Benarkah Shur adalah Hijr al-Hijaz menurut Tafsir Saadia Gaon?

Ulasan ini ditujukan untuk menjawab tulisan Menachem Ali (M Ali) yang diposting di website The Yeshiva Institute dengan judul Dimana Lokasi Hijr Al-Hijaz dan Al-Jafar dalam Targum Saadia?. Apologet Islam ini memang selalu memberi kesan sebagai "linguistic expert" namun jika dikaji secara seksama kajiannya cenderung sebuah "word play" demi agenda yang diusungnya. Tema tentang Hijr al-Hijaz sebenarnya telah didiskusikan lewat FB dan saya telah mengklarifikasi tuduhannya seputar "linguistic study", namun M Ali mengabaikannya dan tetap mengulang tuduhannya tersebut dengan memainkan Strawman Argument.
Share:

Apologetika Islam & Tafsir Saadia Gaon

Sudah hal biasa apologis Islam berupaya mencari rujukan teks dalam Bible untuk mendukung eksistensi Islam. Berbagai ayat ditafsirkan secara eisegesis berdasarkan kemiripan atau kecocokan tertentu dengan mengabaikan konteks dari teks yang dimaksud. Sehingga makna sebenarnya dari teks digantikan dengan makna sesuai keinginan penafsir. Pendekatan ini dipopulerkan oleh debator Islam Ahmed Deedat dan diteruskan oleh penerusnya Zakir Naik. Cara yang lebih "ilmiah" melalui kajian linguistik yang lebih tepat disebutkan sebagai "word play" dilakukan Benyamin Keldani dalam bukunya Muhammad in the Bible. Belakangan ini apologis Islam seperti The Yeshiva Institute (Menachem Ali dkk) mulai concern dengan pendekatan historis dengan mencari sumber-sumber ektrabiblikal terutama literatur rabbinik untuk mendukung posisi Islam. Rujukan utama mereka pada Tafsir Saadia Gaon, seorang rabbi di era Gaonim pada sekitar abad ke-10 yang memberikan beberapa detail informasi yang dianggap mengkonfirmasi pernyataan Quran.

Sebenarnya sangat banyak detail informasi  dari berbagai literatur rabbinik seperti Targum, Talmud, Midrash dan tulisan rabbi-rabbi Yahudi, namun informasi yang diambil TYI hanya bagian sangat kecil yang dianggap cocok dengan teologi Islam. Kepingan informasi itu dikemas dan di-blow up sedemikian rupa dalam framework apologetis Islam. Padahal hal-hal yang substansial yang seharusnya ada kalau memang benar-benar ada justru tidak ada data penunjangnya. Misalnya konsep Tahreef Bible, nubuat kenabian Muhammad, Ismail sebagai anak dikorbankan, eksistensi kabbah & blackstone dll justru tidak ada petunjuk yang bisa mereka dapatkan dari literatur rabbinik yang ada karena memang nihil.

Dalam artikel ini kita secara khusus mengkaji tentang Rabbi Saadia Gaon disingkat Rasag yang Tafsirnya menjadi sumber rujukan utama pihak TYI. Ruang lingkup kajian ini mencakup latar belakang sejarah tafsir Rasag, metodologi penulisannya dan pendapat Rabbi  & Jewish Scholars serta kajian singkat atas literatur rabbinik awal. Sumber referensi yang digunakan adalah tulisan para Scholar yang memang disegani dalam dunia akademik. Namun artikel ini belum masuk pada kajian yang lebih detail seperti kajian linguistik terhadap primary sources. Kajian yang lebih teknis akan menyusul ditulis & publish setelah artikel ini.

Sebelum lebih lanjut, perlu diluruskan dulu opini yang dibangun pihak TYI yaitu Menachem Ali & Ismaun Ghofur yang memposisikan kami seakan-akan menolak tulisan Rasag secara keseluruhan. Ismaun Ghofur dalam sebuah diskusi di FB menyatakan ".. Kristen menolak tafsir Rasag hanya karena alibi penolakan tanpa dasar ilmiah adalah sebuah upaya apologetika tanpa pertanggungjawaban akademik, fakta tradisi Rabbinik justru menerima sepenuhnya Tafsir Rasag..". Padahal tidak ada pernyataan kami yang menolak tafsir Rasag dalam pengertian tafsir secara keseluruhan, melainkan harus dilihat case by case seperti tafsir Rasag atas Kej 10:30 yang menurut kami tidak tepat.

Kekristenan dan Yudaisme terutama sejak era abad pertengahan berbeda pendapat dalam penafsiran teks-teks messianik dalam Tanakh/PL, namun dalam penafsiran ayat-ayat lain umumnya tidak ada perbedaan yang substansial. Sebaliknya pernyataan Ismaun Ghofur bahwa tradisi rabbinik menerima sepenuhnya tafsir Rasag justru bertentangan dengan data yang ada karena dalam beberapa detail tertentu rabbi-rabbi lain seperti Ibn Ezra, Rashi, Radak dll tidak sependapat dengan Rasag. Bahkan beberapa Jewish Scholar masa kini mengkritisi metodologi penafsiran yang dilakukan Rasag. Herannya TYI yang mengklaim bahwa pihak yang mengkritisi Rasag dianggapnya tidak akademik, justru tidak memberlakukan data seputar Rasag secara proporsional tetapi terlalu melebih-lebihkan melampaui kapasitas data yang ada. Apakah pihak TYI memang sepenuhnya menerima tafsir Rasag dan konsisten dengan sikapnya ini?

Kita akan menggali lebih lanjut masalah ini diawali dengan pembahasan latar belakang sejarah tafsir Rasag. Selanjutnya mencermati metodologi penafsiran yang dilakukan serta memperhatikan pendapat dari rabbi Yahudi dan Jewish scholars.

A. LATAR BELAKANG SEJARAH TAFSIR RASAG
Saadia Gaon (Rasag) merupakan salah satu rabbi terkenal di era Geonim, lahir di tahun 882 M di distrik Fayyiim Mesir dan meninggal di tahun 942M pada abad ke-10. Pada awal tahun 920 M menjadi figur penting di lingkaran rabbinik dan di tahun 928 diberi posisi sebagai Gaon kepala Akademi Sura sekolah rabinnik yang berada di Baghdad. Biografi lengkap Rasag ditulis Henry Malter dalam bukunya Saadiah Gaon: His Life and Works (Philadelphia, 1921).

Pada masa hidup Rasag, pemerintahan Islam telah berkuasa di seputar Timur Tengah, Afrika Utara dan seputar Mediterania sampai ke Andalusia Spanyol. Pasca kejayaan dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus, dinasti selanjutnya dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad melanjutkan hegemoni pemerintahan Islam. Kehadiran pemerintahan Islam pada masa Rasag di abad pertengahan telah memberi dampak semakin meluasnya pengaruh Islam dan budaya Arabic di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Pihak minoritas seperti Yahudi & Kristen memang dilindungi terutama bagi mereka yang taat terhadap penguasa ditandai dengan memberikan pajak (jizyah). Namun kuatnya pengaruh Islam dan budaya Arabic ikut mempengaruhi kehidupan orang Yahudi & Kristen pada masa itu.

Teguh Hindarto telah melakukan kajian cukup komprehensif latar belakang sejarah masa hidup Rasag dalam tulisannya Saadia Gaon dan Tumbuhnya Tradisi Penulisan Judeo Arabic di Era Pemerintahan Islam: Tinjauan Sosio Historis. Dalam tulisan itu Hindarto menggambarkan keberadaan pemerintahan Islam dan dampaknya terhadap kehidupan orang Yahudi pada masa itu, salah satunya berkaitan dengan penggunaan bahasa Arab "...Sejak pemerintahan Islam menaklukkan negara-negara besar di atas (Persia, Spanyol, Konstantinopel), bukan saja warga negara yang ditaklukkan memiliki status dhimmi melainkan terjadi penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa lisan dan tulisan serta media penyebarluasan pengetahuan dan kebudayaan dengan menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani klasik yang menjadi basis perkembangan sains modern di kemudian hari. Bukan hanya karya-karya filsafat Yunani klasik melainkan naskah-naskah keagamaan Yahudi/Yudaisme pun diterjemahkan dalam bahasa Arab.." hal 5.

Rasag merupakan rabbi Yahudi yang merintis penerjemahan Torah secara lengkap ke dalam bahasa Arab. Uniknya terjemahan berbahasa Arab itu tetap menggunakan karakter Hebrew yang diistilahkan dengan nama Judeo Arabic. Hindarto menyatakan bahwa kehadiran bahasa Judeo-Arabic merupakan cara komunitas Yahudi beradaptasi terhadap pengaruh dan dominasi pemerintahan Islam. Rasag yang hidup di lingkungan pemerintahan Islam terutama saat dia menjadi kepala Akademi Sura di Baghdad yang menjadi pusat pemerintah dinasti Abbasiyah melakukan penerjemahan Torah ke dalam Arabic karena kondisi yang mengharuskan dia melakukan hal seperti itu.

Penerjemahan yang dilakukan Rasag juga melibatkan penafsiran Rasag atas teks-teks Torah sehingga tulisannya lebih tepat disebut Tafsir dalam bahasa Arab dibanding Tarjamah sama seperti Targum yang merupakan parafrase Torah/Tanakh dalam Aramaic. M. Polliack menyatakan hal tersebut dalam bukunya The Karaite Tradition of Arabic Bible Translation: A Linguistic and Exegetical Study of Karaite Translations of the Pentateuch from the Tenth and Eleventh Centuries C.E. (Leiden, 1997)  ".. Saadiah's awareness of the interpretive nature of his translation of the Pentateuch may explain its designation as tafsir; a term which better conveys this sense than the term tarjamah.." hal 86. Dalam kajian kita selanjutnya, tidak hanya sebatas pengaruh penggunaan Arabic terhadap Rasag namun juga adanya serapan Islamic Terms dalam proses penerjemahan/penafsiran yang dilakukan Rasag.

B. SERAPAN “ISLAMIC TERMS” DALAM TAFSIR RASAG
Saadia Gaon dalam tafsirnya atas Torah menggunakan beberapa Islamic terms seperti Allah sebagai kata ganti YHWH & Elohim, Imam, Rasul, Musa dan sebagainya. Penggunaan terms dari luar sebagai bahasa serapan merupakan hal yang biasa seperti bahasa Indonesia yang menyerap kata-kata dalam bahasa Arab, Ibrani, Sansekerta dll yang juga digunakan dalam Alkitab dan terjemahan Quran. Quran sendiri dalam bahasa aslinya Arab juga terdapat kosakata serapan dari bahasa Ibrani, Yunani dsb. Namun masalahnya, Rasag melangkah lebih jauh dengan menggunakan Islamic Terms yang umumnya nama-nama geografis yang ada dalam Torah digantikan dengan nama yang ada dalam tradisi Islam yang lokasinya berbeda.

Pihak apologis Islam seperti TYI mengklaim bahwa nama-nama geografis itu dalam tradisi Islam yang disebutkan dalam Tafsir Rasag merujuk pada lokasi yang sama. Sehingga hal ini menguatkan upaya pihak Islam membangun benang merah antara Islam dan tradisi sebelumnya sebagaimana tercatat dalam Tanakh/PL. Beberapa Islamic Terms yang dimaksud adalah:
  • Mecca = Mesha dan Madinah = Sefar dalam tafsir Kej 10:30
  • Mata air Zam-zam = sumur Lahai Roi dalam tafsir Kej 16:13-14
  • Al-qiblah untuk Negeb dalam tafsir Kej 12:9, 13:1
  • Hijr Al-Hijaz = Shur dalam tafsir Kej 16:7 dan lain-lain. 
Untuk mendukung tafsir Rasag, pihak TYI mengajukan kitab Asathir yang diklaim sebagai Targum Samaritan yang di dalamnya ada tulisan Bakkah. Selain itu mereka melakukan eisegesis atas kata boakah sebagai Bakkah dalam Kej 25:18 serta menafsirka lembah Baka dalam Maz 84:7 sebagai Bakkah/Mekkah. Kemudian mencoba mengangkat figur Ismael yang diklaim setara dengan Ishak karena sama-sama sebagai anak (benih) Abraham.
Masing-masing point akan dibahas tersendiri melalui kajian detail mengacu pada primary sources serta membandingkan secondary sources yaitu kajian Bible Scholars yang ahli dibidangnya. Secara garis besar bisa dijelaskan secara ringkas nama-nama yang disebut dalam tafsir Rasag berikut ini: 
  • Pernyataan Rasag bahwa Mecca = Mesha dan  Madinah = Sefar justru bertentangan dengan tradisi Islam karena dalam hadist Bukhari disebutkan saat kunjungan Abraham ke Bakkah tempat itu belum berpenghuni dan tafsir Rasag tidak didukung oleh umumnya rabbi-rabbi Yahudi serta analisis historis sebaran keturunan Joktan tidak merujuk ke daerah Mekkah & Madinah.
  • Sumur Lahai Roi yang dianggap sebagai mata air Zam-zam juga bertentangan tradisi Islam yang menyebutkan mata air Zam-zam ditemukan oleh Hagar & Ismael sedangkan dalam Tanakh sumur Lahai Roi ditemukan oleh Hagar dan saat itu Ismael belum lahir. Letak sumur Lahai Roi di antara Kadesh & Bered di selatan Palestina bukan di Arabia.
  • Kata al-qiblah sebagai Negeb juga tidak tepat karena kata Negeb bisa merujuk pada nama tempat (tanah Negeb) yang berada di wilayah selatan Israel atau arah selatan dan tidak ada sangkut pautnya dengan arah Qiblah ke Kabbah di Mekkah. 
  • Kata Hijr Al-Hijaz = Shur tidaklah tepat karena Shur yang dimaksud masih terletak di wilayah selatan Israel dekat dengan Kadesh, sedangkan Hijaz nama kuno untuk sebuah wilayah yang berada di Arabia. Kata Hagra dalam Tarqum juga tidak merujuk pada Mekkah melainkan dibagian selatan Israel. 
Seorang Jewish Scholar bernama David M. Freidenreich telah melakukan kajian cermat terhadap tafsir Rasag dalam tulisan The Use of Islamic Sources in Saadiah Gaon's "Tafsīr" of the Torah", The Jewish Quarterly Review, New Series, Vol. 93, No. 3/4 (Jan. - Apr., 2003). Freidenreich menyatakan "..Saadiah Gaon's influential translation of the Torah into Arabic has long been known to contain countless "mistranslations," passages in which Saadiah consciously modifies the biblical text to conform to Arabic literary style or to his own beliefs and understanding of the Bible. Several of the modifications found in Saadiah's Tafslr derive from Islamic sources, including Islamic terminology and phraseology, Islamic law and tradition, and the Qur'an itself." hal 353.

Freidenreich telah memberikan bukti komprehensif terhadap pernyatannya tersebut tentang "mistranslations". Salah satunya tentang tafsir Rasag mengenai hajr alhijaz=road to shur dalam Kej 16:7 "... Saadiah's Tafsir of Gen 16:7 thus ignores all biblical evidence that Shur is in the Sinai and reports that Hagar received the annunciation of the birth of Ishmael on the road to Mecca, the very location to which, according to Islamic tradition, Abraham took Ishmael and Hagar after Sarah sent them away and the place in which Abraham built the Ka'bah. There can be no doubt that the translation of shur as hajr alhijaz must be due to the influence of Islamic traditions, as Jewish sources ascribe no significance whatsoever to the Hijaz region of Arabia..” hal 374. Demikian pula tentang Mesha = Mecca dan Sefar=Madinah dalam tafsir Kej 10:30, Freidenreich menyatakan "... he (Rasag) translates the locations Mesha and Sephar as Mecca and Medina, respectively; Saadiah was clearly not averse to including references to Islamic sites in the Tafsir.." hal 375-376.

Kajian yang dilakukan David M. Freidenreich tentulah dapat dipertanggungjawabkan secara akademik yang jelas bukan sebuah "pseudo academic" sebuah term yang disematkan pihak TYI terhadap lawan diskusinya. David M. Freidenreich sendiri adalah Associate Professor of Jewish Studies di Colby College. Dia mendapatkan gelar Ph.D dari Columbia University dan rabbinic ordination dari the Jewish Theological Seminary.  Ini merupakan bukti bahwa tafsir Rasag tidak harus diterima sepenuhnya.

Untuk melengkapi pemahaman kita atas masalah ini, kita perlu mengetahui dari mana sumber informasi tentang berbagai Islamic Tems ini. Jika kita kembali pada pembahasan sebelumnya mengenai latar belakang sejarahnya, maka tindakan Rasag ini dilakukan karena kondisi saat itu begitu kuatnya hegemoni Islam. Apalagi dia berada di Baghdad yang merupakan pusat pemerintah dinasti Abbasiyah. Dalam buku H. Malter, Saadiah Gaon: His Life and Works (Philadelphia, 1921), Malter menuliskan pengaruh dari penulis-penulis Islam di Mesir sebelum dia pindah dari Mesir ke Palestina ".. The question is to what extent did Saadia, prompted either by his own desire for learning, or other motives, familiarize himself with the works of Muhammedan authors before his emigration from Egypt to Palestine. We shall have occasion to show the influence of Arabic literature on Saadia in works of his, written beyond a doubt at a later period of his life. Here, only the following passage can be cited to prove that the Arabic influence had begun to show its traces at the time when he was preparing one of his earliest known literary productions, the Hebrew lexicon and rhyming dictionary 'Agron. The very name of this book, written in his twentieth year, is in imitation of titles used by Muhammedan authors for similar works.." hal 39.

C. RABBI-RABBI YAHUDI, JEWISH SCHOLARS & TAFSIR RASAG
Rasag adalah rabbi terkenal di era Geonim (540 - 1040 M) dan selanjutnya di era Rishonim (1040 - 1560 M) bermunculan banyak rabbi yang terkenal dan sering menjadi sumber rujukan Yudaisme seperti Shelomo ben Yitzhak (Rashi), Shmuel ben Meir (Rashbam), Moshe ben Nachman (Ramban), Rabbi Moshe ben Maimonede (Rambam), Avraham ben Meir (Ibn Ezra), David Kimchi (Radak) dll. Namun dari sekian banyak tulisan dari para rabbi ini sangatlah sedikit yang menyebutkan informasi yang sejalan dengan Rasag terhadap penyebutan nama-nama geografis seperti Mesha = Mecca, Lahai Roi = Zam-zam dll.

Memang Radak menyebutkan tentang tafsiran Rasag mengenai Kej 10:30 Mesa=Mecca & Sefar=Madinah, namun bukan berarti Radak sependapat dengan Rasag. Karena Radak justru punya penafsiran sendiri yang berbeda dengan Rasag. Jika memang benar Mesa=Mecca maka informasi ini merupakan salah satu informasi penting yang seharusnya telah diketahui rabbi-rabbi lainnya. Ayat ini dalam perikop Table of Nations secara khusus ayat 30 itu berkaitan dengan sebaran tempat tinggal keturunan Joktan. Namun hanya beberapa Rabbi yang mengulas tentang Joktan dan tidak menyinggung sama sekali tentang keberadaan Mekkah & Madinah tersebut. Satu-satunya konfirmasi dari rabbi-rabbi lain seperti Radak dan Ibn Ezra yaitu tentang sumur Lahai Roi sebagai mata air Zam-zam. Namun mereka hanya menyatakan dugaan saja yang jika dibandingkan dengan tradisi Islam justru kontradiktif. Karena mata air Zam-zam dalam tradisi Islam ditemukan oleh Hagar & Ismael sedangkan Lahai Roi oleh Hagar sendiri & Ismael belum lahir. Mengenai al-Qiblah = Negeb dan Al-Hijaz = Shur, tidak dukungan  pernyataan rabbi-rabbi yang lain.

Bahkan rabbi Abraham Ibn Ezra justru mengkritik penyebutan nama-nama lokasi biblikal dalam tafsir Rasag yang dianggapnya hanya mimpi atau imajinasi Rasag dalam rangka menyesuaikan tafsirannya dengan Islam. Sebagaimana dinyatakan Freidenreich mengenai tafsir Ibn Ezra atas Kej 2:11 "... The 12th-century commentator Abraham Ibn Ezra, who frequently cites and often rejects Saadiah's translational interpretations, comments acerbically that: [Saadiah] did this with families, cities, animals, birds, and rocks. Maybe he saw them in a dream. And he certainly erred in some cases, as I will explain in their proper places. If so, we should not rely on  his dreams. Perhaps he did this for the glory of God. Because he translated the Torah in the language of Ishmael and in their script ..". Idem

Rabbi Saadia Gaon memang diakui dalam tradisi rabbinik sebagai salah satu rabbi yang berpengaruh di samping Rashi, Rambam dll. Namun bukan berarti seluruh tafsirannya harus diterima, buktinya pernyataan-pernyataan berkaitan dengan Mekkah dalam Tanakh tidak mendapat dukungan dari rabbi-rabbi lainnya. Bahkan dari pihak Yudaisme masa kini tidak ada pernyataan yang mendukung tafsir Rasag berkaitan dengan Mekkah tersebut, termasuk Tovia Singer yang cukup dekat dengan Menachem Ali. Demikian pula dalam tulisan-tulisan akademis dari Jewish sholars tidak ada yang memperhitungkan pernyataan Rasag tersebut. Nahum Sarna seorang Jewish Scholar yang disegani dalam commentary-nya atas kitab Kejadian tidak menyebutkan pernyataan-pernyataan Rasag tersebut. Sarna, N. M. (1989). Genesis. English and Hebrew; commentary in English.; The JPS Torah commentary. Philadelphia: Jewish Publication Society. Demikian pula dalam commentary berbobot lainnya diantaranya:
  • Adele Berlin & Marc Zvi Brettler,  The Jewish Study Bible, Oxford University Press, 2004
  • Speiser, E. A, Genesis: Introduction, Translation, and Notes (70). New Haven;  London: Yale University Press, 2008 
  • Skinner, J., A critical and exegetical commentary on Genesis. New York: Scribner, 1910
  • Lange, J. P., Schaff, P., Lewis, T., & Gosman, A, A commentary on the Holy Scriptures : Genesis. Bellingham, 2008
  • Fruchtenbaum, A. G,  Ariel's Bible commentary: The book of Genesis (1st ed.), San Antonio, TX: Ariel Ministries, 2008



D. LITERATUR RABBINIK AWAL & TAFSIR RASAG
Dari mana sumber informasi Rasag dalam menuliskan hal-hal tersebut? masa hidup Rasag di abad ke-10 M sangat jauh dengan masa terjadinya kisah-kisah tersebut pada sekitar abad 18 SM. Jika tafsirnya hanya sebatas tafsiran moral dalam penerapan Torah bisa saja itu sebagai inovasi atau penemuan baru. Namun informasi berupa nama-nama geografis seperti Mesha, Lahai Roi tidak bisa hanya sekedar imajinasi semata, melainkan perlu warisan dari oral tradition dan mendapat konfirmasi dari sumber-sumber yang lebih awal seperti Targum, naskah Qumran, jewish apokriph, jewish pseudopigrapha dan berbagai literatur rabbinik masa-masa awal. Satu-satunya rujukan yang dianggap berasal pada masa awal sekitar abad ke-2 adalah kitab Asathir. Namun uraian dari kitab Asathir juga bertentangan dengan tradisi Islam dan menurut para ahli yang kredibel dalam studi Samaritan Aramaic, kitab Asathir ini merupakan produk belakangan pada abad pertengahan.

Apakah Saadia Gaon mewarisi oral tradition tentang eksistensi Mekkah khususnya di kalangan bangsa Yahudi sebagaimana klaim M Ali? Kisah Abraham & Ismael yang berkunjung ke Mekkah untuk membangun Kabbah/Mekkah terdapat dalam tradisi Islam seperti Quran, Hadist, kitab Tarikh & Tafsir. Kisah ini jelas peristiwa signifikan dalam masa hidup Abraham & Ismael. Namun mengapa kisah ini tidak tercatat dalam Tanakh/PL?. Bisa saja dijawab bahwa Bible telah dipalsukan, namun kapan pemalsuan ini terjadi untuk menghilangkan kisah "penting" tersebut? Adakah referensi sejarah tentang peristiwa pemalsuan itu? Apakah narasi dalam dokumen Dead Sea Scroll yang paralel dengan Tanakh berbasis Masoret Text juga telah dipalsukan?

Jika peristiwa kunjungan Abraham & Ismael ke Mekkah ini benar-benar fakta sejarah, maka seharusnya narasi kisah ini tercatat dalam Tanakh. Demikian pula keberadaan "Black Stone" dan bangunan Kabbah yang menjadi inti dari Mekkah itu sendiri.Tetapi yang diajukan sebagai bukti hanya untuk eksistensi "Mekkah" sedangkan hal yang substansial yaitu narasi kisahnya dan eksistensi Black Stone & Kabbah tidak ada data pendukungnya. Apakah oral tradition yang dimaksud hanya menyangkut eksistensi "mekkah"? Jelas tidak ada oral tradition seperti itu, kecuali berdasarkan pada penafsiran pribadi Rasag tentang Mesha = Mecca, Lahai Roi = Zam-zam, al Qiblah = Negeb, Al-Hijaz = Shur dsb.

Berbagai dokumen kuno yang relevan tidak ada jejak narasi kisah Abraham ke Mekkah, eksistensi Black Stone & Kabbah termasuk Mekkah itu sendiri. Mulai dari berbagai versi Tanakh: Teks Masoret (bah Ibrani), Septuaginta (bah Yunani) dengan berbagai variannya, Samaritan Pentateuch (bah Aramaic) termasuk dokumen-dokumen Dead Sea Scroll. Berbagai dokumen Jewish Apocrypha seperti Esdras, Tobit, Makkabe dll. Berbagai dokumen Jewish Pseudepigrapha seperti Enoch, Sibylline Oracles, Testament of Levi dll. Berbagai Targum, Talmud, Midrash serta tulisan penulis Yahudi kuno seperti Philo & Joshepus. Bahkan bisa diperluas dengan dokumen-dokumen extrabiblikal seperti tulisan Herodotus, Strabo dll.

E. PENUTUP
Tafsir Saadia Gaon (Rasag) telah digunakan sebagai rujukan apologetika Islam khususnya oleh pihak TYI dalam upaya membuktikan keberadaan Mekkah dalam Tanakh. Namun dari kajian yang cermat, tafsir Rasag yang memuat hal-hal yang mendukung teologi Islam ini justru tidak bisa dilepas dengan kondisi pada masa itu adanya pengaruh budaya Arab & Islam yang begitu kuat. Tafsir Rasag tentang Mekkah, Zam-zam dll ini merupakan pendapat pribadinya yang mengakomodasi Islamic Terms dalam tafsirnya, pendapat ini seharusnya merupakan informasi penting, namun tidak diketahui atau didukung oleh rabbi-rabbi lain seperti Rashi, Rambam dll. Demikian pula pernyataan Rasag itu bukanlah mewarisi oral tradition, karena tidak ada bukti signifikan dari literatur rabbinik awal seperti Targum, Talmud dsb.

Penggunaan tafsir Saadia Gaon oleh apologis Islam sebenarnya problematik bagi Islam sendiri. Karena terbukti pernyataan Rasag itu kontradiktif dengan tradisi Islam seperti penyebutan Mesa=Mekkah yang dalam Tanakh dalam konteks keturunan Joktan. Padahal dalam Hadist Bukhari dituliskan saat kunjungan Abraham ke Mekkah untuk membangun Kabbah, saat itu Mekkah belum berpenghuni. Jika kita mengkaji lebih lanjut sebenarnya tradisi Islam tentang Abraham, Ismael dan kabbah banyak terdapat versi yang kontradiktif. Uraian lengkapnya bisa dibaca dalam buku Reuven Firestone, Journeys in Holy Lands: The Evolution of the Abraham-Ishmael Legends in Islamic Exegesis (Albany, 1990). Demikian pula keberadaan Mekkah pada masa Abraham juga patut dipertanyakan, karena tidak ada rujukan dari berbagai literatur kuno yang menyebut keberadaannya bahkan sebelum abad ke-4. Silahkan baca buku Rafat Amari, Islam in the Light of History, Religion Research Institute, 2004.
Share:

Menjawab Gugatan: Musa Bukan Penulis Taurat

Tulisan dengan judul Siapakah Penulis Taurat (link) telah mendapat tanggapan pihak muslim bernama Fach Rudin (disingkat FR). Jika dicermati tanggapannya lebih banyak mempersoalkan masalah tekstual seperti masalah "kontradiksi" dibanding kajian historis secara komprehensif. FR hanya mengulangi point point dari kajian liberal scholarship seperti teori JEDP. Tulisan ini merupakan tanggapan balik atas tanggapan tersebut melalui kajian mendalam & komprehensif. Sistematika penulisan mengikuti sistematikan tanggapan FR dengan membahas kitab demi kitab dari Taurat. Sangat disarankan pembaca telah membaca tulisan sebelumnya (link).

Klaim FR
Penemuan inskripsi kuno Tell el-Amarna, Serabit el-Khadim di Sinai, dan Situs Ras Syamra tidaklah membuktikan sama sekali bahwa Musa melek huruf (bisa baca tulis).. Sebab ketiga situs itu, cuma menjelaskan tentang adanya hubungan diplomatik pihak Mesir dengan Kanaan. Bangsa Mesir sudah mengenal tulisan tetapi hal itu tidak bahwa semua penduduk Mesir kala itu, sudah melek huruf. Sebab banyak orang yang hidup dinegara berkembang seperti saat ini saja, ternyata dengan mudah kita bisa menemukan orang yang tidak bisa baca tulis

Tanggapan JJ
Rujukan terhadap tiga inskripsi arkeologi (Tell el-Armana, Serabit el-Khadim & Ras Syamra) yang ditulis di sekitar zaman Musa, bertujuan untuk menjawab preposisi utama teori JEDP. Preposisi teori ini bahwa budaya penulisan belum ada pada masa Musa, nanti setelah masa Daud atau masa pembuangan ke Babel. Pemahaman ini pertama kali dikembangkan pada abad 18 oleh Jean Astruc, kemudian dilanjutkan Eichorn dan dimatangkan oleh Graf & Wellhausen menjadi teori JEDP. Pada masa mereka itu belum ada penemuan inskripsi arkeologi tersebut, tidak heran mereka menolak Musa sebagai penulis Taurat karena beranggapan belum ada budaya penulisan pada masa Musa.

FR mencoba menurunkan makna penemuan arkeologi itu dengan mengatakan bahwa inskripsi itu hanya teks-teks hubungan diplomatik Mesir & Kanaan. Namun point saya tetap stand, bahwa budaya tulisan jelas telah ada pada masa Musa. Arsip Palestina di Tell el-Amarna itu berupa ratusan lempeng tanah liat tertanggal mulai 1420 s/d 1380 SM sezaman dengan Musa & Yosua. Ini membuktikan penduduk Kanaan dan tentunya Mesir yang jauh lebih maju peradabannya telah melek huruf terutama di kalangan pejabatnya.

Namun beberapa kalangan bawah tertentu juga telah melek huruf, sebagaimana ditunjukan dalam inskripsi Serabit el-Khadim yang ditemukan di daerah Sinai. W.W. Albright dalam bukunya The Protot-Sinaitic Inscriptions and Their Decipherment, Cambridge: Harvard University, 1966 telah menguraikan inskripsi tersebut. Isinya berupa catatan tentang kuota tambang & penyembahan kepada dewi bangsa Fenisia. Catatan ini menunjukan bahwa masalah melek huruf bukanlah hal yang asing pada masa itu, bahkan di kalangan bawah tertentu seperti para buruh & mandor tambang. Demikian pula inskripsi Ras Syamra sekitar tahun 1400 SM yang berisi kisah-kisah asmara & peperangan yang diantaranya ditulis dalam bentuk puisi, paralel dengan Taurat yang juga terdapat teks-teks puisi.

Sebenarnya masih ada beberapa inskripsi arkeologi lagi, namun tiga inskripsi arkeologi ini sudah cukup membantah secara telak preposisi teori JEDP tersebut. FR ikut-ikutan mengambil posisi seperti mereka, walaupun sebenarnya point mereka ini sudah out of date. Sepertinya FR hanya mengambil potongan informasi bahwa inskripsi-inskripsi itu hanya tulisan sebatas korespondensi diplomatik. Walaupun demikian potongan informasi itu justru tetap membuktikan budaya tulisan telah ada saat itu. Apalagi isinya cukup luas mencakup catatan pekerjaan tambang, kisah-kisah asmara, peperangan, pemujaan kepada dewa dan sebagainya.

Bagaimana dengan Musa? sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Musa hidup di istana Firaun sebagai bagian dari keluarga kerajaan. Sebagai anak-anak kerajaan, mereka perlu dipersiapkan agar kelak bisa mengelola kerajaan, maka wajarlah mereka diajarkan pengetahuan termasuk kemampuan baca tulis. Maka sudah tepat dikatakan dalam kitab Kisah Para Rasul. Kis_7:22 Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya.
Kajian dari para arkeolog & historian, telah menunjukan data bahwa anak-anak dari keluarga kerajaan mendapatkan pendidikan terbaik pada masanya, bahkan didampingi seorang tutor. “...Anciently, children of haréÆm-women could be educated by the Overseer of the haréÆm (‘a teacher of the children of the king’, F. Ll. Griffith and P. E. Newberry, El Bersheh, 2, 1894, p. 40). In due course princes were given a tutor, usually a high official at court or a retired military officer close to the king (H. Brunner, Altägyptische Erziehung, 1957, pp. 32-33); Moses doubtless fared similarly...The New Bible Dictionary, (Wheaton, Illinois: Tyndale House Publishers, Inc.) 1962.

Tidak hanya dalam ilmu pengetahuan Mesir, Musa dengan dasar pendidikan yg dimilikinya, dengan mudah bisa mempelajari bahasa & jenis tulisan lainnya seperti tulisan proto-canaanite dan sebagainya. “.. Moreover, as a Semite in Egypt, Moses would have had no difficulty whatever in learning and using the twenty or so letters of the proto-Canaanite linear alphabet, especially if he had been submitted to the much more exacting discipline of a training in the scores of characters and sign-groups of the Egyptian scripts (though even these require only application, not genius, to learn them)..” Idem. Semua data ini menunjukan bahwa alasan menolak Musa sebagai penulis Taurat karena belum adanya budaya tulisan, telah dimentahkan dengan bukti-bukti arkeologi yang sangat jelas. Demikian pula Musa sebagai bagian dari anak-anak kerajaan telah mendapat pendidikan terbaik pada masanya, sehingga bisa pastikan Musa melek huruf & memiliki kemampuan menulis. Menolak hal ini, menunjukan sikap yang tidak paham atau tidak mau memahami data sejarah :-)

Klaim FR
1. KITAB KEJADIAN. Kitab ini ditulis pada masa pembuangan, terlebih mengenai penciptaan yang pengarangnya tidak memikirkan kenyataan secara ilmiah dan terlihat sekali adanya perbedaan latar belakang penulisan baik dalam masa penulisannya dan juga pengarangnya. Para ahli menaruh perhatian pada pembentukan pentateukh, yang diawali dari kitab Kejadian, saat diketahui adanya perbedaan penyebutan Allah. Yaitu, YHWH yang menunjuk nama diri Tuhan Israel (dalam Alkitab Terjemahan Baru diterjemahkan dengan Tuhan Allah), dan Elohim yang diterjemahkan menjadi Allah

Tanggapan JJ
FR kemudian membahas satu-satu persatu kitab-kitab dalam Taurat. Sebelumnya dalam sebuah notes, FR mempermasalahkan kisah penciptaan dalam Taurat dalam kitab Kejadian pasal 1 & 2. Pada pasal 1 menurutnya ditulis penulis yang disebut versi Elohist sedangkan pasal 2 oleh Yahwist. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Jean Astruc tahun 1753 yang kemudian berkembang ke pasal-pasal selanjutnya & mencapai puncaknya dalam bentuk teori JEDP menurut Graf & Welhaussen.

Namun jika kita cermati, penggunaan nama Elohim pada pasal 1 merupakan nama ilahi yang cocok dengan kisah penciptaan sebagai penguasa atas alam semesta. Sedangkan dalam pasal 2 Dia muncul untuk menjalin perjanjian secara pribadi dengan Adam & Hawa; karena itu kepada mereka, Elohim menyatakan sebagai YHWH atau Allah perjanjian. Upaya untuk memisahkan kisah penciptaan dengan perbedaan penyebutan Elohim (pasal 1) dan YHWH (pasal 2), menjadi rancu karena pada pasal 2 dan 3 justru menggunakan kombinasi nama Elohim & YHWH. Teori JEDP itu beranggapan bahwa penulis Yahwist hanya tahu nama tersebut dan anggapan ini gugur karena pada bagian yang dianggap Yahwist juga digunakan Elohim.

Pada tulisan saya sebelumnya, saya telah menyebutkan bahwa penggunaan dua nama atau lebih merupakan hal yang biasa, khususnya penyebutan nama-nama dewa. Mesir mengenal Osiris yang juga disebut Wennefer, Khent-amentiu dan Neb-abdu. Babel mengenal dewa Bel dengan nama lain Enlil & Nunammir. Kanaan dengan nama dewa Baal nama lainnya Aliyan dan Yunani terkenal dengan dewa Zeus yang juga disebut Kronion & Olympius. Demikian pula dalam Taurat & kitab-kitab lain dalam Tanakh, dikenal nama-nama ilahi seperti YHWH, Elohim, Eloah, El, El Shaddai, Hashem dan Adonai. Sudah tentu penggunaan nama-nama ini memiliki pengertian masing-masing secara leksikal & terminologis. Semua nama-nama ilahi ini merujuk pada Pribadi yang sama yang telah berfirman sebagaimana tercatat dalam Alkitab.

Kembali ke masalah Kejadian pasal 1 & 2, jika kita mencermati kedua bagian ini maka tidak ada kontradiksi diantara keduanya atau tidak ada dua versi penciptaan. Pasal 1 menyajikan kisah penciptaan secara umum dan pasal 2 melengkapi detail tertentu dalam kisah penciptaan tersebut. Ringkasan kisah penciptaan dalam pasal 1 tersebut justru berakhir pada empat ayat pertama dalam pasal 2 yang ditutup pada ada ayat ke-4 "..Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit". Pada ayat selanjutnya menjelaskan detail tertentu pada bagian kisah penciptaan khususnya kisah Adam & Hawa. Kegagalan memahami sifat komplementer dari kedua bagian itu, antara skema garis besar di satu sisi dan konsentrasi rinci perihal manusia & lingkungan di sisi lainnya, oleh Kenneth Kitchen dalam bukunya Ancient Orient and Old Testament, London: Inter-Varsity Press, 1966, disebut sebagai "penggelapan informasi".

Klaim FR
Pertentangan di dalam cerita muncul bersamaan, dengan adanya perbedaan gaya dan kosa kata di dalamnya (semisal : 6:19 dan 7:2), yang terkadang terdapat tiga versi dari cerita yang sama (misal : pasal 12, 20 dan 26). Hal itu ternyata membingungkan para ahli, yang pada akhirnya, terselesaikan dengan cara membagi cerita-cerita tesebut kedalam dua atau lebih tradisi / sumber, yang aslinya berdiri sendiri. Adapun contoh permasalahan kontradiksi yang terdapat kitab Kejadian : jumlah binatang yang dibawa masuk kedalam bahtera (7:2 VS 6:19-20 dan 7:15-16), penyebab banjir (7:4,12 VS 7:11 dan 8:1), lamanya banjir berlangsung (7:24,8:3, 8:13 VS 7:4,10). Contoh tentang adanya sisipan : 2-5,24 dan 34-35

Tanggapan JJ
FR mencoba mempertentangkan beberapa teks dalam kitab Kejadian misalnya Kej 6:19 & 7:2. Pada ayat pertama menyebutkan semua binatang satu pasang sedangkan pada ayat kedua menyebut binatang tidak haram 7 pasang dan binatan haram 1 pasang. Sama seperti kisah penciptaan dalam Kej 1 & 2, ayat pertama ini menyebutkan secara umum semua binatang yang harus berpasangan jantan & betina, kemudian pada ayat kedua menjelaskan lebih detail bahwa semua binatang itu dibagi dua kategori; binatang tidak haram dengan jumlah 7 pasang dan binatang haram 1 pasang. Pada intinya, binatang haram pun ikut masuk dalam bahtera Nuh selain binatang tidak haram. 
Mengenai Kejadian pasal 12, 20 dan 26 juga tidak ada hal yang perlu dipermasalahkan. Semua kisah ini adalah kisah yang berbeda secara kronologi waktu dari perjalanan hidup para patriakh. Masalah penyebab banjir dalam Kej 7:4,12; 7:11 dan 8:1 hanya perbedaan peredaksian semata, inti penyebab banjir menjadi lebih lengkap yaitu karena hujan deras yang terus menerus diawali & disertai angin yang berhembus. Demikian pula dengan lamanya banjir juga tidak ada perbedaan signifikan juga hanya peredaksian terhadap narasi kalimatnya. Adapun yang dianggap sisipan itu hanya masalah point of view dari penulis sebagai keterangan untuk memperjelas teks-teks yang ada.

Dari perbedaan ini, terlalu naif menyatakan adanya penulis yang berbeda-beda. Bayangkan jika memang benar demikian, teks-teks yang dianggap ditulis oleh penulis yang berbeda sebagaimana contoh-contoh yang diberikan, justru terdapat dalam pasal yang sama. Maka bisa dikatakan hampir mustahil untuk menjalin perbedaan ini dalam satu naskah yang utuh, karena diperlukan redaktur yang ulung untuk menggabungkannya. Pada kenyataannya tidak ada bukti eksternal dari manuscript atau catatan sejarah menurut written & oral tradition bangsa Yahudi yang mengindikasikan terdapat dokumen yang terpisah-pisah seperti dokument E, dokumen Y dan sebagainya. Dari kajian yang cermat, justru terdapat kesatuan tematik & linguistik dari Taurat, sebagaimana hasil kajian Kikawada & Quin dalam bukunya Before Abraham Was, 1985 dan tulisan Rendsburg, The Redaction of Genesis, Eisenbrauns: 1986.

Klaim FR
2. KITAB KELUARAN. Menyangkut peristiwa kunci pengalaman iman Israel ini, peninggalan Mesir sama sekali tidak mempunyai catatan layaknya patung Spinx yang diam membisu, seperti tentang kisah 10 tulah yang dikeluarkan oleh Musa saat menghadapi Firaun. Meskipun pada narasi Keluaran, terdapat kisah yang kontradiksi atas kisah tulah tersebut (7:1-11:10). Berdasarkan teks yang terdapat pada kitab Keluaran, tampak ada beberapa rute yang berbeda disaat Musa membawa orang-orang Israel keluar dari tanah Mesir, seperti pada Kel. 13:1-22. Selain itu, terdapat kisah yang tidak bisa dimengerti tentang mezbah kurban bakaran. Karena bagaimana mungkin mezbah itu bisa berfungsi, karena kayu akan terbakar oleh panas yang berasal dari kurban yang dipersembahkan (27:9-19)

Tanggapan JJ
Saya agak heran dengan gaya argumentasi FR menelan mentah-mentah kajian liberal scholar yang umumnya pendapatnya sudah out of date. Demi menyerang Alkitab, yang bersangkutan mengambil posisi liberal yang sebenarnya juga menyerang Quran & tradisi Islam itu sendiri. Karena Quran sendiri menyebutkan eksistensi bangsa Israel di Mesir dan peristiwa exodus bangsa Israel berjalan membelah laut. Malah beberapa penemuan arkeologi di Mesir seperti Mummi Firaun sangat diminati pihak Islam dan menganggapnya sebagai bukti untuk membenarkan Islam. Silahkan lihat kajian tentang hal ini http://apologiakristen.blogspot.co.id/2010/03/mummi-firaun-quran-vs-bible-1.html. Ada banyak bukti arkeologi eksistensi bangsa Yahudi di Mesir dan peristiwa Exodus, sebagaimana kajian para historian & arkeolog seperti James Hoffmeier, Kenneth Kitchen, Leon Wood, Bimson, Gleason Archer dan lain-lain. Perlu tulisan tersendiri untuk menguraikannya termasuk berinteraksi dengan tulisan para liberal scholar. 

Masalah rute exodus memang diperdebatkan para ahli dengan proposalnya masing-masing. Saya kira hal yang substansi bukan pada masalah rutenya, melainkan eksistensi peristiwa exodus itu sendiri. James Hoffmeier dalam tulisannya Ancient Israel in Sinai: The Evidence for the Authenticity of the Wilderness Tradition, Oxford University Press, 2005, telah menyajikan bukti-bukti kuat tentang kesesuaian teks-teks dalam Taurat dengan data arkeologi berkaitan dengan kondisi padang gurun dan detail geografi pada zaman Musa. Tidak ada perbedaan versi rute exodus dalam kitab Keluaran, rincian tersebut berkaitan perbedaan tempat dan waktu dalam kronologi perjalanan mereka.
Sekali lagi, FR kembali mengangkat masalah "kontradiksi" seperti peristiwa tulah-tulah di Mesir. Padahal secara substansi tidak ada hal yang perlu dipermasalahkan. Fach Rudin tidak mengerti bagaimana mungkin mezbah yang terbuat dari kayu sebagai tempat korban bakaran. Yah.. karena dia tidak paham bagaimana model sebenarnya mezbah bakaran tersebut yang juga menggunakan jala-jala tembaga dan periuk-periuk. So... jika seseorang sudah apriori terlebih dahulu, maka dicari celah-celah kelemahannya dan ternyata tidak terbukti, hanya membuktikan ketidakpahaman sang pengkritik tersebut. :-)

Klaim FR
3. KITAB IMAMAT. Terdapat bermacam pendapat mengenai waktu penulisan, teks, dan kepengarangan Kitab Imamat. Ada yang berpendapat bahwa Musa adalah pengarangnya. Yang lain berpendapat bahwa kitab ini berasal dari masa sehabis pembuangan (akhir abad V SM), bahkan ada yang menempatkan pada abad VIII SM. Kitab Imamat lebih merupakan sebuah daftar dari peraturan ritual daripada suatu uraian rinci mengenai pelaksanaan aktual. Pertemuan kudus dalam cerita-cerita lama bangsa-bangsa lain, hal itu dilaksanakan bagi dewa-dewa. Kisah mengenai akulturasi tersebut (percampuran dua kebudayaan atau lebih yg saling bertemu dan saling mempengaruhi), bisa kita telaah tentang semisal tentang pesta ziarah paskah-roti tak beragi (23:4-14), pesta Minggu atau Pentakosta (23:15-22), pesta Pondok Daun (23;33-44)

Tanggapan JJ
Kembali FR mengulangi pendapat liberal scholar, tanpa menguji pendapat tersebut secara cermat. Berbagai ritual & aturan upacara keagamaan yang diatur dalam kitab Imamat, jelas telah ada jauh sebelum masa Daud dan masa pembuangan. Termasuk berbagai perayaan seperti hari raya Roti Tidak Beragi, hari raya Pondok Daun dan lain-lain. Tuduhan bahwa hal itu mengadopsi paganisme jelas tidak beralasan, karena terdapat perbedaan signifikan ritual tersebut dengan paganisme.
Mari kita bandingkan sebuah ritual dalam upacara keagamaan yang nanti ada pada zaman Daud, yaitu kumpulan penyanyi di Bait Allah yang oleh Daud dibagi atas dua puluh empat kelompok latihan (1 Taw 25) yang juga sering disebut dalam kitab Mazmur. Jika kitab Imamat ditulis setelah zaman Daud, maka kita akan jumpai dalam kitab Imamat deskripsi tentang kelompok penyanyi tersebut. Namun tidak ada keterangan tentang hal itu dalam kitab Imamat. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa kitab Imamat atau Taurat telah ditulis sebelum zaman Daud. Demikian pula kelompok (ordo) ahli-ahli Taurat (Soferim) pada zaman Ezra atau pada era pembuangan, hal ini pun juga tidak dijumpai dalam kitab Imamat. Termasuk kelompok penting para pelayan di Bait Suci yang disebut Netimin sebagaimana dicatat pada era pembuangan di Babel, juga tidak terdapat dalam kitab Imamat atau Taurat. 

Klaim FR
4. KITAB BILANGAN. Disebut Bilangan, karena berisikan dua cacah jiwa suku-suku Israel (1:20-46 dan 26:5-51) dan kaum Lewi (3:14-51 dan 26:57-62). Didalamnya juga terdapat daftar bermacam-macam hal, beberapa diantaranya dalam angka-angka : daftar pemimpin yang membantu cacah jiwa (1:5-15), daftar persembahan yang dibawa untuk penahbisan mezbah (7:10-83), daftar para pengintai uang diutus untuk menyelidiki Kanaan (13:4-15), daftar kurban yang dipersembahkan pada hari raya besar dan hari raya (28:1-29:38), dan daftar jarahan yang diambil dari orang-orang Midian (31:32-52). Meskipun nama Bilangan sesuai dengan beberapa bagian isinya, namun tidak secara tepat mengisyaratkan kisah-kisah yang terkandung didalamnya. Sebab didalamnya terdapat dongeng, seperti tentang Bileam yang dibalut dengan adanya inkonsistensi perintah Allah pada Bileam (22:1-22-35), ketidak jelasan kisah Keni (24:21-25), ketidak jelasan dosa, dan lain-lain. Sejarah awal diakhiri pada abad VI SM oleh imam-imam yang sedang sibuk membangun kembali ibadat di Bait Allah. Maka karya mereka disebut Imamat (P, untuk menyingkatnya). Para imam menyalurkan tradisi masa lalu Israel, mereka bukanlah pengarang yang menyusun cerita-cerita apalagi dianggap Musa sebagai penulisnya. Mereka penulis kitab Imamat ini adalah penulis yang mengingat masa lalu dan menyampaikan hal-hal pokok dari tradisi, sebagai dasar untuk membangun kembali jati diri umat Allah tanpa pernah bisa kita ketahui. Suatu hal yang sangat sulit dan bahkan mustahil bagi penulis kitab Imamat ini adalah orang tunggal, untuk mampu mengingat jumlah atas daftar diatas. Dalam 1:4-19, terdapat ketidakjelasan narasi, apakah nama para pemimpin suku berasal dari zaman dulu atau mereka adalah nama para pemimpin pada zaman sesudah pembuangan. Karena sebagian nama-nama, muncul kembali dalam 1Taw. 6:12, 7:26,12:3 dan 10,15:24,24:6 serta 2Taw. 11:18,17:8,35:9

Tanggapan JJ
Perlu diketahui proses penulisan Taurat berlangsung cukup lama, bisa mencapai sekitar 40 tahun saat Musa bersama bangsa Israel di padang gurun. Dalam Babylon Talmud, disebutkan tentang proses pencatatan Taurat, beberapa kisah dicatat terpisah (small scroll) dalam kurun waktu tersebut, kemudian disatukan dalam satu tulisan oleh Musa dibantu Yosua. Dalam proses pencatatan ini Musa dibantu oleh abdinya Yosua yang juga bisa menulis. Yosua melengkapi bagian penutup Taurat dengan menambahkan kisah kematian Musa. Maka dalam kurun waktu yang cukup panjang tersebut, detail angka bisa diingat & dicatat, bahkan bisa langsung diverifikasi saat itu oleh Musa. 

Masalah lain seperti tentang Bileam, ketidakjelasan dosa dan lain-lain, saya kira perlu pembahasan tersendiri. Mengenai penyebutan Keni dan keterangan geografis lainnya, beberapa nama tempat atau bangsa dalam Alkitab semula tidak diketahui pembandingnya namun seiring perkembangan arkeologi akhirnya terkonfirmasi keberadaannya. Sebagai contoh tentang bangsa Het, dahulu para liberal scholar mempertanyakannya karena tdak ada catatan dalam dokumen kuno lainnya. Tetapi akhirnya ditemukan inskripsi yang menyebutkan tentang bangsa Het tersebut. Mengenai adanya kesamaan nama-nama orang dalam Taurat dan kitab sesudahnya, juga bukanlah masalah, karena penyebutan nama-nama yang sama untuk pribadi yang berbeda adalah hal yang lumrah.

Klaim FR
5. KITAB ULANGAN. Kitab Ulangan merupakan salah satu kitab yang paling penting dan berpengaruh diantara kitab-kitab Ibrani lainnya. Kitab ini menyajikan pandangan teologis yang mempengaruhi Nabi-nabi terdahulu (Yosua,Hakim-hakim,Samuel dan Raja-raja), yang dikenal dengan Deuteronomis Israel (kata ini dipakai untuk mencakup tulisan PL yang ada hubungannya dengan Kitab Ulangan). Kelompok Deuteronomis bukanlah sejarawan, mereka menyimpan, meneruskan, dan menafsirkan kembali tradisi kuno, serta menyajikan kepada umat Israel pedoman bagi masa depan mereka pada waktu masa depan sangat diragukan. Siapakah kaum deuteronomis? Dari kalangan manakah mereka berasal? Banyak jawaban atas pertanyaan tersebut, seperti : - Para Nabi. Dianggap bertanggung jawab atas kitab ini, karena pada suatu saat segala sesuatu dari Alkitab Ibrani yang bercirikan etik dan teologis dianggap berasal dari lingkungan para Nabi. Meskipun, Kitab Ulangan ini tidaklah memperlakukan para Nabi dengan baik (18:9-22). - Khotbah para Lewi. Sebenarnya tidak ada contoh khotbaj Lewi, maka tidak mungkin mengatakan bahwa Kitab Ulangan adalah hasil dari kegiatan semacam itu. Walaupun kitab ini secara konsisten, menggambarkan kaum Lewi sebagai objek dari belas kasihan, suatu potret diri yang tidak baikm - Para Bijak Israel. Tetapi mereka tidak pernah muncul, dalam kitab yang mengandaikan bahwa merekalah yang menyusun dan menerbitkan kitab ini bagi Israel sebagai pola hidup mereka. - Para Penatua Di Israel. Mereka adalah pemimpin masyarakat yang menjadi pengelola tradisional atas peraturan-peraturan yang terdapat dalam Ulangan. Seperti halnya kitab lain, kitab Ulangan mengalami berbagai masalah pada narasinya, misalnya : adanya sisipan pada 10:6-9, adanya pertentangan ayat 24:16 dengan 5:9

Tanggapan JJ
Tidak ada point argumentasi signifikan dari uraian di atas, hanya berupa statement dan kesimpulan yang tidak didukung argumentasi dan bukti yang kuat. Masalah “sisipan” dan "kontradiksi" ayat ini perlu dibahas tersendiri. Karena titik berat kajian ini seputar kajian sejarah dikolaborasi dengan data internal dalam Alkitab serta data extrabiblikal seperti referensi dari inskripsi kuno. FR hanya sekedar menyalin pendapat para liberal scholar tersebut. Kitab Ulangan sifatnya berupa ringkasan atau pengulangan point-point yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnnya dan menunjukan sebuah kesatuan yang utuh dengan kitab-kitab sebelumnya.

Klaim FR
Jika Musa adalah penulis pentateukh, yang dalam penulisannya mendapatkan bimbingan dari Tuhan, maka yang perlu kita perhatikan dan menjadi acuan dasarnya adalah kita tidak akan menemukan adanya kontradiksi dan sisipan atas apa yang ditulis oleh Musa. Sebab mustahil bagi seorang Nabi seperti Musa, menuliskan berbagai keterangan di dalamnya (yang didapat atas bimbingan Tuhan), tetapi pada narasi yang ada, kenyataannya terdapat kontradiksi dan sisipan. Dan jika didalam Pentateukh terdapat berbagai kontradiksi dan sisipan yang diakui oleh para penafsir Alkitab, apakah layak jika Pentateukh tersebut ditulis oleh Musa, yang sejatinya dalam tindak tanduknya selalu mendapatkan bimbingan dari Tuhan-nya ?

Tanggapan JJ
Munculnya anggapan adanya "kontradiksi" dan "sisipan" lebih banyak didasarkan karena ketidakmengertian konteks dari teks-teks tersebut, serta tidak memahami gaya sastra dalam penulisan Alkitab. Dalam Quran pun banyak ditemukan teks-teks yang juga diduga kontradiksi & ayat-ayat yang tidak masuk akal, tentu para apologet Islam akan mencoba menjawabnya. Apakah dengan adanya "kontradiksi" seperti ini lalu serta merta bisa disimpulkan bahwa kitab tersebut tidak asli lagi? Saya telah memberi jawaban ringkas terhadap beberapa teks yang dianggap kontradiksi dan sisipan oleh FR, hal ini menunjukan bahwa masalah ini bukanlah hal signifikan untuk membuktikan Musa bukan penulis Taurat. Justru dari kajian komprehensif menunjukan sebaliknya bahwa Musa-lah penulis Taurat.

Penutup
Bukti-bukti bahwa Musa sebagai penulis Taurat, telah disebutkan dalam Taurat sendiri dan kitab-kitab selanjutnya seperti kitab Yosua, Raja-raja, Tawarikh, Ezra, Nehemia & Daniel. Serta diteguhkan kembali oleh Yesus sebagaimana tercatat dalam Injil dan pernyataan para rasul. Demikian pula melalui oral tradition bangsa Yahudi yang kemudian dikompilasi ke dalam Misnah & Gemarah (Talmud), Midrah serta penulis Yahudi kuno Joshepus & Philo, semuanya menyebutkan Musa sebagai penulis Taurat. Demikian pula dengan bukti eksternal, dimana Taurat berisi berbagai detail seperti data geografis, kondisi alam, jenis binatang dan sebagainya yang bersesuai dengan konteks Mesir & semenanjung Sinai pada masa Musa sebagaimana hasil kajian arkeologi. Jika diuraikan semuanya, akan menghasilkan uraian yang sangat panjang.

Sebelum saya menutup tulisan ini, saya perlu mengajukan 3 (tiga) tantangan untuk FR:
1. Silahkan tunjukan bukti manuscript berupa codex atau fragment/papyrus untuk eksistensi para penulis JEDP tersebut, seperti manuscript J, Manuscript E dll
2. Silahkan ajukan referensi dari dokumen extrabiblikal seperti Talmud, Joshepus, Philo dll yang menyebut eksistensi tentang penulis Elohist, penulis Yahwist dll
3. Jika Taurat saat ini bukan ditulis oleh Musa tetapi oleh penulis JEDP tersebut, maka silahkan tunjukan manuscript Taurat yang asli yang diberikan kepada Musa sebagaimana dinyatakan oleh Quran.

Shallom..
Share: