Strawman Argument.
Share:

Apologetika Islam & Tafsir Saadia Gaon

Sudah hal biasa apologis Islam berupaya mencari rujukan teks dalam Bible untuk mendukung eksistensi Islam. Berbagai ayat ditafsirkan secara eisegesis berdasarkan kemiripan atau kecocokan tertentu dengan mengabaikan konteks dari teks yang dimaksud. Sehingga makna sebenarnya dari teks digantikan dengan makna sesuai keinginan penafsir. Pendekatan ini dipopulerkan oleh debator Islam Ahmed Deedat dan diteruskan oleh penerusnya Zakir Naik. Cara yang lebih "ilmiah" melalui kajian linguistik yang lebih tepat disebutkan sebagai "word play" dilakukan Benyamin Keldani dalam bukunya Muhammad in the Bible. Belakangan ini apologis Islam seperti The Yeshiva Institute (Menachem Ali dkk) mulai concern dengan pendekatan historis dengan mencari sumber-sumber ektrabiblikal terutama literatur rabbinik untuk mendukung posisi Islam. Rujukan utama mereka pada Tafsir Saadia Gaon, seorang rabbi di era Gaonim pada sekitar abad ke-10 yang memberikan beberapa detail informasi yang dianggap mengkonfirmasi pernyataan Quran.

Sebenarnya sangat banyak detail informasi  dari berbagai literatur rabbinik seperti Targum, Talmud, Midrash dan tulisan rabbi-rabbi Yahudi, namun informasi yang diambil TYI hanya bagian sangat kecil yang dianggap cocok dengan teologi Islam. Kepingan informasi itu dikemas dan di-blow up sedemikian rupa dalam framework apologetis Islam. Padahal hal-hal yang substansial yang seharusnya ada kalau memang benar-benar ada justru tidak ada data penunjangnya. Misalnya konsep Tahreef Bible, nubuat kenabian Muhammad, Ismail sebagai anak dikorbankan, eksistensi kabbah & blackstone dll justru tidak ada petunjuk yang bisa mereka dapatkan dari literatur rabbinik yang ada karena memang nihil.

Dalam artikel ini kita secara khusus mengkaji tentang Rabbi Saadia Gaon disingkat Rasag yang Tafsirnya menjadi sumber rujukan utama pihak TYI. Ruang lingkup kajian ini mencakup latar belakang sejarah tafsir Rasag, metodologi penulisannya dan pendapat Rabbi  & Jewish Scholars serta kajian singkat atas literatur rabbinik awal. Sumber referensi yang digunakan adalah tulisan para Scholar yang memang disegani dalam dunia akademik. Namun artikel ini belum masuk pada kajian yang lebih detail seperti kajian linguistik terhadap primary sources. Kajian yang lebih teknis akan menyusul ditulis & publish setelah artikel ini.

Sebelum lebih lanjut, perlu diluruskan dulu opini yang dibangun pihak TYI yaitu Menachem Ali & Ismaun Ghofur yang memposisikan kami seakan-akan menolak tulisan Rasag secara keseluruhan. Ismaun Ghofur dalam sebuah diskusi di FB menyatakan ".. Kristen menolak tafsir Rasag hanya karena alibi penolakan tanpa dasar ilmiah adalah sebuah upaya apologetika tanpa pertanggungjawaban akademik, fakta tradisi Rabbinik justru menerima sepenuhnya Tafsir Rasag..". Padahal tidak ada pernyataan kami yang menolak tafsir Rasag dalam pengertian tafsir secara keseluruhan, melainkan harus dilihat case by case seperti tafsir Rasag atas Kej 10:30 yang menurut kami tidak tepat.

Kekristenan dan Yudaisme terutama sejak era abad pertengahan berbeda pendapat dalam penafsiran teks-teks messianik dalam Tanakh/PL, namun dalam penafsiran ayat-ayat lain umumnya tidak ada perbedaan yang substansial. Sebaliknya pernyataan Ismaun Ghofur bahwa tradisi rabbinik menerima sepenuhnya tafsir Rasag justru bertentangan dengan data yang ada karena dalam beberapa detail tertentu rabbi-rabbi lain seperti Ibn Ezra, Rashi, Radak dll tidak sependapat dengan Rasag. Bahkan beberapa Jewish Scholar masa kini mengkritisi metodologi penafsiran yang dilakukan Rasag. Herannya TYI yang mengklaim bahwa pihak yang mengkritisi Rasag dianggapnya tidak akademik, justru tidak memberlakukan data seputar Rasag secara proporsional tetapi terlalu melebih-lebihkan melampaui kapasitas data yang ada. Apakah pihak TYI memang sepenuhnya menerima tafsir Rasag dan konsisten dengan sikapnya ini?

Kita akan menggali lebih lanjut masalah ini diawali dengan pembahasan latar belakang sejarah tafsir Rasag. Selanjutnya mencermati metodologi penafsiran yang dilakukan serta memperhatikan pendapat dari rabbi Yahudi dan Jewish scholars.

A. LATAR BELAKANG SEJARAH TAFSIR RASAG
Saadia Gaon (Rasag) merupakan salah satu rabbi terkenal di era Geonim, lahir di tahun 882 M di distrik Fayyiim Mesir dan meninggal di tahun 942M pada abad ke-10. Pada awal tahun 920 M menjadi figur penting di lingkaran rabbinik dan di tahun 928 diberi posisi sebagai Gaon kepala Akademi Sura sekolah rabinnik yang berada di Baghdad. Biografi lengkap Rasag ditulis Henry Malter dalam bukunya Saadiah Gaon: His Life and Works (Philadelphia, 1921).

Pada masa hidup Rasag, pemerintahan Islam telah berkuasa di seputar Timur Tengah, Afrika Utara dan seputar Mediterania sampai ke Andalusia Spanyol. Pasca kejayaan dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus, dinasti selanjutnya dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad melanjutkan hegemoni pemerintahan Islam. Kehadiran pemerintahan Islam pada masa Rasag di abad pertengahan telah memberi dampak semakin meluasnya pengaruh Islam dan budaya Arabic di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Pihak minoritas seperti Yahudi & Kristen memang dilindungi terutama bagi mereka yang taat terhadap penguasa ditandai dengan memberikan pajak (jizyah). Namun kuatnya pengaruh Islam dan budaya Arabic ikut mempengaruhi kehidupan orang Yahudi & Kristen pada masa itu.

Teguh Hindarto telah melakukan kajian cukup komprehensif latar belakang sejarah masa hidup Rasag dalam tulisannya Saadia Gaon dan Tumbuhnya Tradisi Penulisan Judeo Arabic di Era Pemerintahan Islam: Tinjauan Sosio Historis. Dalam tulisan itu Hindarto menggambarkan keberadaan pemerintahan Islam dan dampaknya terhadap kehidupan orang Yahudi pada masa itu, salah satunya berkaitan dengan penggunaan bahasa Arab "...Sejak pemerintahan Islam menaklukkan negara-negara besar di atas (Persia, Spanyol, Konstantinopel), bukan saja warga negara yang ditaklukkan memiliki status dhimmi melainkan terjadi penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa lisan dan tulisan serta media penyebarluasan pengetahuan dan kebudayaan dengan menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani klasik yang menjadi basis perkembangan sains modern di kemudian hari. Bukan hanya karya-karya filsafat Yunani klasik melainkan naskah-naskah keagamaan Yahudi/Yudaisme pun diterjemahkan dalam bahasa Arab.." hal 5.

Rasag merupakan rabbi Yahudi yang merintis penerjemahan Torah secara lengkap ke dalam bahasa Arab. Uniknya terjemahan berbahasa Arab itu tetap menggunakan karakter Hebrew yang diistilahkan dengan nama Judeo Arabic. Hindarto menyatakan bahwa kehadiran bahasa Judeo-Arabic merupakan cara komunitas Yahudi beradaptasi terhadap pengaruh dan dominasi pemerintahan Islam. Rasag yang hidup di lingkungan pemerintahan Islam terutama saat dia menjadi kepala Akademi Sura di Baghdad yang menjadi pusat pemerintah dinasti Abbasiyah melakukan penerjemahan Torah ke dalam Arabic karena kondisi yang mengharuskan dia melakukan hal seperti itu.

Penerjemahan yang dilakukan Rasag juga melibatkan penafsiran Rasag atas teks-teks Torah sehingga tulisannya lebih tepat disebut Tafsir dalam bahasa Arab dibanding Tarjamah sama seperti Targum yang merupakan parafrase Torah/Tanakh dalam Aramaic. M. Polliack menyatakan hal tersebut dalam bukunya The Karaite Tradition of Arabic Bible Translation: A Linguistic and Exegetical Study of Karaite Translations of the Pentateuch from the Tenth and Eleventh Centuries C.E. (Leiden, 1997)  ".. Saadiah's awareness of the interpretive nature of his translation of the Pentateuch may explain its designation as tafsir; a term which better conveys this sense than the term tarjamah.." hal 86. Dalam kajian kita selanjutnya, tidak hanya sebatas pengaruh penggunaan Arabic terhadap Rasag namun juga adanya serapan Islamic Terms dalam proses penerjemahan/penafsiran yang dilakukan Rasag.

B. SERAPAN “ISLAMIC TERMS” DALAM TAFSIR RASAG
Saadia Gaon dalam tafsirnya atas Torah menggunakan beberapa Islamic terms seperti Allah sebagai kata ganti YHWH & Elohim, Imam, Rasul, Musa dan sebagainya. Penggunaan terms dari luar sebagai bahasa serapan merupakan hal yang biasa seperti bahasa Indonesia yang menyerap kata-kata dalam bahasa Arab, Ibrani, Sansekerta dll yang juga digunakan dalam Alkitab dan terjemahan Quran. Quran sendiri dalam bahasa aslinya Arab juga terdapat kosakata serapan dari bahasa Ibrani, Yunani dsb. Namun masalahnya, Rasag melangkah lebih jauh dengan menggunakan Islamic Terms yang umumnya nama-nama geografis yang ada dalam Torah digantikan dengan nama yang ada dalam tradisi Islam yang lokasinya berbeda.

Pihak apologis Islam seperti TYI mengklaim bahwa nama-nama geografis itu dalam tradisi Islam yang disebutkan dalam Tafsir Rasag merujuk pada lokasi yang sama. Sehingga hal ini menguatkan upaya pihak Islam membangun benang merah antara Islam dan tradisi sebelumnya sebagaimana tercatat dalam Tanakh/PL. Beberapa Islamic Terms yang dimaksud adalah:
  • Mecca = Mesha dan Madinah = Sefar dalam tafsir Kej 10:30
  • Mata air Zam-zam = sumur Lahai Roi dalam tafsir Kej 16:13-14
  • Al-qiblah untuk Negeb dalam tafsir Kej 12:9, 13:1
  • Hijr Al-Hijaz = Shur dalam tafsir Kej 16:7 dan lain-lain. 
Untuk mendukung tafsir Rasag, pihak TYI mengajukan kitab Asathir yang diklaim sebagai Targum Samaritan yang di dalamnya ada tulisan Bakkah. Selain itu mereka melakukan eisegesis atas kata boakah sebagai Bakkah dalam Kej 25:18 serta menafsirka lembah Baka dalam Maz 84:7 sebagai Bakkah/Mekkah. Kemudian mencoba mengangkat figur Ismael yang diklaim setara dengan Ishak karena sama-sama sebagai anak (benih) Abraham.
Masing-masing point akan dibahas tersendiri melalui kajian detail mengacu pada primary sources serta membandingkan secondary sources yaitu kajian Bible Scholars yang ahli dibidangnya. Secara garis besar bisa dijelaskan secara ringkas nama-nama yang disebut dalam tafsir Rasag berikut ini: 
  • Pernyataan Rasag bahwa Mecca = Mesha dan  Madinah = Sefar justru bertentangan dengan tradisi Islam karena dalam hadist Bukhari disebutkan saat kunjungan Abraham ke Bakkah tempat itu belum berpenghuni dan tafsir Rasag tidak didukung oleh umumnya rabbi-rabbi Yahudi serta analisis historis sebaran keturunan Joktan tidak merujuk ke daerah Mekkah & Madinah.
  • Sumur Lahai Roi yang dianggap sebagai mata air Zam-zam juga bertentangan tradisi Islam yang menyebutkan mata air Zam-zam ditemukan oleh Hagar & Ismael sedangkan dalam Tanakh sumur Lahai Roi ditemukan oleh Hagar dan saat itu Ismael belum lahir. Letak sumur Lahai Roi di antara Kadesh & Bered di selatan Palestina bukan di Arabia.
  • Kata al-qiblah sebagai Negeb juga tidak tepat karena kata Negeb bisa merujuk pada nama tempat (tanah Negeb) yang berada di wilayah selatan Israel atau arah selatan dan tidak ada sangkut pautnya dengan arah Qiblah ke Kabbah di Mekkah. 
  • Kata Hijr Al-Hijaz = Shur tidaklah tepat karena Shur yang dimaksud masih terletak di wilayah selatan Israel dekat dengan Kadesh, sedangkan Hijaz nama kuno untuk sebuah wilayah yang berada di Arabia. Kata Hagra dalam Tarqum juga tidak merujuk pada Mekkah melainkan dibagian selatan Israel. 
Seorang Jewish Scholar bernama David M. Freidenreich telah melakukan kajian cermat terhadap tafsir Rasag dalam tulisan The Use of Islamic Sources in Saadiah Gaon's "Tafsīr" of the Torah", The Jewish Quarterly Review, New Series, Vol. 93, No. 3/4 (Jan. - Apr., 2003). Freidenreich menyatakan "..Saadiah Gaon's influential translation of the Torah into Arabic has long been known to contain countless "mistranslations," passages in which Saadiah consciously modifies the biblical text to conform to Arabic literary style or to his own beliefs and understanding of the Bible. Several of the modifications found in Saadiah's Tafslr derive from Islamic sources, including Islamic terminology and phraseology, Islamic law and tradition, and the Qur'an itself." hal 353.

Freidenreich telah memberikan bukti komprehensif terhadap pernyatannya tersebut tentang "mistranslations". Salah satunya tentang tafsir Rasag mengenai hajr alhijaz=road to shur dalam Kej 16:7 "... Saadiah's Tafsir of Gen 16:7 thus ignores all biblical evidence that Shur is in the Sinai and reports that Hagar received the annunciation of the birth of Ishmael on the road to Mecca, the very location to which, according to Islamic tradition, Abraham took Ishmael and Hagar after Sarah sent them away and the place in which Abraham built the Ka'bah. There can be no doubt that the translation of shur as hajr alhijaz must be due to the influence of Islamic traditions, as Jewish sources ascribe no significance whatsoever to the Hijaz region of Arabia..” hal 374. Demikian pula tentang Mesha = Mecca dan Sefar=Madinah dalam tafsir Kej 10:30, Freidenreich menyatakan "... he (Rasag) translates the locations Mesha and Sephar as Mecca and Medina, respectively; Saadiah was clearly not averse to including references to Islamic sites in the Tafsir.." hal 375-376.

Kajian yang dilakukan David M. Freidenreich tentulah dapat dipertanggungjawabkan secara akademik yang jelas bukan sebuah "pseudo academic" sebuah term yang disematkan pihak TYI terhadap lawan diskusinya. David M. Freidenreich sendiri adalah Associate Professor of Jewish Studies di Colby College. Dia mendapatkan gelar Ph.D dari Columbia University dan rabbinic ordination dari the Jewish Theological Seminary.  Ini merupakan bukti bahwa tafsir Rasag tidak harus diterima sepenuhnya.

Untuk melengkapi pemahaman kita atas masalah ini, kita perlu mengetahui dari mana sumber informasi tentang berbagai Islamic Tems ini. Jika kita kembali pada pembahasan sebelumnya mengenai latar belakang sejarahnya, maka tindakan Rasag ini dilakukan karena kondisi saat itu begitu kuatnya hegemoni Islam. Apalagi dia berada di Baghdad yang merupakan pusat pemerintah dinasti Abbasiyah. Dalam buku H. Malter, Saadiah Gaon: His Life and Works (Philadelphia, 1921), Malter menuliskan pengaruh dari penulis-penulis Islam di Mesir sebelum dia pindah dari Mesir ke Palestina ".. The question is to what extent did Saadia, prompted either by his own desire for learning, or other motives, familiarize himself with the works of Muhammedan authors before his emigration from Egypt to Palestine. We shall have occasion to show the influence of Arabic literature on Saadia in works of his, written beyond a doubt at a later period of his life. Here, only the following passage can be cited to prove that the Arabic influence had begun to show its traces at the time when he was preparing one of his earliest known literary productions, the Hebrew lexicon and rhyming dictionary 'Agron. The very name of this book, written in his twentieth year, is in imitation of titles used by Muhammedan authors for similar works.." hal 39.

C. RABBI-RABBI YAHUDI, JEWISH SCHOLARS & TAFSIR RASAG
Rasag adalah rabbi terkenal di era Geonim (540 - 1040 M) dan selanjutnya di era Rishonim (1040 - 1560 M) bermunculan banyak rabbi yang terkenal dan sering menjadi sumber rujukan Yudaisme seperti Shelomo ben Yitzhak (Rashi), Shmuel ben Meir (Rashbam), Moshe ben Nachman (Ramban), Rabbi Moshe ben Maimonede (Rambam), Avraham ben Meir (Ibn Ezra), David Kimchi (Radak) dll. Namun dari sekian banyak tulisan dari para rabbi ini sangatlah sedikit yang menyebutkan informasi yang sejalan dengan Rasag terhadap penyebutan nama-nama geografis seperti Mesha = Mecca, Lahai Roi = Zam-zam dll.

Memang Radak menyebutkan tentang tafsiran Rasag mengenai Kej 10:30 Mesa=Mecca & Sefar=Madinah, namun bukan berarti Radak sependapat dengan Rasag. Karena Radak justru punya penafsiran sendiri yang berbeda dengan Rasag. Jika memang benar Mesa=Mecca maka informasi ini merupakan salah satu informasi penting yang seharusnya telah diketahui rabbi-rabbi lainnya. Ayat ini dalam perikop Table of Nations secara khusus ayat 30 itu berkaitan dengan sebaran tempat tinggal keturunan Joktan. Namun hanya beberapa Rabbi yang mengulas tentang Joktan dan tidak menyinggung sama sekali tentang keberadaan Mekkah & Madinah tersebut. Satu-satunya konfirmasi dari rabbi-rabbi lain seperti Radak dan Ibn Ezra yaitu tentang sumur Lahai Roi sebagai mata air Zam-zam. Namun mereka hanya menyatakan dugaan saja yang jika dibandingkan dengan tradisi Islam justru kontradiktif. Karena mata air Zam-zam dalam tradisi Islam ditemukan oleh Hagar & Ismael sedangkan Lahai Roi oleh Hagar sendiri & Ismael belum lahir. Mengenai al-Qiblah = Negeb dan Al-Hijaz = Shur, tidak dukungan  pernyataan rabbi-rabbi yang lain.

Bahkan rabbi Abraham Ibn Ezra justru mengkritik penyebutan nama-nama lokasi biblikal dalam tafsir Rasag yang dianggapnya hanya mimpi atau imajinasi Rasag dalam rangka menyesuaikan tafsirannya dengan Islam. Sebagaimana dinyatakan Freidenreich mengenai tafsir Ibn Ezra atas Kej 2:11 "... The 12th-century commentator Abraham Ibn Ezra, who frequently cites and often rejects Saadiah's translational interpretations, comments acerbically that: [Saadiah] did this with families, cities, animals, birds, and rocks. Maybe he saw them in a dream. And he certainly erred in some cases, as I will explain in their proper places. If so, we should not rely on  his dreams. Perhaps he did this for the glory of God. Because he translated the Torah in the language of Ishmael and in their script ..". Idem

Rabbi Saadia Gaon memang diakui dalam tradisi rabbinik sebagai salah satu rabbi yang berpengaruh di samping Rashi, Rambam dll. Namun bukan berarti seluruh tafsirannya harus diterima, buktinya pernyataan-pernyataan berkaitan dengan Mekkah dalam Tanakh tidak mendapat dukungan dari rabbi-rabbi lainnya. Bahkan dari pihak Yudaisme masa kini tidak ada pernyataan yang mendukung tafsir Rasag berkaitan dengan Mekkah tersebut, termasuk Tovia Singer yang cukup dekat dengan Menachem Ali. Demikian pula dalam tulisan-tulisan akademis dari Jewish sholars tidak ada yang memperhitungkan pernyataan Rasag tersebut. Nahum Sarna seorang Jewish Scholar yang disegani dalam commentary-nya atas kitab Kejadian tidak menyebutkan pernyataan-pernyataan Rasag tersebut. Sarna, N. M. (1989). Genesis. English and Hebrew; commentary in English.; The JPS Torah commentary. Philadelphia: Jewish Publication Society. Demikian pula dalam commentary berbobot lainnya diantaranya:
  • Adele Berlin & Marc Zvi Brettler,  The Jewish Study Bible, Oxford University Press, 2004
  • Speiser, E. A, Genesis: Introduction, Translation, and Notes (70). New Haven;  London: Yale University Press, 2008 
  • Skinner, J., A critical and exegetical commentary on Genesis. New York: Scribner, 1910
  • Lange, J. P., Schaff, P., Lewis, T., & Gosman, A, A commentary on the Holy Scriptures : Genesis. Bellingham, 2008
  • Fruchtenbaum, A. G,  Ariel's Bible commentary: The book of Genesis (1st ed.), San Antonio, TX: Ariel Ministries, 2008



D. LITERATUR RABBINIK AWAL & TAFSIR RASAG
Dari mana sumber informasi Rasag dalam menuliskan hal-hal tersebut? masa hidup Rasag di abad ke-10 M sangat jauh dengan masa terjadinya kisah-kisah tersebut pada sekitar abad 18 SM. Jika tafsirnya hanya sebatas tafsiran moral dalam penerapan Torah bisa saja itu sebagai inovasi atau penemuan baru. Namun informasi berupa nama-nama geografis seperti Mesha, Lahai Roi tidak bisa hanya sekedar imajinasi semata, melainkan perlu warisan dari oral tradition dan mendapat konfirmasi dari sumber-sumber yang lebih awal seperti Targum, naskah Qumran, jewish apokriph, jewish pseudopigrapha dan berbagai literatur rabbinik masa-masa awal. Satu-satunya rujukan yang dianggap berasal pada masa awal sekitar abad ke-2 adalah kitab Asathir. Namun uraian dari kitab Asathir juga bertentangan dengan tradisi Islam dan menurut para ahli yang kredibel dalam studi Samaritan Aramaic, kitab Asathir ini merupakan produk belakangan pada abad pertengahan.

Apakah Saadia Gaon mewarisi oral tradition tentang eksistensi Mekkah khususnya di kalangan bangsa Yahudi sebagaimana klaim M Ali? Kisah Abraham & Ismael yang berkunjung ke Mekkah untuk membangun Kabbah/Mekkah terdapat dalam tradisi Islam seperti Quran, Hadist, kitab Tarikh & Tafsir. Kisah ini jelas peristiwa signifikan dalam masa hidup Abraham & Ismael. Namun mengapa kisah ini tidak tercatat dalam Tanakh/PL?. Bisa saja dijawab bahwa Bible telah dipalsukan, namun kapan pemalsuan ini terjadi untuk menghilangkan kisah "penting" tersebut? Adakah referensi sejarah tentang peristiwa pemalsuan itu? Apakah narasi dalam dokumen Dead Sea Scroll yang paralel dengan Tanakh berbasis Masoret Text juga telah dipalsukan?

Jika peristiwa kunjungan Abraham & Ismael ke Mekkah ini benar-benar fakta sejarah, maka seharusnya narasi kisah ini tercatat dalam Tanakh. Demikian pula keberadaan "Black Stone" dan bangunan Kabbah yang menjadi inti dari Mekkah itu sendiri.Tetapi yang diajukan sebagai bukti hanya untuk eksistensi "Mekkah" sedangkan hal yang substansial yaitu narasi kisahnya dan eksistensi Black Stone & Kabbah tidak ada data pendukungnya. Apakah oral tradition yang dimaksud hanya menyangkut eksistensi "mekkah"? Jelas tidak ada oral tradition seperti itu, kecuali berdasarkan pada penafsiran pribadi Rasag tentang Mesha = Mecca, Lahai Roi = Zam-zam, al Qiblah = Negeb, Al-Hijaz = Shur dsb.

Berbagai dokumen kuno yang relevan tidak ada jejak narasi kisah Abraham ke Mekkah, eksistensi Black Stone & Kabbah termasuk Mekkah itu sendiri. Mulai dari berbagai versi Tanakh: Teks Masoret (bah Ibrani), Septuaginta (bah Yunani) dengan berbagai variannya, Samaritan Pentateuch (bah Aramaic) termasuk dokumen-dokumen Dead Sea Scroll. Berbagai dokumen Jewish Apocrypha seperti Esdras, Tobit, Makkabe dll. Berbagai dokumen Jewish Pseudepigrapha seperti Enoch, Sibylline Oracles, Testament of Levi dll. Berbagai Targum, Talmud, Midrash serta tulisan penulis Yahudi kuno seperti Philo & Joshepus. Bahkan bisa diperluas dengan dokumen-dokumen extrabiblikal seperti tulisan Herodotus, Strabo dll.

E. PENUTUP
Tafsir Saadia Gaon (Rasag) telah digunakan sebagai rujukan apologetika Islam khususnya oleh pihak TYI dalam upaya membuktikan keberadaan Mekkah dalam Tanakh. Namun dari kajian yang cermat, tafsir Rasag yang memuat hal-hal yang mendukung teologi Islam ini justru tidak bisa dilepas dengan kondisi pada masa itu adanya pengaruh budaya Arab & Islam yang begitu kuat. Tafsir Rasag tentang Mekkah, Zam-zam dll ini merupakan pendapat pribadinya yang mengakomodasi Islamic Terms dalam tafsirnya, pendapat ini seharusnya merupakan informasi penting, namun tidak diketahui atau didukung oleh rabbi-rabbi lain seperti Rashi, Rambam dll. Demikian pula pernyataan Rasag itu bukanlah mewarisi oral tradition, karena tidak ada bukti signifikan dari literatur rabbinik awal seperti Targum, Talmud dsb.

Penggunaan tafsir Saadia Gaon oleh apologis Islam sebenarnya problematik bagi Islam sendiri. Karena terbukti pernyataan Rasag itu kontradiktif dengan tradisi Islam seperti penyebutan Mesa=Mekkah yang dalam Tanakh dalam konteks keturunan Joktan. Padahal dalam Hadist Bukhari dituliskan saat kunjungan Abraham ke Mekkah untuk membangun Kabbah, saat itu Mekkah belum berpenghuni. Jika kita mengkaji lebih lanjut sebenarnya tradisi Islam tentang Abraham, Ismael dan kabbah banyak terdapat versi yang kontradiktif. Uraian lengkapnya bisa dibaca dalam buku Reuven Firestone, Journeys in Holy Lands: The Evolution of the Abraham-Ishmael Legends in Islamic Exegesis (Albany, 1990). Demikian pula keberadaan Mekkah pada masa Abraham juga patut dipertanyakan, karena tidak ada rujukan dari berbagai literatur kuno yang menyebut keberadaannya bahkan sebelum abad ke-4. Silahkan baca buku Rafat Amari, Islam in the Light of History, Religion Research Institute, 2004.
Share: