Apakah Allah Telah Menolak Bangsa Israel??

Banyak yang menyatakan bangsa Israel telah ditolak Allah sejak mereka membunuh Yesus Sang Mesias. Bukti historis yang diajukan yaitu diusirnya bangsa Yahudi dari tanah Israel di tahun 70M saat jenderal Titus menghancurkan Yerusalem dan puncaknya di tahun 135M saat pemberontakan Bar Kokhba melawan Romawi. Namun berbeda dengan bangsa seperti Edom, Moab dll yang hilang lenyap jejaknya, bangsa Yahudi ternyata tetap eksis walaupun hidup tersebar di bangsa-bangsa lain selama berabad-abad. Kemudian di abad ke-20 mereka bisa kembali ke tanah Israel membangun sebuah negara Israel.

Terlepas dari polemik masalah politik antara Israel vs Arab khususnya Palestina, kita coba melihat data biblikal tentang eksistensi Israel sebagai suatu bangsa. Apakah bangsa Israel memiliki masa depan atau hilang lenyap sejak bangsa ini secara mayoritas menolak Yesus? Pada abad awal sd pertengahan umumnya menyatakan tidak ada masa depan untuk bangsa Israel dan mereka akan hilang eksistensinya. Namun fakta sejarah berkata lain, mereka tetapi eksis sebagai sebuah bangsa walaupun hidup di bangsa lain dan kembali eksis sebagai suatu negara. Menariknya eksistensi bangsa Yahudi walaupun jumlahnya kecil namun telah memberi pengaruh signifikan bagi peradaban dunia khususnya kemajuan teknologi bahkan banyak peraih nobel adalah orang Yahudi.

Dalam teologi Kristen terdapat perbedaan pendapat menyikapi pertanyaan dari judul tulisan ini. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Israel telah digantikan Gereja sebagai umat pilihan Allah sebagaimana digaungkan replacement theology. Namun terdapat pendapat lain bahwa Gereja adalah perluasan dari Israel (covenant theology) dan gereja serta Israel memiliki peran yang berbeda (dispensational theology). Kedua sistem teologi terakhir ini tidak menghilangkan eksistensi Israel. Pembahasan ketiga sistem teologi ini tentu perlu pembahasan yang panjang dan mendalam. Namun kita coba melihat beberapa teks yang krusial untuk kita elaborasi menjawab pertanyaan di atas.

Salah satu point yang diajukan untuk menyatakan bahwa bangsa Israel telah ditolak Allah yaitu tentang umat Yahudi saat ini mayoritas masih tidak percaya Yesus. Point ini bisa dikaitkan dengan teks Alkitab Roma pasal 11 yang nadanya justru menegasikan point tersebut.

Rom 11:1 Maka aku bertanya: Adakah Allah mungkin telah menolak umat-Nya? Sekali-kali tidak! Karena aku sendiripun orang Israel, dari keturunan Abraham, dari suku Benyamin.
Rom 11:2 Allah tidak menolak umat-Nya yang dipilih-Nya. Ataukah kamu tidak tahu, apa yang dikatakan Kitab Suci tentang Elia, waktu ia mengadukan Israel kepada Allah:
Rom 11:3 "Tuhan, nabi-nabi-Mu telah mereka bunuh, mezbah-mezbah-Mu telah mereka runtuhkan; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku."
Rom 11:4 Tetapi bagaimanakah firman Allah kepadanya? "Aku masih meninggalkan tujuh ribu orang bagi-Ku, yang tidak pernah sujud menyembah Baal."
Rom 11:5 Demikian juga pada waktu ini ada tinggal suatu sisa, menurut pilihan kasih karunia.

Pada ayat 1 & 2 Paulus memberi penegasan bahwa Allah tidak menolak bangsa Israel. Menariknya Paulus mengaitkan dengan kisah Elia yang pada masanya mayoritas orang Israel tidak menyembah Allah melainkan Baal. Jawaban Allah bahwa masih ada orang yg masih percaya kepadaNya walaupun secara kuantitas jumlahnya sedikit. Point ini sangat jelas dan relevan diterapkan ke bangsa Israel masa kini yg walaupun orang yg percaya kepada Yesus jumlahnya sedikit tidak berarti mereka telah ditolak Allah.

Israel masa kini memang mayoritas belum percaya Yesus tetapi mulai ada gerakan kebangkitan orang yang percaya Yesus yg dikenal sebagai Messianic Jews. Bahkan banyak jewish scholar dan rabbi yang telah menerima Yesus sebagai sang Mesias. Michael Brown seorang jewish scholar telah berdebat dengan banyak rabbi Yahudi dan dia telah menuliskan 5 seri buku Answering Jewish Objections. Jewish Scholar dan seorang rabbi Rabbi Itzhak Shapira yang menuliskan buku The Return of Kosher Pig: The Divine Messiah in Jewish Thought. Beberapa rabbi & jewish scholar yg lainnya yg telah percaya seperti Issac Lichtenstein rabbi ortodoks Hungaria, rabbi Israel Zolli, rabbi Russell Resnik, Rabbi Barry Rubin, Rabbi Barney Kasdan, Dr David Fredman dll.

Dari uraian singkat ini, jawaban atas pertanyaan di atas yakni "Tidak". Tentu masih banyak hal yg perlu didiskusikan tentang hal ini termasuk posisi bangsa Israel & gereja dalam konteks eskatologis. Secara umum bisa dikatakan gereja adalah penggenapan atas Israel atau gereja adalah israel secara rohani namun tidak berarti bangsa Israel telah hilang eksistensinya.
Share:

Allah Tritunggal : Waspada ekstrim Triteisme & Modalisme

Allah Tritunggal adalah doktrin primer Kristen yg paling banyak dibahas, diperdebatkan dan dipertanyakan, bukan hanya dari pihak non Kristen tetapi juga internal kekristenan. Konsep Allah Tritunggal lahir sebagai konsekuensi logis dari apa yang diajarkan Alkitab itu sendiri. Bapa sebagai Allah sudah jelas diajarkan dalam PL & PB. Yesus sebagai Allah juga diajarkan dalam Alkitab bahkan dalam Perjanjian Lama yang dikenal sebagai Mesias yang Ilahi (Divine Messiah), demikian juga dengan Roh Kudus. Apakah ini bisa langsung disimpulkan berarti ada 3 Allah ? Tentu tidak, karena ajaran keesaan Allah juga diajarkan Alkitab bahkan dinyatakan oleh Yesus sendiri yang berarti Alkitab mengajarkan Monoteisme. Makanya jika kita terlalu menekankan pada aspek ketigaan Allah dan mengabaikan keesaanNya kita bisa tergelincir ke Triteisme.

Tetapi sebaliknya jika kita terlalu menekankan pada aspek keesaan Allah dan mengabaikan ketigaanNya kita bisa tergelincir pada Modalisme atau Oneness. Untuk itu kita perlu ekstra hati-hati melihat data Alkitab agak tidak tergelincir ke salah satu ekstrim. Maka kita coba rumuskan data Alkitab ini menjadi 5 premis yang tiap premisnya memiliki dukungan data Alkitab yang kuat.
Premis 1: Allah itu esa
Premis 2: Bapa sebagai Allah
Premis 3: Anak (Yesus) sebagai Allah
Premis 4: Roh Kudus sebagai Allah
Premis 5: Ketiganya bisa dibedakan

Kelima premis ini telah tertuang dalam Pengakuan Iman Rasuli & Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel. Konsili Nicea 325 diadakan sebagai respon munculnya ajaran bidat arianisme yang menolak premis 3 dengan menyatakan Yesus adalah makhluk atau ciptaan yang berarti bukan Allah seperti Allah Bapa. Konsili berikutnya Konsili Konstantinopel (381) melengkapi formulasi konsili Nicea dengan lebih memperjelaskan keallahan Roh Kudus (premis 4) sekaligus merespons ajaran bidat Makedonianisme yg menganggap Roh Kudus itu makhluk.

Pihak Modalisme kurang memperhatikan premis 5 sehingga memunculkan pemahaman bahwa Allah itu satu pribadi. Sebelum konsili Nicea ajaran modalisme atau lebih tepatnya monarkianisme telah muncul dan telah ditanggapi bapa gereja diantaranya Tertulianus dalam bukunya Adversus Praxean menanggapi praxeas. Konsili Nicea memang fokus menanggapi Arianisme, namun sebenarnya juga menolak modalisme atau monarkianisme.

Jika kita cermati data Alkitab, primes 5 itu sangat jelas misalnya tentang pembaptisan Yesus yg menunjukan adanya eksistensi Bapa (suara dari surga), Yesus dan Roh Kudus dalam bentuk burung Merpati, demikian juga dengan doa Yesus di Getsemani dll. Pada masa kini varian Modalisme yang mulai populer yaitu Oneness Pentacostalism yang menekankan hanya satu pribadi Yesus yang ilahi, istilah lainnya Jesus Only.

Jika Allah bukan satu pribadi berarti tiga pribadi, bukankah tiga pribadi menunjuk 3 pribadi Allah? Pertanyaan ini telah menjadi pergumulan bapa-bapa gereja untuk menjelaskannya. Bapa gereja Tertulianus memunculkan istilah dalam bahasa latin "una substantii, tre personae", bapa-bapa gereja timur menggunakan istilah "hypostatis" untuk kata "personae" yang kemudian dipadankan ke bahasa Inggris dengan kata "person" atau "pribadi" dalam bahasa Indonesia. Bapa-bapa gereja berikutnya mengadopsi istilah ini (personae/hypostatis) termasuk istilah (homoousios/sehakekat) sambil memberi penjelasan definisi dari istilah-istilah tsb.

Bapa-bapa gereja Kapadokia yaitu Gregorius dary Nyssa, Gregorius dari Nazianus & Basilius dari Kaisarea, banyak membahas masalah ini khususnya keterkaitan antara kata hypostatis & homoousios. Untuk menelaskan homoousios mereka mengambil analogi dengan pribadi dalam hubungan sesama manusia bahwa seorang bapa dan anaknya miliki satu hakekat sebagai manusia. Namun selanjutnya tidak boleh berhenti sampai di situ, karena bisa terjerumus dalam Triteisme karena "Pribadi" ilahi yang dimaksud berbeda dengan "pribadi" manusia. Mereka menjelaskan bahwa pribadi manusia dapat dibeda-bedakan tindakan satu orang dengan yang lainnya jika mengerjakan tugas yang, maka sudah ditepat disebut banyak orang. Pribadi manusia terpisah satu sama lainnya. Berbeda dengan Allah yang tidak terpisahkan satu sama lain, tidak pernah mengerjakan suatu pekerjaan sendiri tanpa melibat yang lainnya. (Gregorius dari Nyssa, Quod Non Sint Tres Dii).

Masih banyak uraian para bapa gereja lainnya tentang hal ini namun point yang bisa kita dapatkan dari uraian bapa-bapa gereja Kapadokia bahwa kata Hypostatis bisa saja diartikan sebagai Person atau Pribadi tetapi bukanlah sepenuhnya seperti pengertian pribadi dalam kamus masa kini. Karena konsep pribadi masa kini melibatkan atribut kesadaran diri yang independen yang tidak terkait dengan pribadi lainnya.

Pada abad ke-18 teolog Karl Barth mengangkat kembali masalah Trinitas yang sudah kurang menjadi perhatian pada masanya. Bahkan pada masa itu seiring dengan munculnya liberalisme, beberapa teolog liberal berpendapat inkarnasi itu mitos dan dengan sendirinya menolak Trinitas. (John Hick, The Myth of God Incarnate). Barth mengkritisi penggunaan istilah "pribadi" yang menurutnya sudah berbeda dengan pengertian yang dimaksud oleh bapa-bapa gereja dan memperkenalkan istilah seinswiese atau "cara berada". Hal ini dituliskan Harun Hadiwijono

".. Sejak abad ke-18 ini sebenarnya pengertian persona atau oknum telah tidak mungkin lagi diterapkan guna mengungkapkan pengertian Alkitab yang mengenai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebab memang bukan pengertian yang seperti itulah yang dimaksud oleh Gereja kuna ketika merumuskan ajarannya tentang ketritunggalan Allah. Oleh karena itu maka banyak para ahli teologi sekarang yang menerjemahkan ungkapan hypostatis atau persona bukan dengan oknum, melainkan cara berada (seinswiese atau mode of existence), sehingga ketritunggal dirumuskan demikian: Allah adalah satu di dalam substansinya, tetapi memiliki tiga cara berada. (Umpamanya Karl Barth)". Harun Hadiwijono, Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, 2007, p100.

Namun kita harus hati-hati mengambil acuan dari tulisan ini, yaitu menolak konsep "tiga pribadi" itu lalu meloncat ke konsep "satu pribadi". Karena jika tidak hati-hati bisa tergelincir ke Modalisme. Saya coba pelajari pemahaman Karl Barth ini, yang ternyata dia tidak maksud menolak pemahaman bapa gereja itu tetapi hanya mengkritisi konsep pribadi masa kini utk dijadikan acuan memahami konsep "pribadi" yang dimaksud bapa gereja. Dalam buku-bukunya dia sangat tegas menolak modalisme walaupun ada beberapa teolog yang mencurigai konsepnya itu sebagai modalisme misalnya jurgen moltman. Harun Hadiwijono sendiri yang mengikuti konsep Barth atas istilah "cara berada" menolak bahwa konsep itu mengajarkan sabellian (hal 133). Masalah ini tentu perlu kajian yang lebih teknis & detail.

Berdasarkan uraian singkat ini, maka diperlukan kehati-hatian memahami relasi dalam Allah Tritunggal, karena bisa tergelincir ke ekstrim Triteisme atau ekstrim Modalisme. Jika tertarik menggunakan istilah "cara berada" sebagaimana diajukan Barth, maka kita harus paham bahwa itu tidak dimaksudkan menolak konsep "una substantii, tre personae" atau Satu Hakekat Tiga Pribadi tetapi pengertian "pribadi" yang dimaksud harus dimengerti seperti apa yang dimaksud bapa gereja, seperti dijelaskan oleh bapa-bapa gereja Kapadokia dan "Cara Berada" yang dimaksud tetap merujuk eksistensi atau "pribadi". Apalagi sampai meloncat ke pemahaman Satu Pribadi Tiga Cara Berada yang justru paham Modalisme yang telah ditentang para bapa gereja.
Share:

Kanonisasi Alkitab vs Alquran: Menjawab Menachem Ali

Menachem Ali secara sistematis terus mengulas kekristenan dan temanya saat ini seputaran kanonisasi Alkitab. Sambil mengkritisi kanonisasi Alkitab, dia mencoba memberi perbandingan dengan kanonisasi Quran dan output kesimpulannya bahwa kanonisai Quran lebih superior dibanding Alkitab. Saya telah menulis beberapa postingan FB berkaitan ini dan semoga bisa berlanjut dalam tulisan berseri berikutnya seputar kanonisasi Alkitab. Pada tulisan ini saya akan memberi tanggapan secara ringkas atas video Menachem Ali berjudul Deuterokanonika: Kitab Perjanjian Baru yang Disembunyikan (Apokrif).

Menachem Ali mengawalinya dengan menguraikan proses kanonisasi Quran yang menurutnya sudah final & rampung sejak abad pertama hijrah di era Usman bin Affan. Masalah perbedaan dengan mushaf Mas'ud, Ubay dll hanyalah masalah urutan surah, istilah yang dia gunakan tertib surah. Perbedaan lain hanya sekedar perbedaan bacaan (qiraat). Kemudian dia membandingkan dengan kanonisasi Alkitab yang menurutnya sejak abad 1 sd abad 21 belum juga selesai dan masih terus diperdebatkan. Dia merujuk pada kitab deuterokanonika dalam PL menurut Katolik & Kristen Ortodoks dan dianggap apokrif oleh Kristen Protestan. Kemudian dengan PB dia juga menyebut tentang kitab deuterokanonika yaitu kitab-kitab yang ditolak Marten Luther seperti kitab Ibrani, Yakobus dll. Ali juga menyinggung masalah manuscript dengan membandingkan manuscript Birmingham versus papyrus P52 fragmen injil Yohanes (Footnote 1), untuk point terakhir ini akan dibahas di tulisan lain.

Sekilas bagi audens umum penyajian argumentasi Ali terkesan powerfull & akademik, tidak heran banyak mendapat apresiasi. Namun jika memahami konteks persoalan secara komprehensif akan terlihat argumentasi itu kurang kuat dan tidak substansial khususnya jika itu diletakan dalam bingkai relasi teologis apologetis Kristen Islam.

Pertama-tama mari kita lihat perbandingan apple to apple antara Bible & Quran berkaitan dengan isi kitab, kita bandingkan dulu dengan Perjanjian Baru dengan Quran. Menurut Islam, Quran adalah wahyu Allah yaitu berbagai sabda Allah yang diterima Muhammad melalui malaikat Jibril, kemudian wahyu itu disampaikan ke para sahabatnya yang mencatat dan mengingatnya. Namun hal ini berbeda dengan Perjanjian Baru, karena tidak ada model "wahyu" seperti itu. Yesus tidak pernah dicatat bahwa Dia menerima wahyu Allah melalui perantaran malaikat. Pola dalam Injil ini juga berbeda dengan nabi-nabi dalam PL yang menerima wahyu melalui mimpi, penglihatan dll (Ibr 1:1-2). Dalam PB khususnya injil, wahyu atau firman itu sudah menjadi manusia (Yoh 1:1,14) yaitu Yesus maka apa yang diajarkan Yesus itu bisa disejajarkan dengan wahyu Allah yang diterima Muhammad melalui Jibril.

Pihak polemikus dengan asumsi kitab injil itu seperti Quran, beranggapan "nabi Isa" (Yesus) seharusnya juga menerima wahyu dari Allah. Namun masalahnya tidak ada data berupa kitab atau manuscript yang mendukung pemahaman itu. Bahkan dalam berbagai injil apokrif tidak ada pola seperti itu bahwa Yesus menerima wahyu dari Allah melalui perantara malaikat. Dalam kesarjanaan modern dikenal istilah Q (Quelle) berupa kumpulan perkataan Yesus yang biasa dikaitkan dengan kitab Markus sebagai dua sumber utama penulisan kitab Matius & Lukas (Two Document Hypothesis). Keberadaan Q apakah berupa oral atau written tradition sifatnya hipotesis (Footnote 2) dan debatable (Footnote 3), beberapa scholar seperti Mark Goodacre (Footnote 4) menolak eksistensinya. Nah Q itupun juga tidak compatible dengan konsep pewahyuan menurut polemikus muslim karena dalam Q tidak ada petunjuk bahwa Yesus menerima wahyu tetapi justru hanya berupa perkataan Yesus langsung. Dengan kata lain ektsistensi "injil asli" menurut perspektif muslim sampai saat ini tidak bisa dibuktikan keberadaannya.

Dengan demikian menurut isi kitab perbandingan yang apple to apple itu Injil kanonik dibandingkan dengan Quran. Malah jika lebih detail yaitu semua perkataan dan pengajaran Yesus berbanding dengan Quran yang berisi wahyu atau pengajaran dari Allah. Karena dalam Injil kanonik terdapat narasi sejarah sebagai konteks historis setiap perkataan Yesus, sedangkan dalam Quran sangat sedikit narasi sejarahnya. Makanya dalam Islam dikenal istilah asbabun nuzul ilmu tentang latar belakang dan sebab-sebab turunnya ayat yg sumbernya banyak mengambil dari hadith, kitab tarikh dan tafsir Islam klasik.

Sekarang kita lihat relevansinya dengan proses kanonisasi. Dalam kekristenan, Perjanjian Baru sebagai kitab suci selain injil kanonik yang berisi kisah & pengajaran Yesus juga terdapat kisah para rasul dan jemaat mula-mula, surat-surat para rasul seperti Paulus, Petrus, Yohanes, Yakobus serta kitab Wahyu sebagai kitab apokaliptik. Kesemuanya itu masuk dalam kanon PB. Waktu penulisan dari kitab-kitab ini mayoritas sholars menempatkannya di abad pertama, bahkan liberal scholar seperti A.T. Robinson setelah mempelajari berbagai manuscript menempatkan waktu penulisannya sebelum tahun 70M (Footnote 5).

Menachem Ali membanggakan status kanonisasi Quran yang menurutnya sudah selesai sejak abad pertama Hijrah pada era khalifah Usman bin Affan. Namun sepertinya agak berbeda dengan Mun'im Sirry sebagaimana disampaikan dalam status FBnya berkaitan dengan pembahasannya tentang mushaf Mas'ud. Bagaimana dengan hadith yang jadi sumber utama memahami konteks ayat-ayat Quran, yang nanti dikompilasi oleh Bukhari dll 200an tahun kemudian?. Bahkan sampai saat ini kalangan shiah menolak hadith-hadith yang dianggap sahih oleh kalangan Sunni. Jika kita bandingkan dengan Perjanjian Baru, beberapa kitab yang diperdebatkan dalam PB (7 kitab) bisa disejajarkan dengan hadith yang berisi pendapat para sahabat sama seperti tulisan atau pendapat Petrus dalam surat Petrus.

Menachem Ali mengambil point Martin Luther yang mempertanyakan beberapa kitab dalam PB ini, namun pada kenyataan kalangan protestan juga mengakuinya. Sehingga praktis kanon PB telah diterima secara universal oleh Katolik, Ortodoks dan Protestan. Untuk masalah deuterokanonika PL akan dibahas tersendiri, pointnya pembahasan ini sifatnya diskusi internal dalam kekristenan, namun karena Ali mengangkatnya dalam konteks apologetik Islam terhadap Kristen, maka kita perlu melihat relevansi pembahasan deuterokanonika dengan dialog Kristen Islam. Dan ternyatanya tidak punya relevansi yang signifikan. Referensi tentang kemesiasan Yesus serta kesinambungan dari PL ke PB masih tetap eksis dalam kitab-kitab di luar deuterokanonika. Bahkan tidak ada point dalam deuterokanonika untuk pembenaran terhadap konsep teologis Islam oleh polemikus Islam sebagai agama yang meluruskan ajaran Kristen & Yudaisme, konsep Israel digantikan Arab atau nubuatan atas Muhamamad & Islam.

Sekarang kita lihat perbandingan lain antara Injil kanonik dan Quran. Ketiga injil sinoptik Matius, Markus & Lukas banyak menulis narasi sejarah kisah Yesus dibanding Injil Yohanes yang sifatnya pelengkap untuk data sejarah dan lebih fokus pada pengajaran Yesus. Ketiga injil sinoptik ini bisa disejajarkan dengan mushaf Uthmani, mushaf Mas'ud, Mushaf Ubay bin Kaab dll. Namun bedanya dalam kekristenan tidak ada upaya penyeragaman untuk menetapkan satu kitab standard tetapi membiarkan apa adanya keberadaan kitab-kitab itu sejak abad pertama. Jika kita melihat daftar kitab PB menurut bapa-bapa gereja seperti Athanasius dll juga konsili-konsili seperti konsili Laodekia, Hippo, Kartago dll, semuanya menyebutkan keempat injil kanonik. Memang ada yang hanya memilih satu kitab saja yaitu kitab Lukas tetapi dilakukan oleh bidat Marcion karena alasan teologis sesuai dengan ajaran bidatnya.

Berbeda dengan Islam yang menyeragamkan dan menetapkan Quran standard yaitu mushaf uthmami dan membakar mushaf-mushaf lainnya. Menachem Ali mencoba menyederhanakan persoalan ini, bahwa standardisasi hanya demi tertib surah. Perbedaan dengan mushaf Uthmani hanya masalah urutan surah dan perbedaan bacaan (qiraat) katanya. Saya kira ini masalah internal Islam, dan diantara sarjana Islam itu sendiri terutama dari sarjana Islam modern cukup banyak yang berbeda pendapat dengan Ali. Saya kembali menyebut Mun'im Sirry yang kebetulan status FBnya beberapa hari ini membahas kanonisasi Quran & mushaf Mas'ud. Data yang ditunjukan Mun'im Sirry bahwa Mas'ud menolak standardisasi Quran yang dipimpin Zaid bin tsabit dan dia juga menolak menyerahkan mushafnya untuk dibakar. Data lainnya masih ada penggunaan mushaf Mas'ud pasca era Uthman. Jawaban standard apologetik Islam bahwa Mas'ud berikutnya disebutkan telah menerima mushaf Uthmani, sudah tentu datanya perlu dicross check kembali. Silahkan rekan-rekan melihat langsung tulisan Sirry di FBnya atau membaca buku-bukunya (Footnote 6) yang cukup detail membahas hal ini. Selain Sirry, buku Taufik Adnan Amal berjudul Rekonstruksi Sejarah Al-Quran menarik juga dipelajari (Footnote 7).

Jika dalam Islam, ada otoritas tunggal yang berpengaruh dalam proses kanonisasi yaitu kalifah Utman bin Affan dan berlanjut di era dinasti Umayah kalifah Abdul Malik bin Marwan dan gubernur Hajjaj bin Yusuf yg sangat keras melarang penggunaan mushad Mas'ud. Berbeda dengan dengan kekristenan awal, tidak ada otoritas tunggal yang melakukan standarisasi injil misalnya menetapkan injil Lukas sebagai injil standard.

Pola kepemipinan geraja awalnya berpusat pada kepimpinan para rasul di Yerusalem, seiring waktu di kota-kota yang banyak Kristen muncul para penatua atau presbiter yang dipimpin seorang uskup, seperti uskup Alexandria, uskup Roma, uskup Yerusalem dll (Footnote 8.). Di gereja bagian barat kepemimpinan mulai terpusat ke Roma yang kemudian dikenal sebagai Katolik Roma sedangkan di timur cenderung lebih independen satu sama lain yang kemudian disebut sebagai kristen Ortodoks. Jika masalah ketuhanan Yesus diteguhkan dalam konsili am & oikumenes melalui formula pengakuan iman yang meneguhkan apa yang telah dimani gereja sejak awal lahirnya kekristenan. Masalah kanon PB lebih banyak dibahas dalam konsili-konsili lokal seperti konsili Laodekia, Hippo, Kartago dan termasuk daftar kitab yang disusun oleh bapa-bapa gereja seperti Athanasius dll. Namun semua sepakat menerima keempat injil kanonik dan kitab-kitab lain kecuali ketujuh kitab lainnya yg diperdebatkan, namun pada pada akhirnya semua ke-27 kitab PB diterima semua gereja termasuk kemudian oleh Protestan. Pointnya jelas tidak ada upaya untuk standarisasi atau memilih satu kitab injil, karena memang tidak ada alasan dan tidak ada yg perlu ditakuti. Adapun perbedaan dalam kitab kanonik bukanlah hal substansi karena inti ajaran dan sejarah (historical core) tetap sama. Berbeda dengan injil apokrif yang ditolak gereja karena bapa-bapa gereja secara mayoritas telah mengetahui kitab-kitab apokrif itu nanti ditulis belakangan di abad kedua dst. Kitab-kitab apokrif itu tidak dibakar dan masih eksis sampai saat ini, terutama sejak penemuan di Nag Hammadi.

Ok saya kira ini dulu catatan ringkasnya menanggapi video Menachem Ali. Untuk pembahasan yang lebih spesifik akan dilanjutkan dalam status FB berikutnya dan untuk kajian yang lebih detail & teknis akan dituliskan dalam Blog dan jika ada kesempatan disajikan lewat video zoom/youtube.

Footnote:

(1). ".. The critical significance of p52, which preserves only a fragment of John 18, lies in the date of 'about 125' assigned to it by the leading papyrologists. Although 'about 125' allows for leeway of about twenty-five years on either side, the consensus has come in recent years to regard 125 as representing the later limit, so that p52 must have been copied very soon after the Gospel of John was itself written in the early 90's A.D. (with the recent discovery of p90 another second century fragment of the Gospel of John is now known). It provides a critical witness to the quality of the New Testament textual tradition, further confirming it by exhibiting a 'normal text', i.e., attesting the text of today (that of Nestle-Aland26 and GNT3)." The Text of the New Testament, Aland and Aland, Eerdmans/EJ Brill: 1989 (2nd ed)

(2). ".. It is necessary to insist that Q is simply a hypothetical document; its claim to have existed rests on its being the best hypothesis to explain the fact that there is much material to be found in these two Gospels [Matthew, Luke] which shows so close a resemblance of wording (sometimes amounting to complete identity) that it must have been derived by both of them from a common written source, or at least an oral source which was regarded as authoritative and memorized by Christian teachers". Ralph P. Martin, New Testament Foundations: A Guide for Christian Students--Vol.1: The Four Gospels, Eerdmans: 1975, p147

(3). "..Criticism of the two-document hypothess ) has centered on the alleged priority of Mark and several objections to the hypothethical source Q. (1) Q has never been shown to be one document, and (2) its character and limits are difficult if not impossible to establish. (3) It is, some charge, an unncesessary assumption since the synoptic problem can be resolved without invoking such a hypothethical source. The last objection was supported inter alia by A. Farrar and, together with an attack on Marcan priority, by B.C. Butler. In recent years it has been pursued persistently by a "task force" of a considerable number of scholars made up largely but not altogether of advocates of a new Griesbach hypothesis..". Peter Stuhlmacher, ed. The Gospel and the Gospels, Eerdmans: 1991, p35

(4), Mark Goodacre, The Case Against Q: Studies in Markan Priority and the Synoptic Problem, Harrisburg, PA: Trinity Press International, 2002

(5). John A. T. Robinson, Redating the New Testament, SCM Press, 1976

(6). Mun'im Sirry, Kontroversi Islam Awal: ; Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis , Mizan, 2015 dan Mun'im Sirry, Rekonstruksi Islam Historis, Suka Pres, Yoqyakarta, 2021

(7). Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, alvabet, 2005

(8.). Transisi kepemimpinan gereja awal dari gereja rasuli di Yerusalem ke kota-kota yang dipimpin oleh uskup atau pola pelayanan rangka tiga: uskup, presbiter dan diaken, kita lihat datanya dalam tulisan Ignatius uskup Antiokhia dan Ireneus yang membuat daftar pemimpin-pemimpin gereja pada masa itu. Uraian ini dijelaskan dalam buku Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, BPK Gunung Mulia, 2007. hal 6-10.

Referensi:

- Bruce Metzger, The Canon of the New Testament. Oxford: Clarendon, 1987
- Michael J. Kruger, Canon Revisited: Establishing the Origins and Authority of the New Testament Books, Crossway, 2012
- Roger T. Beckwith, The Old Testament Canon of the New Testament Church and Its Background in Early Judaism (Grand Rapids, MI: Wipf & Stock Publishers, 1986
- Harris, R. Laird. Inspiration and Canonicity of the Scriptures. Greenville, SC, 1995
- Lee M. McDonald, The Formation of the Christian Biblical Canon. Peabody: Hendrickson, 1995.
- Arthur Patzia. The Making of the New Testament. Downers Grove: IVP, 1995.
- Cyril C. Richardson (ed.). Early Christian Fathers, Macmillan:1970
- Schaff, Philip, History of the Christian Church,Volume I: Apostolic Christianity, A.D. 1-100, CCEL, Wheaton College
- Charlesworth, James H., The Old Testament Pseudepigrapha & the New Testament: Prolegomena for the Study of Christian Origins, Trinity Press International, Harrisburg, 1985
- Jakov Van Bruggen, Siapa Yang Membuat Alkitab?, Momentum, 2013 terjemahan dari Wie Maakt de Bijbel, Kampen Netherlands
- F.F. Bruce, Dokumen-dokumen Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, 2003 terjemahan dari The New Testament Documents, InterVarsity Fellowship
- Ralph P. Martin, New Testament Foundations: A Guide for Christian Students--Vol.1: The Four Gospels, Eerdmans: 1975
- Peter Stuhlmacher, ed. The Gospel and the Gospels, Eerdmans: 1991
- John A. T. Robinson, Redating the New Testament, SCM Press, 1976.
- Mark Goodacre, The Case Against Q: Studies in Markan Priority and the Synoptic Problem, Harrisburg, PA: Trinity Press International, 2002
- Strobel, Lee, Pembuktian Kebenaran Iman Kristiani, Gospel Press, Batam, 2005, terjemahan dari The Case for Faith, Zondervan, Grand Rapids
- Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, BPK Gunung Mulia, 2007
- Paulus Daun, Bidat dari Masa ke Masa, Yayasan Daun Family, 2007
- Gerhard Nehls & Walter Eric, The Islamic-Christian Controversy, Life Challenge Africa, Nairobi, Kenya, 1996
- Gilchrist John, Facing the Muslim Challenge : A Handbook of Christian-Muslim Apologetics, Life Challenge, Cape Town, South Africa, 2002
- Gilchrist, John, The Textual History of The Qur’an and The Bible, Light of Life, Austria, 1996
- Campbell, W.F, The Quran and the Bible in the light of History and Science, Middle East Resources
- Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, alvabet, 2005
- Mun'im Sirry, Kontroversi Islam Awal: ; Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis , Mizan, 2015
- Mun'im Sirry, Rekonstruksi Islam Historis, Suka Pres, Yoqyakarta, 2021
Share:

Mengapa Bidat & Injil Apokrif kurang berkembang di abad Pertama?

Kita sudah membahas sebelumnya tentang Yesus Lain - Injil Lain khususnya identifikasi bidat-bidat awal yang muncul di era para rasul atau di abad pertama yaitu bidat doketisme (proto gnostik) yang menolak kemanusiaan Yesus & nomianisme yg mengajarkan selain percaya Yesus juga harus menjalankan Taurat untuk selamat. Menurut Paulus Daun dalam bukunya Bidat Kristen dari Masa ke Masa (2006) ada bidat lainnnya yaitu asketisisme & anti resureksionisme namun kemunculannya tidak signifikan. Sedangkan injil apokrif praktis tidak ada di abad pertama, kitab Didache tidak masuk kategori injil apokrif namun tulisan yg cukup bermanfaat tentang pola hidup Kristen tetapi kitab ini tidak masuk dalam kanon PB karena tidak ditulis oleh para rasul.

Menjawab pertanyaan dari judul tulisan di atas, karena pada masa itu (abad pertama) masih ada para rasul yang memberi pengajaran langsung dan sekaligus meluruskan jika ada ajaran yang menyimpang. Jika diselidiki lebih lanjut, terdapat prinsip checks & balances yang dilakukan para rasul yang menunjukan adanya otoritas rasuli & kontrol yang kuat. Mari kita lihat datanya.

Kis 8:14 Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar, bahwa tanah Samaria telah menerima firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke situ.
Jemaat awal berpusat di Yerusalem, ketika injil mulai menyebar ke Samaria, para rasul mengirim utusan yaitu Petrus & Yohanes untuk mengecek hal itu sekaligus melakukan pengajaran di sana. Demikian juga saat injil sampai ke Antiokhia mereka mengirim Barnabas.
Kis 11:22 Maka sampailah kabar tentang mereka itu kepada jemaat di Yerusalem, lalu jemaat itu mengutus Barnabas ke Antiokhia.

Saat terjadi perbedaan pendapat termasuk masalah doktrinal seperti tentang Taurat apakah harus dijalankan kepada Kristen untuk bisa selamat, Jemaat meminta petunjuk dari para rasul atas masalah ini.
Kis 15:2 Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu. Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan soal itu.

Keputussan dari sidang Yerusalem kemudian disosialisasikan bahkan disampaikan dalam bentuk surat. Kis 15:23 Kepada mereka diserahkan surat yang bunyinya: "Salam dari rasul-rasul dan penatua-penatua..". Bahkan mengirim beberapa orang selain Barnabas & Paulus untuk membantu menjelaskan keputusan tersebut. Kis 15:25 Sebab itu dengan bulat hati kami telah memutuskan untuk memilih dan mengutus beberapa orang kepada kamu bersama-sama dengan Barnabas dan Paulus yang kami kasihi.

Para rasul memiliki otoritas/wibawa yang kuat dan juga kontrol yang kuat. Kis 15:24 "Kami telah mendengar, bahwa ada beberapa orang di antara kami, yang tiada mendapat pesan dari kami..". Dalam bahasa Inggris "without our authorization" atau "without instructions from us". Dari data ini peluang tumbuhnya bidat menjadi kecil, jika mulai muncul langsung ditanggapi para rasul.

Dalam menyebar Injil, para rasul saling mendukung satu sama lain bahkan saling berkoordinasi misalnya dalam pembagian medan pelayanan ada yang ke kaum bersunat dan kaum tidak bersunat.
Gal 2:9 Dan setelah melihat kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, maka Yakobus, Kefas dan Yohanes, yang dipandang sebagai sokoguru jemaat, berjabat tangan dengan aku dan dengan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang yang tidak bersunat dan mereka kepada orang-orang yang bersunat;

Menariknya dalam Perjanjian Baru kita bisa melihat adanya kolaborasi diantara para rasul yang melayani secara tim dan hal ini secara tidak langsung mengkonfirmasi tulisan-tulisan yang ditulis oleh para rasul itu karena akan diketahui satu sama lainnya. Diantaranya: Yakobus bersama Matius & Markus di Yerusalem (Kis 1:13, 12:12-17,25), Paulus bersama Yakobus & Lukas (Kol 4:14, 2 Tim 4:11, Fil 24, Kis 21:17), Petrus dan Paulus bersama Markus (Kol 4:10, 1 Pet 5:13, Kis 13:5) dan lain-lain.

Seiring waktu para rasul menyadari perlu mewariskan ajaran Injil yang tidak hanya dipelihara melalui tradisi lisan (oral tradition) melainkan juga ke tradisi tulisan (written tradition). Matius menyusun injil berdasarkan catatannya yang cukup detail karena latar belakang dia sebagai tax collector. Markus murid dari Petrus mencatat informasi dari gurunya Petrus sang saksi mata. Lukas kawan perjalanan Paulus & sering bertemu dengan para rasul di Yeruselam termasuk dengan ibu Yesus, melakukan investigasi tentang peristiwa yang telah terjadi. Demikian pula Yohanes menuliskan injil Yohanes belakangan pasca selesainya injil sinoptik ditulis.

Pola kontrol yang ketat atas berbagai pengajaran dan tulisan juga dilakukan para rasul, seperti Petrus atas Injil Markus yang ditulis Markus berdasarkan keterangannya. Petrus kemudian MERATIFIKASI tulisan Markus tentu setelah memeriksanya.
".. .. besought Mark, whose Gospel is extant, seeing that he was Peter's follower, to leave them a written statement of the teaching given them verbally, nor did they cease until they had persuaded him adn so became the cause of the Scripture called the Gospel according to Mark. And they say that the Apostle, knowing by the revelation of the spirit to him what had been done, was pleased at their zeal and RATIFIED the Scripture for study in the churces". (Ecc. Hist 2.15.1)

Petrus juga menilai tulisan-tulisan Paulus dan menyetujuinya. Dia juga mengingatkan adanya pengajar-pengajar yang mulai muncul yang mencoba menafsirkan tulisan-tulisan Paulus itu secara keliru bahkan bisa menyesatkan.
2 Pet 3:15-16 ...seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain.

Pola kontrol yang kuat ini terus berlanjut ke era selanjutnya, era apostolik sampai ke era bapa-bapa gereja. Kita akan bahas dalam tulisan berikutnya. Maka tuduhan yang keliru tentang kanonisasi termasuk tuduhan Injil tidak asli lagi jelas bertentangan dengan data yang ada.
Share:

Kitab Perjanjian Baru yang Disembunyikan?

Beberapa orang beranggapan bahwa proses kanonisasi Perjanjian Baru dilakukan oleh para bapa gereja dengan cara memilih kitab-kitab yang cocok dengan teologi gereja diantara banyak kitab-kitab yang tersedia. Kemudian kitab yang tidak terpilih itu disembunyikan atau disebut injil apokrif. Mereka juga menyajikan "bukti" mengenai beberapa kitab dalam kanon PB yang nanti dipilih beberapa waktu kemudian dengan kesan sebagai pengumpulan kitab tahap 2. Bagaimana kita menanggapi pemahaman ini.

Pemahaman ini keliru karena kurang memahami sejarah kanonisasi Perjanjian Baru secara komprehensif, tetapi hanya mengambil beberapa data secara parsial yang ditafsir menurut perspektif yang dibangun atas asumsi kitab Perjanjian Baru tidak asli lagi. Kekeliruan mendasar yaitu tidak memperhatikan data manuscript & referensi extra biblikal yang memberi petunjuk kuat waktu penulisan Injil kanonik & kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Baru pada abad pertama masih di era hidup para saksi mata. Berbeda dengan injil apokrif yang nanti ditulis mulai abad ke-2 setelah matinya para rasul dan saksi-saksi mata. Berbagai scholar dari berbagai spektrum teologis termasuk liberal scholars dewasa ini mayoritas menempat waktu penulisan PB pada abad ke-1 & bahkan banyak scholar menempatkannya sebelum peristiwa hancurnya Yerusalem (70M).

Para polemikus masih mengacu pada data lama sekitar abad 19 yang dimotori kelompok Tubingen (Bauer dkk) yang menempatkannya waktu penulisannya sekitar thn 200-an. Namun pandangan ini sdh banyak ditinggalkan scholars seiring dgn penemuan arkeologi berupa manuscript2 PB, tulisan bapa2 gereja & sejarawan kuno serta artefak2 arkeologi yang cenderung mendukung penanggalan penulisan PB pada abad pertama. Sebagai contoh manuscript P52 yg berisi fragmen Injil Yohanes oleh papyrologist seperti disebutkan Barbara & Kurt Alland tanggalnya pada sekitar tahun 125M yang merupakan bagian dari family of alexandrian text. Salinan itu ditemukan di Mesir yang jaraknya cukup jauh dengan Efesus yang menurut para ahli tempat rasul Yohanes menuliskan injil Yohanes, sehingga kemungkinan yang sangat kuat bahwa autografnya sudah ada jauh sebelumnya. Demikian juga dengan manuscript P66, P72, P75 dll bertgl 150-200an yg berisi berbagai kutipan dlm Injil kanonik & surat/kitab PB. Serta didukung oleh referensi tulisan bapa gereja, sejarah gereja dan artefak arkeologis lainnya.

Hal Ini sangat berbeda dgn manuscript2 injil Apokrif yg nanti muncul abad2 berikutnya seperti dlm dokumen2 Nag Hammadi. Dr penelusuran sejarah, injil apokrif2 nanti muncul pd abad ke-2 dan abad selanjutnya. So asumsi bhw bapa2 gereja memilih2 kitab2 yg ada tidaklah valid, karena injil kanonik telah ada sebelumnya & telah diterima oleh jemaat mula2 dan kemudian diteguhkan dalam konsili2 seperti Konsili Laodekia, Hippo, Kartage dll, Para bapa gereja seperti Athanasius telah menyusun daftar kitab-kitab itu yang telah mereka kenal dan gunakan. Semuanya sepakat memasukan keempat injil kanonik dan kitab-kitab lainnya.

Beberapa kitab memang dipertanyakan pada masa itu sebelum masuk daftar kanon penuh, lengkapnya: Wahyu, Yakobus, Yudas, Ibrani, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes. Mari kita lihat pendapat Bruce Metzger seorang ahli Textual Criticism & pakar ttg Kanon PB yg menulis buku teks standard Textual Criticism: Metzger, Bruce M. The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance. Clarendon Press. Oxford. 1987. Saat diwawancara Lee Strobel (The Case for Christ) & ditanyakan ttg kitab-kitab yang terlambat masuk dalam daftar kanon PB, Metzger menyatakan bahwa hal ini menunjukan betapa hati-hatinya gereja mula-mula, mereka tdk langsung begitu saja menerima kitab-kitab tersebut tetapi memastikannya dengan teliti.

Jika kita telusuri konteks sejarahnya, pada abad ke-1, mula-mula gereja-gereja setempat mendapatkan/menyalin kitab yang ada pada mereka. Proses ini terus berjalan seiring dengan proses pertukaran kitab & surat. Keempat Injil kanonik & beberapa surat PB dengan cepat tersirkulasi sehingga semakin lama gereja-gereja setempat memiliki semakin banyak kitab/surat dari daftar kitab PB. Namun ke-7 kitab yang dipertanyakan itu berjalan agak lambat, beberapa gereja setempat/bapa-bapa gereja telah menerimanya namun lainnya masih mempertimbangkannya. Mereka sangat hati-hati karena adanya pola pseudonimity yang terjadi pada masa-masa itu terutama mulai abad ke-2 yaitu orang-orang tertentu menulis sebuah kitab religius dan menyematkan nama-nama tokoh alkitab sebagai nama kitab karangan mereka. Pola ini sudah terjadi di era intertestamental dengan munculnya pseudographa seperti The Testament of Abraham etc.

Kehati-hatian gereja menerima ke-7 kitab tersebut memang beralasan, jika dikaji lebih lanjut ada sedikit perbedan dalam proses kanonisasi antara Timur (Tatian, Clement, Origen etc..) & Barat (Justin Martin, Ireneus, Tertulian etc..). Namun yang terjadi berikutnya adalah pola saling melengkapi daftar kanon sehingga pada akhirnya ke tujuh kitab tersebt diterima secara universal dalam konsili-konsili seperti konsili Laodekia, Hippo & Kartage. So.. dari uraian ini masalah ketujuh kitab yang terlambat diterima secara penuh/universal, hanya masalah kehati-hatian semata, namun pada esensinya kitab-kitab itu berotoritas dan berasal dari era para rasul.

Point paling penting dari masalah ini bahwa semua bapa gereja telah menerima keempat Injil Kanonik dan itu masuk dalam daftar kitab-kitab yang mereka ketahui. Maka tuduhan bahwa Perjanjian Baru telah dipalsukan yang hanya mengacu pada alasan mengenai 7 (tujuh) kitab yang banyak dibahas gereja sebelum masuk dalam daftar kanon PB, jelas hal ini tidaklah substansial. Karena kisah tentang Yesus, pengajaranNya dan peristiwa kematian, kebangkitan & kenaikanNya jelas telah ada dalam keempat injil kanonik.
Share: