Polemik Identitas Kearaban

Beberapa waktu lalu saya & Menachem Ali cukup intens mendiskusikan perihal identitas kearaban. Belakangan ini Menachem Ali mencoba mengangkatkan kembali masalah ini malah telah & sedang menuliskan buku-buku tentang hal ini. Beberapa pointnya disajikan kembali dalam tulisan di FB dan yg menarik tulisannya mendapat reaksi dari Mun'im Sirry setelah M Ali dalam tulisannya menyebut diksi "nalar revisionis".

Point utama dari Menachem Ali masih seputar diskusi kami sebelumnya yaitu dia mencoba mengasosiasikan secara eksklusif Arab dengan Ismail, sehingga identitas kearaban menurut dia merujuk pada etnik atau jalur nasab tertentu khususnya keturunan Ismail. Referensi terbaru M Ali mengambil rujukan dr teks Peshitta (Aramaik), sebelumnya dia biasa mengambil sumber dari literatur rabbinik seperti tulisan rabbi Saadia Gaon (Rasag) & Talmud, penulis2 Kristen awal seperti Jerome dan terutama tulisan Joshepus.

Point utama ini telah saya kritik dlm diskusi kami, karena menurut saya pengasosiasian Arab dgn Ismail tidak berarti bahwa Arab itu eksklusif keturunan Ismael. Data biblikal & extrabiblikal menunjukan bahwa Arab itu terdiri dari banyak suku tidak hanya keturuan Ismail, seperti keturunan Keturah, Esau, Joktan dll yg oleh scholars merujuk pada kumpulan suku-suku nomaden di semenanjung Arabia sebagaimana diuraikan cukup jelas oleh Munim Sirry. Memang keturunan Ismail yg lebih dominan terutama sejak eksisnya kerajaan nabataen merujuk ke suku Nebayoth yg sebelumnnya suku Ismail yg dominan seperti ditulis dlm Alkitab adalah suku Kedar. Hal ini telah dianalisis secara cermat oleh Israel Eph'al "... We have seen that there is no historical basis to the tradition of associating the Ishmaelites with the Arabs… A more definite identification of the Ishmaelites with the Arabs is found at a later stage, in Josephus's Antiquities of the Jews", "Ishmmael and Arab(s): A transformation of ethnological Terms, Journal of Near Eastern Studies , Tel Aviv University, Oct 1976.

Menariknya respon Mun'im Sirry melalui pendekatan historis mirip dgn posisi saya yaitu sama-sama menolak pendapat bhw identitas Arab merujuk ke etnik atau jalur nasab tertentu. Karena memang berbagai data historis extrabiblikal termasuk arkeologi tdk mendukung posisi Menachem Ali, termasuk dari rujukan scholars yg saya gunakan dalam studi ancient arabs seperti Jan Retso, Israel Eph'al. dll. Misalnya Retso menyatakan "... The fact that so many authors and scholars have thought that Arab means 'nomad' or that it may mean anything from camp to family may indicate that the word has a very vague meaning or that it indeed means nomad, i.e. it is a term for a way of living, The Arabs In Antiquity: Their History from the Assyrians to the Umayyads, RoutledgeCurzon, London and New York, 2003 page5

Saya menghargai berbagai tulisan akademik pak Mun'im yg mengelaborasi banyak data yg ada, maka dlm tulisan & kajian saya kontra Menachem Ali dlm konteks apologetik saya berupaya utk tidak membawa2 nama pak Mun'im. Hanya saja utk pembahasan tentang identitas kearaban kebetulan ada irisan yg sama posisi saya dengan pak Mun'im. Mohon maaf pak Mun'im telah menyebut nama anda dalam tulisan ini.

Dalam tulisan2 berikutnya saya akan coba mereview dan mengelaborasi kembali diskusi saya dgn Menachem Ali, khususnya data biblikal tentang identitas kearaban termasuk data extrabiblikal yg relevan.
Share:

Q&A: Polemics of Jesus' Resurrection & Hypostatic Union

Alkitab dengan jelas mengajarkan Yesus memiliki dua natur; ilahi & manusia. Dia melakukan mujizat dengan kuasaNya sendiri, mengampuni dosa yg hak itu eksklusif milik Allah, menerima penyembahan kepadaNya, memberi pernyataan "Aku berkata kepadamu" yg setara dengan firman YHWH dlm PL dll, kesemuanya itu menunjukan natur keilahianNya. Namun di sisi lain Dia bisa merasakan lapar, menangis bahkan mati yg menunjukan natur kemanusiaanNya. Para bapa gereja kemudian membuat rumusan untuk hal ini yg kemudian dikenal dengan nama Hypostatic Union atau kesatuan hipostatis yaitu Yesus memiliki 1 hypostatic (pribadi) dengan 2 natur.

Polemik tentang kebangkitan Yesus apakah Dia aktif dalam kebangkitanNya atau pasif banyak terkait dengan konsep hypostatic union ini. Pihak yg berdiskusi, umumnya dalam posisi Yesus "aktif & pasif" dalam kebangkitanNya, sedangkan lawan diskusinya dalam posisi Yesus "hanya pasif". Argumentasi standard dari posisi "aktif pasif" menyatakan Yesus dibangkitkan merujuk pada natur kemanusiaanNya sedangkan Yesus membangkitkan diriNya sendiri merujuk ke natur keilahianNya. Namun argumentasi standard ini mendapat respon dari pihak "hanya pasif", berikut ini respon atau pertanyaan mereka dan tanggapan baliknya dalam bentuk question & answer (Q&A).

Q: Natur tidak bisa mengalami kematian/kebangkitan, bukankah yang bisa mati/bangkit adalah pribadi?
A: Ya sepakat, yang bisa mengalami kematian adalah pribadi dan dalam hal ini pribadi Yesus dalam natur kemanusiaanNya yang mengalami kematian kemudian dibangkitkan oleh Allah Tritunggal termasuk oleh pribadi Yesus dalam natur keilahianNya membangkitkan diriNya sendiri.

Q: Karena Yesus sehakekat dgn Allah Bapa, apakah berarti Allah Bapa juga mengalami disesah, disalib dan mati seperti pribadi Anak?
A: Tidak, karena Allah Bapa tidak memiliki natur kemanusiaan, berbeda dengan Yesus. Pribadi Yesus dalam natur kemanusiaanNya jelas bisa disesah, disalib, bisa mati dan telah mengalami kematian namun pribadi Yesus dalam natur ilahi jelas tidak bisa mati, karena Tuhan tidak bisa mati. Rasul Petrus tegas menyatakan hal ini. 1 Pet 3:18 "... Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia...". Jelaslah pribadi Yesus sebagai manusia atau dalam natur kemanusiaanNya yg mengalami kematian.

Q: Bagaimana dengan kelahiranNya, apakah pribadi Anak terlibat aktif dalam kelahiranNya?
A: Tentu saja Dia juga aktif dalam kelahiranNya, bukankah Yesus memiliki pra eksistensi sebagai Logos yang kemudian pada saat Dia berinkarnasi natur kemanusiaan ditambahkan kepadaNya. Sebelum inkarnasi ada 1 pribadi dengan 1 natur dan setelah inkarnasi ada 1 pribadi dgn 2 natur.

Q: Paulus banyak menuliskan Yesus dibangkitkan sedangkan Yesus dianggap menyatakan akan membangkitkan diriNya sendiri, bukankah ini kontradiksi kecuali Yesus tidak bermaksud demikian?
A: Yesus sangat jelas menyatakan Dia akan membangkitkan diriNya sendiri (Yoh 2:19-21,10:17-18). Pembahasan detail teks2 ini akan dibahas tersendiri. Memang sekilas terkesan kontradiksi dan untuk merekonsialisasinya tidak berarti Yesus dianggap tidak mengajarkan kebangkitan "aktif" supaya sama dengan Paulus. Kedua hal itu "pasif" (Paulus) dan "aktif' (Yesus) sama-sama benar dan kesan kontradiksi itu dapat diselesaikan melalui konsep hypostatic union, seperti dijelaskan Richard Gaffin "..The Chalcedon formulation proves helpful here: The two natures co-exist hypostatically (in one person), without either confusion or separation; Jesus expresses what is true of his person in terms of his deity, Paul expresses what is no less true in terms of his humanity.". Redemption and Resurrection: An Exercise in Biblical-Systematic Theology, Testamentum Imperium, An International Journal, Volume I 2005-2007, page 5-6

Q: Bukankah hal ini bisa mengarah atau dalam bayang-bayang nestorianisme?
A: Tidak, karena nestorian mengajarkan adanya 2 pribadi atau 2 hypostatic yaitu Allah Firman dan manusia Yesus, seakan-akan posisi "aktif pasif" bermakna Allah Firman telah membangkitkan manusia Yesus. Kalau pandangan seperti itu, akan menunjukan adanya suatu pribadi (Allah Firman) yg membangkitkan pribadi yg lain (manusia Yesus). Namun konsep hypostatic union tidak seperti itu, lebih tepatnya pribadi dalam natur kemanusiaan yg mengalami kematian dan pribadi yg sama dlm natur keilahianNya membangkitkan diriNya sendiri. Untuk memudahkan kita memahami hal ini, kita bisa lihat perbandingannya dgn Yesus yg berkuasa menciptakan makanan namun pada saat bersamaan Dia sebagai manusia merasakan lapar. Kondisi ini terjadi hanya pada satu pribadi Yesus yg memiliki natur ilahi yg bisa menciptakan makanan dan saat bersamaan dalam natur manusia Dia merasakan lapar. Contoh lain, sebagai manusia Yesus menangis atas kematian sahabat-Nya Lazarus namun sebagai Allah Dia berkuasa membangkitkan Lazarus dari kematian. Penjelasalan2 seperti ini telah diuraikan para bapa gereja seperti Leo yg menuliskan The Tome, Cyrillus - formula unions dll menghadapi ajaran Nestorius (ada 2 hypostatic) dan Eutyches (kedua natur bercampur) yg kemudian dirumuskan dlm konsep hypostatic union di konsili Chalcedon (451M).

Q: Karena Yesus sebagai manusia Dia sehakekat dgn kita maka seharusnya Dia tidak akan membangkitkan diriNya sendiri untuk menunjukan bahwa Dia memang sehakekat & solidaritas dengan kita?
A: Pribadi Yesus sebagai manusia memang sehakekat dengan kita, namun kita tidak boleh hanya fokus atau membatasi Yesus pada natur kemanusiaanNya saja karena Dia juga memiliki natur keilahiaan. Karena Yesus 100% sehakekat dengan manusia bahkan Dia telah mengalami kematian maka hal itu sudah cukup menunjukan Dia benar-benar sehakekat & solidaritas dengan kita manusia, tanpa harus ditambahkan Dia harus tidak menggunakan kuasaNya untuk membangkitkan diriNya sendiri. Saya kira kita harus hati-hati untuk tidak memaksakan logika berpikir kita melampaui data yang ada.

Q: Kebangkitan Yesus memang karya Allah Tritunggal, tetapi tidak semua pribadi dalam Allah Tritunggal melakukan hal yang sama, seperti dalam peristiwa penyesahan & penyaliban, Allah Bapa dan Roh Kudus tidak ikut terlibat. Demikian juga dalam kebangkitan Yesus, Yesus dalam posisi pasif sedangkan yang aktif adalah Allah Bapa & Roh Kudus?
A: Mengenai penyesahan & penyaliban sudah dijawab sebelumnya bahwa hal ini hanya dialami pribadi Anak karena dalam diriNya ada natur kemanusiaan. Namun diluar hal-hal yang hanya bisa dialami Yesus karena natur kemanusiaanNya, semuanya melibatkan semua Pribadi dari Allah Tritunggal. Dalam teologi dikenal istilah Perikoresis tentang karya bersama dari Allah Tritunggal (opera ad extra) yg juga telah digumulkan bapa gereja. Mereka tidak hanya menghadapi konsep unitarian dari Arius tetapi juga menghadapi 2 ekstrim berkaitan Allah Tritunggal, ekstrim pertama Triteisme yg terlalu menekankan ketigaan sehingga tergelincir pd konsep 3 Allah dan ekstrim kedua modalisme/sabelian yg terlalu menekankan keesaan sehingga tiga pribadi itu hanya topeng atau peran semata.

Bapa-bapa gereja Kapadokia (Gregorius dr Nazianzus, Gregorius dr Nyssa & Basilius dr Kaisarea) telah membantah kedua ekstrim ini. Gregorius dr Nyssa dalam bukunya Quod Non Sint Tres Dii sebagaimana ditulis Tony Lane dlm bukunya Runtut Pijar "... Kita tidak pernah mendengar bahwa Sang Bapa berbuat sesuatu sendiri tanpa kerja sama dengan Sang Anak. Demikian juga Anak tidak pernah bertindak sendiri tanpa Roh Kudus...". Maka konsep Perikoresis seperti yg ditunjukan dlm tulisan bapa-bapa gereja Kapadokia justru mendukung posisi "aktif pasif" bahwa Yesus sebagai bagian dari Allah Tritunggal juga terlibat aktif dalam kebangkitan tubuh manusiaNya.

Sebagai tambahan, penjelasan Geerhardus Vos & Richard Gaffin, tulisan & posisi keduanya sebelumnya telah salah dimengerti seakan-akan mereka dalam posisi "hanya pasif". Berikut pernyataan mereka ".. In all their external works, the three persons act together. And the work of the resurrection finds a parallel in the act of the incarnation, in which the same conjoint working of the divine persons manifests itself.". Geerhardus Vos (author), Richard Gaffin (editor), Reformed Dogmatics, Volume Three: Christology.

Demikian tulisan singkat dalam bentuk Q&A tentang hypostatic union dan kaitannya dengan polemik kebangkitan Yesus. Tulisan berikutnya akan membahas "kenosis" yang kemungkinan jadi acuan untuk konsep "potentiality & actuality".
Share:

Polemik Kebangkitan Yesus "Aktif vs Pasif"

Polemik seputar isu "aktif vs pasif" telah berlangsung cukup lama, update terakhir pihak API menyajikan tulisan tentang hal ini sekaligus menegaskan posisi API yang bisa disalahpahami berdasarkan tulisan mereka sebelumnya. API dengan cermat mengingatkan adanya false dilemma dalam isu ini yaitu adanya dikotomi aktif vs pasif atau antara Yesus bangkit sendiri vs Yesus dibangkitkan. Jika kita memetakan posisi pihak yg berdiskusi maka dikotomi itu tidak tepat, karena sebenarnya yg terjadi antara mereka yg menerima keduanya "aktif & pasif" versus pihak yg menerima "hanya pasif".

Memang sepertinya posisi "hanya pasif" merasa disudutkan karena seakan-akan dianggap menolak aspek keilahian Yesus karena berpendapat Yesus tidak bangkit sendiri. Namun bagi mereka yg tahu duduk masalah termasuk mengenal posisi teologis pihak "hanya pasif" tentu tidak beranggapan demikian. Apalagi ada pernyatan tegas bahwa Yesus memiliki kuasa utk membangkitkan diriNya sendiri hanya saja beranggapan Yesus tdk menggunakanNya. Dalam hal ini semua pihak yg berdiskusi sepakat & menerima keilahian Yesus disamping kemanusiaanNya sehingga bisa dikatakan sama-sama sebagai murid Kristus hanya berbeda untuk isu ini.

Posisi mainstream kekristenan termasuk christian scholars menerima keduanya "aktif pasif" dan itu bahkan dituangkan dalam buku-buku standard pengajaran seperti dogmatics reformed yg ditulis Geerhardus Vos & Richard Gaffin dll. Maka begitu ada pendapat berbeda berkaitan dengan doktrin primer dan sepertinya menolak semacam "konsensus" scholars terutama dari kalangan evangelical & reformed scholars tentu saja menimbulkan reaksi. Namun kita perlu ingat bahwa "kebenaran" tdk ditentukan dgn suara mayoritas tetapi oleh kualitas argumentasinya. Maka adanya pendapat yg berbeda "dissenting opinion" seharusnya bukan masalah karena penilaian akhir tetap dikembalikan kepada para pembaca (judge if for yourself).

Menurut saya pribadi untuk point yg berbeda pada hal sensitif berkaitan dgn doktrin primer perlu hati-hati menyampaikannya ke publik. Mungkin maksudnya mengedukasi para pembaca utk berpikir secara kritis, tetapi masalahnya jika point argumentasi tidak begitu kuat dan menimbulkan reaksi yg men-challenge pendapat itu sehingga bisa membingungkan awam. Mungkin sebaiknya pendapat yg berbeda itu disampaikan ke ranah akademik melalui forum-forum diskusi internal atau dituliskan dalam bentuk buku atau jurnal. Ini hanya saran saja, kalaupun telah terlanjur dibahas di ranah publik sebaiknya diskusi tetap fokus pada content argument dan bukan pada hal-hal yang sifatnya personal & retorik yang mengarahkan ke "ad hominem argumentum".

Berkaitan dengan isu ini posisi saya tegas menerima "aktif & pasif", namun saya tetap menghargai posisi rekan2 yg memilih "hanya pasif". Dalam tulisan & tanggapan saya di FB termasuk di video youtube saya berusaha tetap fokus pada content argument, termasuk berusaha memahami jelas posisi lawan diskusi agar terhindar dari strawman argument. Saya berharap rekan2 yg akan berinteraksi dengan point2 tanggapan saya, bisa memberi klarifikasi jika ada point-point saya yg terindikasi strawman arguments.

Dalam membangun argumentasi rujukan ke secondary sources berupa tulisan scholars adalah sah-sah saja, malah dalam tulisan akademik sebaiknya kita menyertakan referensi acuan kita dlm bentuk footnotes atau endnotes. Tetapi kita harus menghindari membangun "klaim" kebenaran posisi kita bersandar pada pendapat penulis tertentu karena sudah masuk kategori logical fallacy yaitu appeal to authority. Misalnya dengan adanya polemik istilah teolog papan atas vs papan bawah, sebaiknya istilah2 ini tdk perlu disebutkan lagi.

Tulisan saya sebelumnya menanggapi posisi pihak "hanya pasif" yaitu rujukan yg digunakan tulisan Geerhardus Vos & Richard Gaffin. Saya memilih utk mengkaji langsung tulisan itu dibanding dgn membandingkannya dengan scholars lainnya atau mencari kelemahan dari latar belakang personal Vos & Gaffin. Dari kajian saya ternyata terjadi misreading atas tulisan mereka sehingga terjadi misleading atas posisi teologis mereka seakan-akan mereka berpendapat kebangkitan Yesus hanya "pasif saja". Untuk menghindari agar saya juga tdk misreading, maka dlm tulisan di FB dan di video youtube, saya mengutip langsung (screenshot) tulisan mereka satu persatu. Jika ternyata ada kekeliruan dalam tulisan dan video itu, alangkah baiknya direspon balik dengan menyajikan point argumentasi dan data.

Dalam tulisan Paulus termasuk Kisah Para Rasul memang banyak menulis Yesus yg dibangkitkan karena narasi itu ditulis setelah terjadinya peristiwa kematian & kebangkitan Yesus. API telah menuliskan secara ringkas maksud dari pernyataan "dibangkitkan" ini sebagai konfirmasi dari Allah Bapa atas berbagai peristiwa yang dialami Yesus termasuk kebangkitanNya. Menurut Gaffin, Paulus memang sedang menekankan aspek kemanusiaan Yesus yg secara hypostatik sehakekat dengan kita manusia. Sebaliknya pernyataan Yesus dalam Yoh 2:19-21, 10:17-18 sedang berbicara tentang aspek keilahianNya. Sepertinya ada konflik antara pernyataan Yesus vs Paulus seperti ditulis oleh Gaffin, tetapi kata Gaffin masalah ini terselesaikan dengan adanya konsep hypostatic union bahwa Yesus itu adalah satu pribadi yg memiliki 2 hakekat sebagai Allah & manusia.

Pihak "hanya pasif" menolak hal ini, bukan menolak hypostatic union tetapi berpendapat bahwa pribadi Anak memilih tidak menggunakan kuasaNya untuk bangkit sendiri karena solidaritas sebagai manusia. Secara retorik memberi pertanyaan balik, bagaimana dengan kelahiranNya? Apakah pribadi Anak terlibat aktif dalam kelahiranNya? Tentu saja Dia juga aktif dalam kelahiranNya, bukankah Yesus memiliki pra eksistensi sebagai Logos yang kemudian pada saat Dia berinkarnasi natur kemanusiaan ditambahkan kepadaNya. Pada saat kelahiranNya, Logos yang telah eksis ditambahkan natur kemanusiaan, saat kematianNya natur kemanusiaanNya mengalami kematian dan saat kebangkitanNya, natur kemanusiaanNya dihidupkan kembali.

Respon baliknya bahwa natur dianggap sebagai sifat yg tdk mengalami kematian/kebangkitan karena yg bisa mati/bangkit hanya pribadi. Respon ini sepertinya memisahkan natur & pribadi, namun dlm konsep hypostatic union, natur jelas bagian dari pribadi atau pribadi itu terdiri atas natur ilahi dan manusia. Apakah ini mengarah ke nestorianisme? jelas tidak karena nestorian mengajarkan adanya 2 pribadi atau 2 hypostatic yaitu Allah Firman dan manusia Yesus, seakan-akan posisi "aktif pasif" bermakna Allah Firman telah membangkitkan manusia Yesus. Kalau pandangan seperti itu, akan menunjukan adanya suatu pribadi (Allah Firman) yg membangkitkan pribadi yg lain (manusia Yesus). Namun konsep hypostatic union tidak seperti itu, karena lebih tepat dikatakan Yesus sebagai Allah membangkitkan diriNya sendiri.

Untuk memudahkan kita memahami hal ini, kita bisa lihat perbandingannya tentang Yesus yg berkuasa bisa menciptakan makanan seperti mujizat 5 roti dan 2 ikan, namun pada saat bersamaan Dia sebagai manusia sedang merasakan lapar. Kondisi terjadi hanya pada satu pribadi Yesus yg memiliki natur ilahi yg bisa menciptakan makanan dan natur manusia dimana Dia merasakan lapar. Contoh yg lain sebagai manusia Yesus menangis atas sahabat-Nya Lazarus namun sebagai Allah Dia berkuasa membangkitkan Lazarus dari kematian. Penjelasalan2 seperti ini telah diuraikan para bapa gereja seperti Leo yg menuliskan Tomus, Cyrillus - formula unions dll yg kemudian dirumuskan dlm konsep hypostatic union di konsili Chalcedon (451M).

Dlm diskusi isu ini disinggung juga konsep Perikoresis yg sebenarnya justru meneguhkan posisi "aktif pasif" bahwa kebangkitan Yesus sebagai bagian dari karya Allah Tritunggal (opera ad extra) dimana Yesus sebagai pribadi Anak terlibat didalamnya. Masalah hubungan ketiga pribadi dalam konsep Allah Tritunggal telah digumulkan oleh para bapa gereja yg dalam posisi selain menolak konsep unitarian dari Arius juga menghadapi 2 ekstrim berkaitan Allah Tritunggal, ekstrim pertama Triteisme yg terlalu menekankan ketigaan sehingga tergelincir pd konsep 3 Allah dan ekstrim kedua modalisme/sabelian yg menekankan keesaan sehingga tiga pribadi itu hanya topeng atau peran semata. Bapa-bapa gereja Kapadokia (gregorius dr Nazianzus, Gregorius dr Nyssa & Basilius dr Kaisarea) telah membantah kedua ekstrim ini. Gregorius dr Nyssa dalam bukunya Quod Non Sint Tres Dii sebagaimana ditulis Tony Lane dlm bukunya Runtut Pijar menyatakan "... Kita tidak pernah mendengar bahwa Sang Bapa berbuat sesuatu sendiri tanpa kerja sama dengan Sang Anak. Demikian juga Anak tidak pernah bertindak sendiri tanpa Roh Kudus...". Maka konsep Perikoresis seperti yg ditunjukan dlm tulisan bapa-bapa gereja Kapadokia justru mendukung posisi "aktif pasif" bahwa Yesus sebagai bagian dari Allah Tritunggal juga terlibat aktif dalam kebangkitan tubuh manusiaNya.

Respon baliknya jika demikian apakah berarti Allah Bapa juga mengalami kematian seperti pribadi Anak? jawabannya jelas tidak, demikian juga pribadi Anak tidak mengalami kematian karena Tuhan tidak bisa mati. Yang mati adalah Yesus sebagai manusia. Rasul Petrus tegas menyatakan hal ini. 1 Pet 3:18 ... Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh,
Kematian bukan berarti hilang lenyapnya eksistensi seseorang tetapi lepasnya nyawa dari tubuh seseorang dan secara roh dia tetap eksis.

Sebenarnya dasar argumentasi dr posisi "hanya pasif" terletak pada konsep Kenosis dlm Filipi 2. Dalam keadaan Yesus sedang berinkarnasi dan mengalami kenosis dianggap banyak kuasa Yesus tidak digunakanNya. Bahkan sampaikan dikatakan kebangkitan Lazarus oleh Yesus bukan karena kuasaNya sendiri tetapi kuasa Roh Kudus seperti yg juga dilakukan oleh Elia & Petrus. Kecuali kuasa menyembuhkan mata orang buta dan kuasa mengampuni dosa. Perihal kebangkitan Lazarus, saya telah tulis dalam tulisan sebelumnya yg membuktikan bahwa Yesus membangkitkan Lazarus dengan kuasaNya sendiri dan mujizat Yesus merupakan salah satu bukti keilahianNya.

Dari pemahaman atas konsep "Kenosis" ini maka muncul istilah "potentiality & actuality". Yesus punya potensi untuk membangkitkan diriNya sendiri tetapi Dia tidak menggunakanNya karena mungkin karena "berkenosis". Masalah Kenosis ini tentu perlu pembahassan tersendiri secara komprehensif. Secara ringkas kenosis ini berkaitan dengan Yesus yg sedang membatasi diriNya dalam penggunaan atribut-atribut keilahianNya, posisi saya cenderung sependapat dgn D.A.Carson. Namun kita harus hati2 utk tidak menerapkan ke banyak hal yg tanpa dsadari bisa mereduksi keilahianNya. Saya kira byk scholar sepakat bahwa salah satu pembatasan yg dilakukan Yesus yaitu pada rencana Bapa berkaitan dengan hari kedatanganNya dimana Anak tidak mengetahui. Kemudian dalam hal ketundukan kehendak Anak terhadap kehendak Bapa saat Dia berinkarnasi menjalankan misi penyelamatan manusia. Namun saat kebangkitan dan kenaikanNya, Yesus menerima kembali semua kemulian dan kuasa itu yg sebelumnya utk sementara waktu Dia batasi penggunaanNya.

Di luar perihal ketundukan kehendak Anak terhadap kehendak Bapa dan rencana kedatanganNya kedua kali, tidak ada petunjuk lain bahwa Yesus membatasi penggunaan kuasa yg dimilikiNya. Bahkan seorang perempuan yg sedang sakit pendarahan saat menyentuh jubahNya merasakan adanya kuasa yg keluar dari diri Yesus. Tentu akan terasa janggal jika Yesus memiliki kuasa tetapi meminjam kuasa Roh Kudus untuk melakukan mujizat seperti membangkitkan Lazarus. Apalagi terbukti bahwa saat melakukan mujizat Yesus tidak pernah bermohon kepada Allah Bapa atau Roh Kudus untuk bisa melakukan mujizat. Saat Yesus meneduhkan angin ribut, Dia melakukannya secara spontan tanpa perlu berdoa dulu. Apakah saat melakukan mujizat itu, dalam diriNya ada 2 kuasa yaitu kuasa diriNya dan kuasa Roh Kudus dan yg aktif saat itu kuasa Roh Kudus?.

Sekarang kita balik pada teks-teks Alkitab berkaitan dengan isu "aktif pasif" ini. Memang teks-teks yg menunjukan Yesus "aktif" dalam kebangkitanNya tidaklah banyak (Yoh 2:19-21, 10:17-18) dibandingkan teks yg menunjuk Yesus "pasif" dlm kebangkitanNya yg jumlahnya cukup berlimpah terutama tulisan2 Paulus. Namun penarikan konklusi tidak boleh didasarkan pada jumlah teks antara mayoritas vs minoritas, demikian juga dgn membandingkan pernyataan Yesus vs Paulus seakan-akan ada yg lebih berotoritas.

Pihak posisi "aktif pasif" tidak mempermasalahkan teks-teks "pasif" yg umumnya pernyataan Paulus karena juga menerimanya dan memiliki otoritas yg sama dengan pernyataan Yesus. Namun pihak "hanya pasif" tentu akan menolak teks2 "aktif" tersebut utk tetap meneguhkan posisinya. Mari kita lihat teks Yoh 2:19-21

Joh 2:19 Jawab Yesus kepada mereka: "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali."
Joh 2:20 Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?"
Joh 2:21 Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri.
Joh 2:22 Kemudian, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, barulah teringat oleh murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya..

Konsep "potentiality vs actuality" sepertinya sulit diterapkan pada teks2 ini, kecuali "mungkin saja" pada Yoh 10:17-18 walaupun maknanya belum tentu seperti itu. Mengenai Yoh 10:17-18 perlu dibahas tersendiri. Maka pendekatan yg dilakukan bahwa pernyataan Yesus itu belum terjadi atau bersifat "future tense" berbeda dgn apa yg ditulis Paulus yg riil sudah terjadi. Argumentasi ini lemah karena sepertinya meragukan apa yg dikatakan atau dinubuatkan Yesus yg mungkin dianggap bisa tidak terjadi. Ayat 22 sudah jelas menolak hal ini. Bantahan lain dengan mempersoalkan grammar mengenai middle voice, argumentasi ini juga tidak kuat karena dari struktur kalimatnya jelas menunjukan subjek pelakunya adalah Yesus sendiri. Apalagi konteksnya menunjukan bahwa Yesuslah pelaku utama dari narasi itu bukan Allah Bapa atau Roh Kudus.

Bantahan yg cukup kuat yaitu pada kajian grammar atas ayat 21, yg mempertanyakan terjemahan LAI kata "ialah" karena jika dimaksudkan kata "ialah" atau "adalah" maka seharusnya ada kata "estin" di situ, sama seperti di Yoh 10:30 Aku dan Bapa adalah satu. Preposisi yang digunakan kata "autos" yg merujuk pada "naos" dan "soma" sehingga harus diterjemahkan menggunakan kata "of/dari". Maka seharusnya terjemahan yg tepat adalah "the temple of his body" atau "Bait (dari) tubuhNya". Dalam proses penerjemahan Alkitab penerjemahan menjadi "the temple of his body" sebagaimana terjemahan literal yg mencoba setia pada grammar contohnya KJV & ASV. Namun metode penerjemahan lainnya menggunakan gaya penerjemahan dinamis yg bermaksud mempermudah dimengerti oleh pembaca yg maknanya tetap seperti yg dimaksud oleh sang penulis Alkitab. Misal LAI, NIV & ISV. New International Version: But the temple he had spoken of was his body.

Argumentasi ini cukup kuat, namun apakah berarti kata "naos" tidak merujuk ke tubuh Yesus? belum tentu! jika kita mengikuti terjemahan literalnya, akan muncul beberapa pengertian utk kata "naos" mengacu penggunaan kata ini secara metafora/simbolik dalam bagian Alkitab lainnya. Ada 2 pengertian yg utama, pertama merujuk ke tubuh Yesus secara fisik dan yg kedua merujuk pada orang-orang percaya sebagai bagian dr tubuh Kristus atau kita bisa sebut "gereja" sebagaimana ditulis oleh rasul Paulus.

Saya telah mengkaji masalah ini dgn melihat aspek gramatikal seperti yg telah diuraikan serta memperhatikan konteksnya. Kemudian membandingkan dgn kajian dr para scholar seperti Ridderbos, D.A.Carson, C.K. Barrett, George R. Beasley-Murray, Constanble, Raymond Brown dll. Selanjutnya melihat tulisan bapa-bapa gereja yg relevan dengan masalah ini seperti Ignatius, Clement of Alexandria, Ireneus, Tertulian, Origen, Hypolatus dll. Kajian lengkapnya akan dibahas tersendiri karena cukup panjang.

Secara ringkas dari kajian ini, kata "naos" yg dimaksudkan lebih tepat merujuk ke tubuh fisik Yesus yg akan dibangkitkan Yesus sebagai Allah. Konteks dekatnya mempertegas hal itu. Adapun penafsiran kata "naos" merujuk pada gereja nanti muncul belakangan setidak-tidaknya sejak hr Pentakosta. Umumnya bapa gereja merujuk kata "naos" pada tubuh fisik Yesus bahkan Ignatius dalam tulisannya Epistle to the Smyrnaeans, Chap. II dengan tegas menyatakan "..He truly raised up Himself". Memang ada bapa gereja seperti Origen juga memahami kata "naos" merujuk ke gereja namun itu pengembangan makna secara alegoris dan makna awalnya tetap dimaknai Origen merujuk ke tubuh Yesus.

D.A Carson menegaskan "..interpretations that understand the body that is raised up to be the church... are without warrant. The words
‘his body’ can refer only to the physical body of Jesus, crucified, buried, and raised from the dead..". D.A. Carson, The Gospel According to John, Eerdmans, Grand Rapids,1991. Memang ada scholar seperti Raymond Brown yg menyatakan teks itu bisa bermakna ganda sekaligus ke tubuh Yesus dan gereja. Namun sy belum menemukan scholar dlm posisi bahwa kata "naos" dalam teks2 itu hanya merujuk ke gereja dan bukan ke tubuh Yesus. Ini berarti pandangan yg mengganggap adanya makna ganda tidak menghilangkan point utama bahwa Yesus memang berbicara tentang tubuhNya yang akan dibunuh dan akan Dia bangkitkan sendiri.

Ada terdapat dua konteks utama yg berkaitan dgn hal, pertama tentang pembersihan Bait Allah yg dilakukan Yesus yg secara typologi merujuk ke diriNya sebagaimana Tabernakel dlm PL yg melambangkan "dwelling place of divine" dan konteks kedua tentang tanda yg diminta orang Yahudi, yg dalam injil sinoptik merujuk ke tanda Yunus. Jelas tanda Yunus berkaitan dengan nubuatan kematian dan kebangkitan sang Mesias, sehingga pernyataan Yesus tentang Bait Allah berbicara tentang kematian dan kebangkitanNya. Lambang Bait Allah yg digunakan jelas merujuk ke diriNya sendiri. Dari konteks ini jelas tidak ada kaitannya dgn "gereja", seperti yg dinyatakan pak Chandra salah seorang narasumber dalam video di RBS agar kita tidak memasukan teologi Paulus ke teologi Yohanes yg bisa mengarah ke eisegese.

Demikian tulisan ini semoga memberi manfaat. Banyak hal-hal teknis teologi yg disinggung dlm tulisan ini seperti hypostatic union, perikoresis, kenonis dll, jika dari uraian ini ada yg dianggap kurang tepat mohon bantuan utk meluruskannya. Tentu kita perlu kembangkan semangat berdiskusi yang fokus pada content argument.
Share:

Apakah Yesus Membangkitkan Orang Mati dengan KuasaNya Sendiri?

Dalam Injil tercatat Yesus banyak melakukan mujizat termasuk membangkitkan orang mati. Para polemikus Islam menyatakan mujizat Yesus karena kuasa Allah dan terjadi atas izin Allah. Mereka mengambil contoh para nabi dan rasul yang juga melakukan mujizat membangkitkan orang mati seperti Elia, Elisa, Petrus dll. Saya teringat bantahan ini dikatakan KH Bahaudin Mudhary dlm bukunya "Dialog Ketuhanan Yesus". Bantahan serupa juga dinyatakan para bidat seperti Saksi-saksi Yehovah yang intinya Yesus membangkitkan orang mati dengan kuasa Allah. Menariknya ada yg menyatakan mujizat membangkitkan Lazarus itu kuasa Roh Kudus dan Yesus katanya memiliki kuasa membangkitkan tetapi Dia tidak mengunakannya.

Sekilas tidak ada istimewa dengan mujizat Yesus untuk jadi salah satu bukti keilahianNya, karena secara retorik para polemikus akan mengatakan jika karena Yesus membangkitan orang mati Dia itu Tuhan maka para nabi & rasul seperti Elia & Petrus harusnya juga dianggap sebagai Tuhan.

Untuk menjawabnya kita bisa melihat ulasan Robert Bowman Jr dalam bukunya Putting Jesus in His Place, buku ini telah diterjemahkan dengan judul "Menempatkan Yesus di Takhta_Nya: Pembuktian Atas Keilahian Yesus, Literatur SAAT, 2015. Bowman menegaskan bahwa Yesus melakukan mujizat dengan kuasaNya sendiri. Bowman merujuk pada tulisan scholar Werner Kahl yang membuat 3 kategori berkaitan mujizat, pertama pemilik kuasa lahi (BNP), kedua pemohon kuasa ilahi (PNP) dan ketiga perantara kuasa ilahi (MNP). Untuk detailnya saya mengutip langsung dari buku Werner Kahl yang jadi acuan Bowman.

I will refrain from using the term ‘miracle worker’ in my analysis, and introduce instead the terms ‘bearer of numinous power’ (?BNP) for subjects who incorporate healing power in themselves, ‘petitioner of numinous power’ (?PNP) for those whose function is to activate their gods through prayer, and ‘mediator of numinous power’ (?MNP) for those subjects who mediate a ?BNP’s numinous power for the performance of a miracle..". Werner Kahl, New Testament Miracle Stories in Their Religious-Historical Setting, Vandenhoeck & Ruprecht, 1994, p. 76.

Dari analisis Bowman, Yesus dikategorikan sebagai pemilik kuasa ilahi atau bearer of numinous power (BNP). Berbeda dengan Elia & Petrus sebagai pemohon kuasa ilahi (PNP) dengan ciri khasnya terlihat dengan adanya doa permohonan kepada Allah. Demikian juga Musa sebagai pengantara kuasa Ilahi (MNP) karena melalui dia mujiazat-mujizat Allah dinyatakan. Kel 14:16 "Dan engkau, angkatlah tongkatmu dan ulurkanlah tanganmu ke atas laut dan belahlah airnya, sehingga orang Israel akan berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering". Contoh lain MNP seperti Elisa, seseorang bisa hidup kembali hanya karena tersentuh tulang-tulang Elisa. Bowman menegaskan Yesus bukan pemohon kuasa ilahi (PNP) ".. Kitab Injil jarang mencatat Yesus mengucapkan sejenis doa sebelum melakukan sebuah mujizat kecuali doa-doa ucapan syukur atau berkat, bukan doa mememohon Allah untuk melakukan sebuah mujizat (Mat 14:19, 15:35, Markus 6:41, Luk 9:16, Yoh 6:11, 11:41-43).".

Kajian yang khusus membahas masalah mujizat Yesus ditulis Eric Eve. Dari hasil survey berbagai jewish literature seperti tulisan Josephus, Philo, berbagai literatur apokaliptik (Wisdom of Solomon), sejumlah teks Qumran dll, Eve menegaskan bahwa orang Yahudi selalu memandang hanya YHWH sebagai satu-satu BNP. Sedangkan nabi atau tokoh pembuat mujizat lainnya hanya masuk dalam kategori Pemohon (PNP) atau Mediator (MNP),
".. More importantly, Jesus differs from all other prophetic figures known about in Judaism .. in performing his miracles as a BNP.. The first is the consistency in the portrayal of Jesus as BNP rather than MNP or PNP throughout the tradition, despite the rarity of such a portrayal of a human figure elsewhere in Judaism.." Eve, E. (2002). Vol. 231: The Jewish Context of Jesus' Miracles. Journal for the Study of the New Testament. (386). London; New York: Sheffield Academic Press

Dari kajian komprehensif Eric Eve, dia menegaskan bahwa data dari berbagai jewish literature, hanya YHWH sajalah yang disebut sebagai BNP atau pemilik kuasa Ilahi. Mujizat Yesus sesuai dengan ciri-ciri BNP sehingga mujizat itu merupakan salah satu bukti keilahianNya.

Sekarang kita coba lihat teks-teks Alkitab tentang Elia & Petrus.
1 Raj 17:21 Lalu ia (Elia) mengunjurkan badannya di atas anak itu tiga kali, dan berseru kepada TUHAN, katanya: "Ya TUHAN, Allahku! Pulangkanlah kiranya nyawa anak ini ke dalam tubuhnya."
Kis 9:40 Tetapi Petrus menyuruh mereka semua keluar, lalu ia berlutut dan berdoa. Kemudian ia berpaling ke mayat itu dan berkata: "Tabita, bangkitlah!" Lalu Tabita membuka matanya dan ketika melihat Petrus, ia bangun lalu duduk."
Sangat jelas keduanya Elia * Petrus berdoa untuk bermohon agar terjadi mujizat.

Bandingkan dengan Yesus saat membangkitkan Lazarus
Yoh 11:41 ..Lalu Yesus menengadah ke atas dan berkata: "Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku.
Yoh 11:42 Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku, tetapi oleh karena orang banyak yang berdiri di sini mengelilingi Aku, Aku mengatakannya, supaya mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku."
Yoh 11:43 Dan sesudah berkata demikian, berserulah Ia dengan suara keras: "Lazarus, marilah ke luar!

Yesus tidak berdoa untuk bermohon agar bisa melakukan mujizat tetapi Dia menaikan doa ucapan syukur kepada Allah. Bahkan sebelum peristiwa pembangkitan itu Yesus telah menyatakan bahwa Dia akan membangkitan Lazarus yang telah mati. Yoh 11:11..Ia berkata kepada mereka: "Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya". Perkataan Yesus ini konteksnya future tense atau belum terjadi, tetapi apa yang dikatakan itu pasti terjadi.

Berdasarkan data ini terbukti Yesus membangkitkan Lazarus dengan kuasaNya sendiri dan tidak ada petunjuk Dia tidak menggunakan kuasaNya atau meminta bantuan kuasa Roh Kudus atau Allah agar mujizat terjadi.

Sebagai tambahan, dua ayat berikut merupakan bukti kuat bahwa Yesus memiliki kuasa untuk melakukan mujizat.
Mrk 4:39 Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali.
Luk 6:19 Dan semua orang banyak itu berusaha menjamah Dia, karena ada kuasa yang keluar dari pada-Nya dan semua orang itu disembuhkan-Nya.
Demikian pula penyembuhan yang dilakukan dalam nama Yesus.
Kis 3:6 Tetapi Petrus berkata: "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!".

Dari kajian ini kita bisa simpulkan Yesus melakukan mujizat termasuk membangkitkan orang mati dengan kuasaNya sendiri.
Share:

Yesus "Pasif" Dalam KebangkitanNya? Memeriksa Referensi Pendukung

Diskusi tentang Yesus apakah bangkit sendiri atau tidak lagi marak saat ini. issue ini diangkat pak David Tong. Semula saya tidak akan menulis status tentang ini karena berpikir ini cukup bahasan internal dan issue ini bisa dimanfaatkan pihak lain melawan kekristenan. Namun setelah issue ini semakin ramai bahkan telah ditanggapi para scholars & apologet seperti pak Budi Asali, Esra Soru, Deky Nggadas, Muriwali, Albert Rumampuk dll, saya kira perlu juga ikut serta dlm diskusi ini.

Saya perlu tegaskan pak David Tong jelas mengimani Allah Tritunggal dan dia menyatakan bahwa Yesus sebagai Allah memiliki kuasa untuk membangkitkan diriNya sendiri, hanya saja menurut dia, Yesus tidak melakukannya. Dia gunakan istilah potentiallity vs actuallity. Berbeda dgn para polemikus yg menolak keilahianNya sehingga Yesus tidak bisa bangkit sendiri karena dianggap tidak ilahi. Sebagai masukan, utk issue-issue sensitif yg masih debatable berkaitan dgn doktrin primer sebaiknya tidak diangkat ke publik cukup di internal akademik saja.

Posisi saya jelas seperti para scholars & apoleget lainnya bahwa Yesus sebagai manusia memang dibangkitkan Allah Bapa, namun sebagai Allah Dia terlibat aktif dalam kebangkitanNya. Rujukan paling jelas terdapat dalam Yoh 2:19 dan Yoh 10:17-18
Yoh 2:19 Jawab Yesus kepada mereka: "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali."
Yoh 10:17 Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali.
Yoh 10:18 Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku."

Saya coba mengikuti & memahami argumentasi dari pak David Tong yang sangat menekankan pada kajian grammatikal terutama dari tulisan2 Paulus yg begitu jelas menyatakan Yesus "pasif" dalam kebangkitanNya. Rujukan utama pak David Tong dari tulisan Richard Gaffin & Geerhardus Vos. Tulisan ini akan fokus mengkaji referensi dari kedua scholars ini. Apakah Gaffin & Vos sependapat dengan posisi pak David Tong bahwa Yesus pasif dalam kebangkitanNya?.

Saya sdh lakukan riset cepat atas referensi yg digunakan pak David dan ternyata dia misreading atas posisi teologis Gaffin & Vos karena kurang melihat secara komprehensif tulisan2 mereka. Buku referensi yg digunakan berjudul Resurrection and Redemption: A Study in Paul's Soteriology, P & R Publishing, 1987, bisa saja cetakannya berbeda. Dalam buku itu Gaffin fokus mengkaji tulisan Paulus dan memang menurut Gaffin dalam tulisan Paulus tidak ada pernyataan Yesus bangkit sendiri atau terlibat aktif dalam kebangkitanNya sesuai yg dia kutip di halaman 63. "The notion that Jesus is active in his resurrection, if present here, is not supported else where in Paul.".

Pada halaman 65 Gaffin memberi konklusi atas pernyataan Paulus ".. In his resurrection Jesus is viewed as entirely passive. It is, strictly speaking, not a rising but being raised (96)". Namun konklusi ini tidak serta merta Gaffin langsung pada posisi teologis Yesus tidak aktif dalam kebangkitanNya, karena Gaffin memberi footnote no.96 yaitu perbandingan dgn pernyataan Yesus (Yoh 2:19, 10:17-18) serta rujukan ke scholar John Murray yg khusus mengkaji semua data dr pernyataan Yesus, Paulus dll. Dalam tulisannya, Murray tegaskan mengafirmasi Yesus sebagai Allah juga aktif dalam kebangkitanNya dan saya kira Gaffin sependapat dgn Murray. ".. Is there any support for the position that Jesus rose from the dead by the exercise of His own power?... the answer is emphatically in the affirmative". John Murray, Who Raised Up Jesus?, Westminster Theological Journal, 1941, p118.

Setelah memberi konklusi tentang Paulus, Gaffin menulis analysis selanjutnya "..This uniform stress on passivity and solidarity with believers in the experience of resurrection point..". Ini tentang solidaritas dengan orang-orang percaya yang akan dibangkitkan dan Yesus sebagai yg sulung dari kebangkitan, konteksnya jelas tentang kemanusiaan Yesus. Gaffin kemudian melanjutkan ".. Paul is not primarily interested in Jesus' resurrection for its apologetic value as an especially evident display and powerful proof of his divinity. Rather, to an anticipate major conclusions reached below, he views it as the vindication of the incarnate Christ...". Jelaslah pernyataan Paulus tentang Yesus pasif dalam kebangkitanNya berkaitan dengan inkarnasi Yesus atau natur kemanusiaanNya bukan natur keeilahianNya. Yesus sebagai manusia memang sehakekat dengan kita maka Dia dibangkitkan, tetapi jangan hanya fokus di aspek itu, karena Yesus juga sebagai Allah yg bisa dan aktif dalam kebangkitanNya.

Jika kita tidak cermat membaca buku Gaffin termasuk mengabaikan petunjuk dalam footnotenya, kita bisa misreading bahkan misleading atas posisi Gaffin. Untuk itu kita perlu melihat tulisan Gaffin lainnya, salah satunya ditulis di sebuah jurnal yg mengulas perbandingan peryataan Paulus dan Yesus. Richard B. Gaffin, Redemption and Resurrection: An Exercise in Biblical-Systematic Theology, Testamentum Imperium, An International Journal, Volume I 2005-2007, page 5-6.
"... God in his specific identity as the Father raises Jesus from the dead (Gal. 1:1, 2) Jesus is passive in his resurrection. This viewpoint is held without exception, so far as I can see. Nowhere does Paul teach that Christ was active in or contributed to his resurrection, much less that he raised himself; Jesus did not rise, but was raised from the dead. The stress everywhere is on the creative power and action of the Father, of which Christ is the recipient. To see a conflict here with statements such as that of Jesus in John 10:18 ('I have authority to lay [my life] down and authority to take it up again', NIV) is both superficial and unnecessary. The Chalcedon formulation proves helpful here: The two natures co-exist hypostatically (in one person), without either confusion or separation; Jesus expresses what is true of his person in terms of his deity, Paul expresses what is no less true in terms of his humanity..."

Dari penjelasan ini Gaffin menunjukan sepertinya ada konflik antara pernyataan Paulus & Yesus, tetapi "konflik" itu bisa dijelaskan merujuk pada dua natur Yesus sebagai Allah dan manusia. Pernyataan Yesus yaitu ekspresi dari natur keilahianNya sedangkan Paulus pada natur kemanusiannya. posisi Gaffin clear bhw Yesus sebagai manusia dibangkitkan sebagai penekanan pada aspek kemanusiaanNya dlm tulisan Paulus, namun Dia juga sebagai Allah aktif dlm kebangkitanNya.

Pak David Tong juga mengutip Geerhardus Vos berdasarkan kutipan dalam buku Gaffin halaman 64 ".. Nowhere is it said of Jesus that He Contributed towards his own resurrection, far less that Hes raised Himself". Kutipan ini bisa membuat orang misleading bahwa seakan-akan memang tidak ada data dalam Perjanjian Baru yg menunjukan Yesus bangkit sendiri. Dalam catatannya Gaffin merujuk pada buku Geerhardus Vos, The Pauline Eschatology halaman 147, mari kita lihat kutipan dalam buku Vos itu ".. the Pauline usage of speech concerning the resurrection... God the Father being the acting subject.. Nowhere is it said of Jesus that He contributed towards his own resurrection, far less that He raised Himself. His role is throughout that of the terminus upon whom God's resurretive action work". Geerhardus Vos, The Pauline Eschatology, P&R Publishing, 1979, p147.

Ternyata kutipan itu dalam konteks tulisan Paulus, kata "nowhere" bukan merujuk pada Injil dan seluruh PB. Posisi Vos sama seperti Gaffin tentang Paulus bahwa Yesus dibangkitkan Allah Bapa, tetapi bukan berarti mereka dalam posisi menolak Yesus aktif dalam kebangkitanNya, tentu setelah melihat data PB secara keseluruhan. Dalam buku Reformed Dogmatics yang ditulis Vos dan Gaffin sebagai editor begitu jelas mereka mengajarkan Yesus aktif dalam kebangkitanNya yaitu pada bagian di Pertanyaan No 53. Who was the acting cause in the resurrection of the Mediator?. Mediator yg dimaksud adalah Yesus sebagai pengantara antara Allah dan manusia.

Vos & Gaffin menuliskan ".. the power of His own life as Mediator that set the body in motion and caused it to rise..". Kalimat ini sangat jelas menyatakan Yesus dengan kuasaNya sendiri menyebabkan terjadinya kebangkitan. Mereka meyatakan itu sebagai karya Kristus dan merujuk ke Yoh 2:19, 10:17-18 .. so the resurrection can just as well be viewed as a work of Christ. He said, “Tear this temple down and in three days I will build it up again” (John 2:19); “I have power to lay it down (namely, life) and to take it up again” (John 10:18)". Geerhardus J. Vos (author), Richard Gaffin (Editor), Reformed Dogmatics: Volume 3 Christology, Lexham Press, 2015, Bab 5 State, No 53, page 229

Tentu saja mereka juga menyatakan Allah Bapa aktif dalam kebangkitan "...Generally and preferably it is attributed to God as the one who fashions it". Demikian juga dengan Roh Kudus "..the Third Person of the divine Trinity can also appear as the cause of the resurrection" dengan merujuk Rom 8:11. Secara keseluruhan mereka menegaskan ketiga pribadi Trinity terlibat aktif dalam kebangkitan Yesus "..the three persons act together".
Share: