Kitab Perjanjian Baru yang Disembunyikan?

Beberapa orang beranggapan bahwa proses kanonisasi Perjanjian Baru dilakukan oleh para bapa gereja dengan cara memilih kitab-kitab yang cocok dengan teologi gereja diantara banyak kitab-kitab yang tersedia. Kemudian kitab yang tidak terpilih itu disembunyikan atau disebut injil apokrif. Mereka juga menyajikan "bukti" mengenai beberapa kitab dalam kanon PB yang nanti dipilih beberapa waktu kemudian dengan kesan sebagai pengumpulan kitab tahap 2. Bagaimana kita menanggapi pemahaman ini.

Pemahaman ini keliru karena kurang memahami sejarah kanonisasi Perjanjian Baru secara komprehensif, tetapi hanya mengambil beberapa data secara parsial yang ditafsir menurut perspektif yang dibangun atas asumsi kitab Perjanjian Baru tidak asli lagi. Kekeliruan mendasar yaitu tidak memperhatikan data manuscript & referensi extra biblikal yang memberi petunjuk kuat waktu penulisan Injil kanonik & kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Baru pada abad pertama masih di era hidup para saksi mata. Berbeda dengan injil apokrif yang nanti ditulis mulai abad ke-2 setelah matinya para rasul dan saksi-saksi mata. Berbagai scholar dari berbagai spektrum teologis termasuk liberal scholars dewasa ini mayoritas menempat waktu penulisan PB pada abad ke-1 & bahkan banyak scholar menempatkannya sebelum peristiwa hancurnya Yerusalem (70M).

Para polemikus masih mengacu pada data lama sekitar abad 19 yang dimotori kelompok Tubingen (Bauer dkk) yang menempatkannya waktu penulisannya sekitar thn 200-an. Namun pandangan ini sdh banyak ditinggalkan scholars seiring dgn penemuan arkeologi berupa manuscript2 PB, tulisan bapa2 gereja & sejarawan kuno serta artefak2 arkeologi yang cenderung mendukung penanggalan penulisan PB pada abad pertama. Sebagai contoh manuscript P52 yg berisi fragmen Injil Yohanes oleh papyrologist seperti disebutkan Barbara & Kurt Alland tanggalnya pada sekitar tahun 125M yang merupakan bagian dari family of alexandrian text. Salinan itu ditemukan di Mesir yang jaraknya cukup jauh dengan Efesus yang menurut para ahli tempat rasul Yohanes menuliskan injil Yohanes, sehingga kemungkinan yang sangat kuat bahwa autografnya sudah ada jauh sebelumnya. Demikian juga dengan manuscript P66, P72, P75 dll bertgl 150-200an yg berisi berbagai kutipan dlm Injil kanonik & surat/kitab PB. Serta didukung oleh referensi tulisan bapa gereja, sejarah gereja dan artefak arkeologis lainnya.

Hal Ini sangat berbeda dgn manuscript2 injil Apokrif yg nanti muncul abad2 berikutnya seperti dlm dokumen2 Nag Hammadi. Dr penelusuran sejarah, injil apokrif2 nanti muncul pd abad ke-2 dan abad selanjutnya. So asumsi bhw bapa2 gereja memilih2 kitab2 yg ada tidaklah valid, karena injil kanonik telah ada sebelumnya & telah diterima oleh jemaat mula2 dan kemudian diteguhkan dalam konsili2 seperti Konsili Laodekia, Hippo, Kartage dll, Para bapa gereja seperti Athanasius telah menyusun daftar kitab-kitab itu yang telah mereka kenal dan gunakan. Semuanya sepakat memasukan keempat injil kanonik dan kitab-kitab lainnya.

Beberapa kitab memang dipertanyakan pada masa itu sebelum masuk daftar kanon penuh, lengkapnya: Wahyu, Yakobus, Yudas, Ibrani, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes. Mari kita lihat pendapat Bruce Metzger seorang ahli Textual Criticism & pakar ttg Kanon PB yg menulis buku teks standard Textual Criticism: Metzger, Bruce M. The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance. Clarendon Press. Oxford. 1987. Saat diwawancara Lee Strobel (The Case for Christ) & ditanyakan ttg kitab-kitab yang terlambat masuk dalam daftar kanon PB, Metzger menyatakan bahwa hal ini menunjukan betapa hati-hatinya gereja mula-mula, mereka tdk langsung begitu saja menerima kitab-kitab tersebut tetapi memastikannya dengan teliti.

Jika kita telusuri konteks sejarahnya, pada abad ke-1, mula-mula gereja-gereja setempat mendapatkan/menyalin kitab yang ada pada mereka. Proses ini terus berjalan seiring dengan proses pertukaran kitab & surat. Keempat Injil kanonik & beberapa surat PB dengan cepat tersirkulasi sehingga semakin lama gereja-gereja setempat memiliki semakin banyak kitab/surat dari daftar kitab PB. Namun ke-7 kitab yang dipertanyakan itu berjalan agak lambat, beberapa gereja setempat/bapa-bapa gereja telah menerimanya namun lainnya masih mempertimbangkannya. Mereka sangat hati-hati karena adanya pola pseudonimity yang terjadi pada masa-masa itu terutama mulai abad ke-2 yaitu orang-orang tertentu menulis sebuah kitab religius dan menyematkan nama-nama tokoh alkitab sebagai nama kitab karangan mereka. Pola ini sudah terjadi di era intertestamental dengan munculnya pseudographa seperti The Testament of Abraham etc.

Kehati-hatian gereja menerima ke-7 kitab tersebut memang beralasan, jika dikaji lebih lanjut ada sedikit perbedan dalam proses kanonisasi antara Timur (Tatian, Clement, Origen etc..) & Barat (Justin Martin, Ireneus, Tertulian etc..). Namun yang terjadi berikutnya adalah pola saling melengkapi daftar kanon sehingga pada akhirnya ke tujuh kitab tersebt diterima secara universal dalam konsili-konsili seperti konsili Laodekia, Hippo & Kartage. So.. dari uraian ini masalah ketujuh kitab yang terlambat diterima secara penuh/universal, hanya masalah kehati-hatian semata, namun pada esensinya kitab-kitab itu berotoritas dan berasal dari era para rasul.

Point paling penting dari masalah ini bahwa semua bapa gereja telah menerima keempat Injil Kanonik dan itu masuk dalam daftar kitab-kitab yang mereka ketahui. Maka tuduhan bahwa Perjanjian Baru telah dipalsukan yang hanya mengacu pada alasan mengenai 7 (tujuh) kitab yang banyak dibahas gereja sebelum masuk dalam daftar kanon PB, jelas hal ini tidaklah substansial. Karena kisah tentang Yesus, pengajaranNya dan peristiwa kematian, kebangkitan & kenaikanNya jelas telah ada dalam keempat injil kanonik.
Share:

Injil yang Lain - Yesus yang Lain

Gal 1:6 Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain,

Gal 1:7 yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus.

2 Kor 11:4 Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima.

Kehadiran para bidat telah ada sejak masa awal kekristenan berkembang di abad pertama. Menariknya mereka telah eksis bahkan saat kitab Injil dan tulisan-tulisan Perjanjian Baru sementara ditulis dan para rasul masih hidup. Keberadaan mereka salah satunya ditulis dalam kitab Galatia yg tujuan kitab ini orang-orang percaya di provinsi Galatia seperti di Ikonium, Listra, Derbe dll. Paulus sangat keras menentang pengajaran ini yang mengharuskan orang-orang percaya menjalankan Taurat agar selamat. Pemahaman mereka keselamatan tidak cukup hanya karena kasih karunia Kristus.

Selain di Galatia, ajaran ini berkembang di Antiokhia tempat pertama kali orang-orang percaya disebut Kristen (Kis 15:1). Para pengajarnya berasal dari Yudea yg mencakup Yerusalem yg justru adalah pusat lahirnya gerakan kekristenan awal pasca peristiwa Pentakosta. Permasalahan ini akhirnya mencuat setelah Paulus & Barnabas keras menolak mereka, terjadi perdebatan dan kemudian disepakati utk dibicarakan di Yerusalem bersama para rasul.

Pada masa itu, kekristenan belum melembaga seperti kekristenan di masa berikut dengan sistem organisasi & pengajarannya. Namun masih berupa sebuah kegerakan orang-orang percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dan mereka adalah orang-orang Yahudi. Kemudian seiring waktu muncullah masalah dan perbedaan pemahaman diantara orang percaya. Salah satu yang serius yaitu ajaran yg menyatakan bahwa orang percaya harus juga menjalankan Taurat agar selamat. Permasalahan ini kemudian dibahas para rasul di Yerusalem yang dikenal dengan nama Sidang Yerusalem.

Dalam sidang itu, keputusan diambil sebagaimana disuarakan oleh rasul Petrus tegas menyatakan keselamatan hanya karena kasih karunia Kristus yang artinya meneguhkan apa yg diajarkan Paulus. Namun ironisnya ratusan atau ribuan tahun kemudian Paulus diposisikan sebagai kambing hitam dituduh sebagai penyesat kekristenan oleh para polemikus yang tidak paham sejarah secara utuh.

Setelah ajaran bermasalah Injil/Yesus yg lain muncul dari dalam kekristenan dalam konteks yudaisme pada masa itu dan kemudian ditentang keras oleh Paulus dalam tulisannya (kitab Galatia). Selanjutnya Injil/Yesus yg lain muncul dari pengaruh luar yaitu paham gnostisisme yaitu ajaran docetime yang oleh scholar Ben Witherington disebut sebagai proto gnostik. Ajaran ini ditentang keras oleh rasul Yohanes dalam suratnya
1 Yoh 4:2 Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah
Penolakan ini juga digemakan oleh muridnya yaitu Ignatius seperti dalam suratnya letter to the Smyrnaeans, 7:1, di tahun 110 M.
They abstain from the Eucharist and from prayer, because they confess not the Eucharist to be the flesh of our Saviour Jesus Christ, which suffered for our sins, and which the Father, of His goodness, raised up again.

Jika kita cermati data sejarah, bidat yang muncul di abad pertama sangat kurang, karena masih adanya para rasul yang keras menolak ajaran-ajaran sesat itu. Nanti setelah matinya para rasul ajaran para bidat mulai banyak berkembang seiring dengan semakin banyaknya orang yg menjadi Kristen dan mencakup wilayah yg luas sampai ke Roma. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan injil-injil apokrif seperti injil Petrus, injil Thomas dll. Tetapi jangan salah kaprah menempatkan injil "palsu" Barnabas yg banyak beredar di era modern ini diantara injil apokrif karena itu produk abad pertengahan awal. Masalah ini sdh berulang-ulang dijelaskan tetapi pihak polemikus seperti Menachem Ali terus mengulang-ulang point ini.

Jika kita kembali melihat konteks penyebutan injil yg lain atau Yesus yg lain oleh Paulus & para rasul, maka kita bisa mengidentifikasi karakteristiknya yaitu ajaran yg menolak keutamaan Yesus sebagai sumber keselamatan satu-satunya artinya tidak ada manusia lain, baik yg mengaku atau diakui sebagai nabi yg bisa menyelamatkan. Sebagaimana ditegaskan juga oleh rasul Petrus.
Kis 4:12 Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan."

Injil/Yesus yg lain juga dimaksud mereka yg beranggapan keselamatan melalui Yesus tidak cukup tetapi harus ditambah dengan upaya lain seperti harus menjalankan Taurat. Selain itu mereka yang menolak natur Yesus secara utuh sebagai Tuhan dan manusia juga dikategorikan Injil/Yesus yg lain. Ajaran docetisme hanya menerima natur ilahi Yesus yg dipahami secara gnostik dan menolak kemanusiaanNya, ini dikategorikan sebagai injil/Yesus yg lain, sudah tentu mereka yg sebaliknya hanya menerima aspek kemanusian Yesus dan menolak keilahiannya juga bisa dikategorikan injil/Yesus yg lain. Yudas 1:4 ... dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita, Yesus Kristus.

Perlu diluruskan pemahaman yg keliru bahwa Injil yg lain yg dimaksud Paulus dianggap berbicara tentang "kitab" padahal yang dimaksud adalah ajaran yg salah. Nanti kemudian pada abad ke-2 dan selanjutnya berbagai ajaran para bidat itu kemudian ditulis dalam kitab-kitab yg dikenal sebagai injil apokrif. Menachem Ali mencoba mengacaukan hal ini, dengan mempersoalkan masalah kanonisasi Perjanjian Baru yang point utamanya beranggapan bahwa injil kanonik dianggap tidak berbeda atau setara dengan injil apokrif lainnya, bahkan mencoba menekankan beberapa aspek dalam injil apokrif tertentu diatas injil kanonik, termasuk mengungkit masalah injil "palsu" Barnabas. Selain itu banyak polemikus muslim beranggapan Yesus telah menerima kitab injil yg kemudian "injil" ini yang dikabarkan oleh Yesus.

Masalah seputar kanonisasi Perjanjian Baru ini akan dibahas berikutnya. Tulisan ini sifatnya sebagai pengantar agar kita memahami konteks penyebutan Injil/Yesus yg lain, untuk selanjutnya jadi acuan kita menilai pengajaran Injil/Yesus yg lain yang berkembang pada masa-masa berikutnya.
Share:

Menjawab Klaim: Bible pun tidak "selevel" Hadits

Tulisan ini merupakan tanggapan atas pernyataan seorang muslim bernama Elia Hanafi di Facebook tahun 2019. Beliau mencoba menilai Bible dari perspektif teologi Islam dengan membandingkannya dengan Hadits. Elia menyajikan keunggulan Hadits berdasarkan jalur periwayatannya (chain of transmission) yang ketat kemudian menilai Bible dengan standard tersebut. Hasilnya seluruh ayat Bible dianggapnya lemah (dhaif). Jika kita mencermati secara seksama maka kita bisa menemukan kelemahan mendasar dari argumentasinya. Kita akan mengulasnya secara ringkas dan untuk kajian lebih detail dapat berkembang dalam diskusi sub topik yang lebih spesifik.

Berikut kutipan lengkap atas tulisannya yang diberi judul Bible pun tidak "selevel" Hadits:

[[Nash nash yang terdapat pada hadits nabi di pastikan memiliki jalur periwayatan (chain transmision) yang sangat baik yang terconect/tersambung langsung pada "primary source" yaitu nabi muhamad Saw. jika sebuah hadits mendapati jalur riwayat "sanad" yang cacat maka status hadits menjadi lemah "dhaif" dan diantara beberapa "clasificated" antara lain adalah hadits mursal mudallas,mu'alaq. Mu'dhal dan hadits munqhati. Dalam tradisi kekristenan Mungkin saja Tak ada satupun nash yang terdapat di bible atau injil ini memiliki "chain transmision' yang terconect (tersambung) langsung dengan jesus atau"isa". jika saja metode hadits tersebut di pakai untuk "membongkar" injil, maka seluruh ayat bible termasuk dlm kategori dhaif. Semua masuk dalam klasifikasi yang disebut

Munqhati atau jalur nya terputus. Yang kedua Periwayat penulis penulis tsb tidak di ketahui "unknow"(majhul ). yang ketiga ketidakjelasan "sumber" nya (unknow).
Karena, Selain sanad harus tersambung tanpa putus. Nama nama periwayat "rowi" harus lah orang yang sangat terpercya "tsiqah". dan jika dalam nama periwayat ada yang cacat moral maka status berubah menjadi dhaif automaticly.

Saya tak melihat ada satu pun nash dalam injil yang memiliki persyaratan yang di sebuntukan di atas yang tersambung langsung pada jesus "isa. Dan 4 penulis dalam injil mathew mark luk dan jhon SEMUA bukan murid (hawariyun) jesus.
Dan sekali lagi jika kita di telaah singkat pada kaca mata (metode) yang di pakai hadits. Maka jelas injil berstatus "Dhaif" Terputus jalur. yang tulis siapa kita tak pernah tau dan asal usul nya pun tidak jelas. Thanks]]]]
Tulisan Elia Hanafi ini memang terkesan meyakinkan bagi mereka yang tidak paham perbandingan Bible & Hadits termasuk Quran secara komprehensif. Sebelum kita membahas point-pointnya terlebih dahulu kita bahas definisi dari objek yang dibandingkan tersebut.

Dalam sistem teologi Islam, Quran merupakan kumpulan dari firman Allah yang diwahyukan Allah ke Muhammad melalui perantaraan malaikat Jibril. Quran umumnya berisi perkataan Allah secara verbatim (kata demi kata) dan sangat sedikit narasi sejarah yang menyertai perkataan Allah tsb. Adapun narasi tentang kehidupan Muhammad sendiri termasuk peristiwa penerimaan wahyu tercatat dalam hadits. Maka untuk mengetahui sebab-sebab turunnya ayat dalam Quran (asbabun nuzul) rujukannya ke hadits.

Dalam PL atau Tanakh (versi Judaism) berbagai perkataan atau firman Allah tercatat dalam kitab yang juga berisi narasi peristiwa hadirnya perkataan Allah itu yang disampaikan melalui para Nabi seperti Musa, Yesaya dll termasuk catan kehidupan para nabi itu sendiri. Berbeda dengan PB khususnya Injil, karena tidak ada catatan firman Allah secara verbatim. Yesus tidak pernah mengatakan beginilah firman Allah "bla.. bla ..." melainkan apa yang dikatakanNya itulah firman Allah tanpa harus lewat perantara seperti para nabi dalam PL (Ibr 1:1-2) karena Dia adalah Firman yang menjadi manusia (Yoh 1:1,14). Dari perspektif Kristen, Yesus tidak diberikan Injil sebagaimana dikatakan Quran (QS Maryam 19:30) dan kata "Injil" yang disampaikan Yesus (Mrk 1:15, Mat 24:14) bukan merujuk pada sebuah kitab (Injil) sebagaimana didalilkan polemikus muslim melainkan berita kabar baik (Euangelion).

Dalam Injil tercatat kehidupan (biografi) Yesus secara kronologis mulai dari kelahiran, awal pelayanan sampai pada kematian, kebangkitan dan kenaikanNya. Model pencatatan secara kronologis seperti ini tidak ada dalam Quran & Hadits2 shahih kecuali dalam kitab Sirah Nabawiyah berupa hadith biografi Muhammad yang ditulis Ibn Ishaq. Adapun kitab lain dalam PB selain Injil kanonik terdiri atas surat-surat para rasul seperti Paulus, Petrus, Yohanes dll. Surat-surat para rasul ini bisa dibandingkan dengan pengajaran atau pendapat para sahabat nabi Muhammad yang tercatat dalam Hadits.

Berdasarkan uriaan ini, perbandingan secara komposisi isi tulisan: Bible PL = Quran plus Hadith; dan Bible PB = Quran plus Hadith Plus Sirah Nabawiyah.

Sekarang kita bahas proses & waktu penulisannya

Setelah berakhirnya perang Yamamah, Umar bin Khathab mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar untuk dilakukan pembukuan (kodifikasi) Quran karena kekhawatirannya banyaknya penghafal Quran yang mati dalam perang. Kemudian ditunjuklah Zaid bin Tsabit untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan Quran. Proses itu berlangsung sampai pada masa khalifah Uthman bin Affan dengan satu mushaf Quran yang standard dan berbagai versi Quran tdk standard diperintahkan Uthman untuk dimusnahkan. Waktu penulisan atau kodifikasi dilakukan setelah wafatnya Muhammad di thn 832 dan versi standard yang belum ada tanda bacanya telah ada pada abad ke-7 masih dlm abad yang sama dengan keberadaan Muhammad atau puluhan tahun setelah wafatnya Muhammad.

Namun berbeda dengan Hadith yang dikumpulkan dan ditulis nanti pada abad ke-9 yaitu Bukhari (194/255 H/810/869 M), Muslim (204/261 H/819/875M), Tirmidzi (209/279 H/824/892 M), Nasa’i (214/303 H/829/915 M), Abu Dawud (203/275 H/818/888 M) dan Ibnu Majah (209/295 H/824/908 M). Jarak antara penulisan Hadits dengan masa kehidupan Muhammad sekitar 200an tahun. Masih lebih dekat Sirah Nabawiyah yang ditulis Ibn Ishaq (85/150-159 H 704/761-770 M) yang berada di abad ke-8.

Bagaimana dengan Bible?
Untuk Bible PB yang terdiri atas keempat injil kanonik serta kitab & surat lainnya ditulis pada abad pertama yang jaraknya puluhan tahun sejak kenaikann Yesus ke surga pada sekitar tahun 30an. Dari segi waktu penulisan Bible PB mirip dengan penulisan Quran yaitu ditulis pada saat para saksi mata masih hidup. Menurut catatan sejarah penulis injil kanonik hanya empat orang yang merupakan bagian dari 12 murid Yesus (Matius & Yohanes) dan murid-murid lainnya yaitu Markus berdasarkan Petrus dan Lukas berdasarkan informasi langsung dari para murid & dari kitab sebelumnya (Injil Markus & Matius). Hal ini bisa disejajarkan dengan Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas, serta Zaid bin Tsabit dalam pencatatan Quran. Zaid bin Tsabit paling cocok jika disandingkan dengan Lukas karena keduanya melakukan kompilasi atas kitab/musbhaf sebelumnya disamping informasi lain yang didapatkanya.

Namun perbedaannya, dalam kekristenan awal tidak ada otoritas tunggal yang melakukan standarisasi antar kitab2 injil kanonik yang ditulis pd abad ke-1 tsb. Berbeda dengan standarisasi Quran yang dilakukan khafilah Uthman bin Affan yaitu mushaf Quran yang disusun Tsaid bin Tsabit. Sedangkan versi lainnya termasuk mushaf versi Ubay bin Kaab, Abdullah bin Mas'ud dll dimusnahkan. Catatan lengkap berbagai versi Quran yang ada pada masa itu bisa dilihat dalam buku Fihrist yang ditulis sejarawan Arab Al-Nadim. Beberapa kutipan teks dari versi Quran itu tercatat dalam Kitab Al Masahif tulisan Ibn Abi Dawud.

Untuk Bible PB, pada abad awal di beberapa jemaat di berbagai wilayah belum memiliki salinan yang lengkap keempat injil kanonik dan surat2 lainnya dlm PB. Namun seiring waktu proses sirkulasi terjadi sehingga koleksi jemaata & para bapa gereja semakin banyak sebagaimana ditunjukan daftar kitab PB yang telah dikenal bapa2 gereja seperti justin martir, ireneus dll yang umumnya telah mengenal & menerima keempat injil kanonik. Berbagai injil apokrif seperti injil Thomas, injil Petrus dll nanti muncul mulai abad ke-2 s/d 4 yaitu setelah matinya para saksi mata. Para bapa gereja telah mengenal hal ini, sehinggal injil apokrif ini tdk masuk dlm daftar kanon PB. Namun demikian tidak ada perintah untuk memusnahkan injil apokrif ini dan injil2 apokrif ini sampai saat ini salinannya masih ada.

Sekarang kita masuk pada inti pembahasan tentang hadits. Elia Hanafi begitu mengunggulkan sistem periwayatan Hadits melalui Isnad (chain of transmission). Namun setelah kita melihat jarak antara masa hidup Muhammad dengan proses kompilasi dan pembukuan hadith ini yang jaraknya 200an tahun dibandingkan dengan Bible khususnya PB yang hanya puluhan tahun atau pada masa para saksi mata masih hidup, maka point "Isnad" yang diajukan Elia Hanafi menjadi tidak relevan. Point "Isnad" ini mengacu pada Oral Tradition yang juga ada dalam budaya Israel. Namun dlm penulisan injil kanonik dan kitab/surat lainnya ditulis oleh para saksi mata langsung, kecuali Markus berdasarkan kesaksian Petrus dan Lukas dari para murid. Penulisan kitab PB yang mengacu pada Oral Tradition jelas masih dekat dengan lingkaran saksi mata seperti kata Paulus dlm 1 Kor 15 "... telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri...", tidak seperti hadith yang berdasarkan informasi dari a, a dari b, b dari c dst.

Kita analogikan dengan ilustrasi permainan telepon-teleponan, pesan dari pengirim awal bisa berbeda dengan penerima akhir karena terjadi distorsi diantara beberapa orang perantara. Hal ini bisa terjadi dengan hadith buktinya ada begitu banyak hadits yang dikategorikan dhoif. Misalnya hadits shahif Bukhari, dari 600.000 hadist, Bukhari hanya memilih sekitar 2.761 hadits. Demikian juga hadits shahih Muslim hanya 4.000 dari 300.000 dan hadits shahih lainnya. Silahkan dikoreksi kalau datanya keliru. Salah satu indikator hadits shahih yaitu periwatnya yang dpt dipercaya, lalu bagaimana seandainya keterangan ttg profil dr periwayat itu tdk valid atau justru dari data yang sedang dibuktikan keshahihannya, ini menjadi circular reasoning. Selain itu hadith biografi Muhammad oleh Ibn Ishaq yang lebih awal dibanding hadits shahih seperti Bukhari dll, justru dalam detail dipertanyakan dalam hadits-hadist sahih tsb. Bukannya beberapa detail dalam Sirah Nabawiyah itu problematik dengan data sejarah lainnya.

Berdasarkan hal ini maka point Isnad dalam hadith untuk memeriksa shahih tidaknya sebuah hadith dari ribuan detail hadith yang ada, tidak relevan diterapkan ke Bible PB. Karena proses kompilasi Bible PB telah terjadi pada abad pertama oleh para saksi. Kalau begitu apa yang menjadi dasar menyatakan Bible PB yang ditulis pd abad ke-1 itu tetap sama pada abad berikutnya bahkan sampai saat ini? Jawabannya Manuscript PB & tulisan bapa2 gereja! yaitu bertumpu pada written tradition dibanding oral tradition.

Share: