Fakta kematian Yesus memiliki dasar pembuktian yang sangat kuat, baik dari data biblikal maupun extra biblikal. Namun fakta ini ditolak oleh Quran yang muncul sekitar 600 tahun kemudian setelah peristiwa penyaliban & kematian Yesus. Kesarjanaan modern dari berbagai spektrum teologis dari konservatif sampai liberal tidak ada yang menolak salah satu fakta mendasar ini, bahwa Yesus memang telah disalibkan & mati. Bahkan scholar yang dikenal liberal, agnostic & atheis seperti John Dominic Crossan, Bart Ehrman & Gerd Ludemann tidak ada yang berpendapat bukan Yesus yg disalib atau Yesus tidak mati disalib. Namun para sarjana Islam tetap bertahan melawan pendapat mayoritas scholar ini dengan tetap meyakini bahwa Yesus tidak mati sesuai apa yang dinyatakan Quran.
Muncul pertanyaan berkaitan dengan konteks sejarah dari pernyataan Quran tersebut, apakah pernyataan ini memiliki kaitan dengan data sejarah sebelumnya? Atau pernyataan yang benar-benar baru? Sebelum menganalisisnya kita lihat dulu teks Quran yang berbicara tentang hal ini serta melakukan survey terhadap berbagai pendapat para sarjana & ulama Islam dari masa ke masa.
Teks yang menjadi acuan yaitu QS An Nisaa 4:157.
Sarjana Islam awal yang diketahui memegang substution theory ini yaitu al-Kalbi (763M) dan sejarawan Islam awal Ibn Ishaq (767M) yang juga menulis biografi Muhammad yang pertama. Selanjutnya ahli tafsir Islam awal yang terkenal Al-Tabari (923M) kemudian sarjana Islam lainnya seperti Abd Al-Jabbar (1025M), Al-Baydawi (1286M), Ibn Kathir (1373M), Al-Suyuti (1505M) dll. Namun mengenai siapa "orang pengganti" tersebut terdapat banyak variasi pendapat. Ada yang menyatakan bahwa dia salah satu murid Yesus dan ada juga menyatakan dia salah satu orang Yahudi yang menangkap Yesus. Ada yang menyebutkan nama orang itu Yudas dan ada beberapa nama lainnya seperti Natyanus (al-Kalbi), Tatanus (Al-Baydawi), Serjes (Ibn Ishaq).
Namun ahli tafsir lainnya mengkritisi substitution theory dengan mengajukan dual sphere/figurative docetism theory seperti Ja'far Ibn Muhammad Al-Sadiq (750M), Al-Sijistani (971M) & Abu Al-Futuh al-Razi (1131M). Theory ini beranggapan bahwa tubuh fisik Yesus yang disalib tetapi jiwanya tidak disalib sehingga tidak ada "orang pengganti" dalam peristiwa penyaliban Yesus. Dari data sejarah tafsir Islam sejak lahirnya Islam sampai abad pertengahan, belum ada data tentang sarjana Islam yang memegang swoon theory, nanti pada abad belakangan mulai banyak sarjana Islam terutama para apologet Islam yang memegang teori ini seperti Ahmed Deedat orator Islam yang terkenal. Termasuk Irena Handono yang menuliskan buku khusus tentang hal ini.
Dari penelusuran berbagai data biblikal, non biblikal & extra biblikal pra Islam ditemukan hanya beberapa dokumen sejarah saja yang memiliki kaitan dengan substitution & figurativ docetism theory namun sama sekali tidak ada petunjuk mengenai swoon theory. Data sejarah tersebut bagian dari injil apokrif & dokumen-dokumen gnostik pada abad ke-2 s/d 5 yaitu The Second Treatise of the Great Seth & Apocalypse of Peter serta pengajaran dari Basilides & Cerinthus sebagaimana ditulis oleh Ireneus (Adv. haer). Sedangkan data awal untuk swoon theory kita bisa mengaitkannya dengan ide tentang teori pingsan yang pertama kali dimunculkan oleh Venturini pada sekitar abad ke-17.
Menurut Ireneus (Adv. haer. 1.24.4), the gnostic Basilides mengajarkan bahwa Yesus tidak menderita melainkan orang lain yang mengantikan dia disalib yaitu Simon dari Kirene “Rather a certain Simon of Cyrene was compelled to bear his cross for him … and through ignorance and error it was he who was crucified.”. Sedangkan Cerintus menurut Ireneus ((Adv. haer. 1.26.1), Cerintus memiliki pemahaman adanya perbedaan antara Yesus duniawi (the earthly Jesus) dengan Kristus sorgawi (the heavenly Christ). Sehingga yang disalib adalah Yesus duniawi tetapi Kristus sorgawai tidaklah mati “in the end Christ withdrew again from Jesus—Jesus suffered and rose again, while Christ remained impassible inasmuch as he was a spiritual being.”.
Dalam the Apocalypse of Peter (VII.81.7–25) salah satu dokumen gnostik dari Nag Hammadi Library, kita bisa membaca bahwa menurut dokumen ini Petrus melihat ada dua figur yang terlibat dalam penyaliban. Salah seorang mengalami penyiksaan dengan dipaku kaki & tangannya dan orang yang lainnya melihatnya dari atas pohon sambil tertawa melihat peristiwa itu berlangsung. “The Savior said to me, ‘The one whom you saw on the tree, happy and laughing, is the living Jesus; but the one into whose hands and feet they drive the nail is his fleshly part. It is the substitute being put to shame, the one who came to being in his likeness.’”.
Hal yang serupa juga dinyatakan dalam dokumen gnostik lainnya dalam The Second Treatise of the Great Seth (VII.51.20–52.3) “I visited a bodily dwelling. I cast out first the one who was in it, and I went in … He was an earthly man; but I, I am from above the heavens.”. Dalam dokumen ini, Yesus dianggap menolak menyatakan bahwa dia yang disalib melainkan orang lain yaitu Simon "..It was another, their father, who drank the gall and the vinegar; it was not I … It was another, Simon, who bore the cross on his shoulder” (VII.56.6–11).
Dari berbagai data ini, kita bisa melihat adanya pemahaman gnostik yang beranggapan bahwa Yesus tidak disalibkan melainkan orang lain. Pemahaman lainnya bahwa bukanlah Yesus sesungguhnya yang disalibkan melalui hanya tubuh duniawinya saja. Apakah ini mirip dengan pengajaran Quran? yah, untuk substitution theory mirip dengan orang pengganti seperti Simon berdasarkan pengajaran Basilides & The Second Treatise of the Great Seth dan untuk figurativ docetism mirip dengan pengajaran Cerintus & the Apocalypse of Peter. Mungkin karena adanya kemiripan ini sehingga Menachem Ali menyebut tentang The Second Treatise of the Great Seth dalam sebuah seminar saat membahas penyaliban Yesus. Jika kita membandingkan sejarah tafsir Islam atas persoalan ini, adanya kemiripan ini memiliki kaitan dengan pendapat para sarjana Islam awal yaitu substitution & figurativ docetism theory. Hal ini menunjukan juga bahwa swoon theory memang benar-benar pendapat baru yang tidak memiliki rujukan sejarah pada masa lahirnya Islam maupun masa pra Islam.
Namun masalah yang substansial, apakah keterangan tersebut merupakan fakta sejarah yang riil atau tidak. Pernyataan-pernyataan dari Basilides, Cerintus, the Apocalypse of Peter & The Second Treatise of the Great Seth jelas bukanlah fakta sejarah melainkan imajinasi dari para pengikut gnostik. Makanya sejak awal para bapa gereja seperti Ireneus dalam bukunya yang membahas ajaran sesat, telah membantah hal itu seperti pengajaran Basilides & Cerintus tersebut. Demikian pula dengan dokumen gnostik the Apocalypse of Peter & The Second Treatise of the Great Seth yang berisi sinkretisme antara kekristenan & gnostik. Bahkan dari antara dokumen-dokumen tersebut terdapat detail signifikan tertentu yang kontradiktif, seperti yang disalibkan orang lain vs tubuh duniawi Yesus.
Perlu diketahui bahwa munculnya injil apokrif & dokumen gnostik nanti banyak terjadi mulai abad ke-2 yaitu sejak meninggalnya generasi para rasul. Pada abad pertama, ajaran-ajaran dalam kekristenan belum banyak muncul karena masih ada para rasul yang langsung mengcounter ajaran tersebut seperti surat rasul Yohanes menanggapi ajaran docetism. Sejak meninggalnya para rasul, mulai banyak bermunculan pengajar sesat dan juga menuliskan ajaran-ajarannya tersebut yang dikategorikan sebagai injil apokrif. Salah satu motivasi penulisan injil apokrif ini yaitu ingin memasukan bahan-bahan yang tidak ada dalam injil kanonik khususnya kehidupan masa kecil Yesus. Selain itu memasukan pengajaran gnostik dipadukan secara sinkretistik dengan kekristenan seperti paham docetism.
Banyak orang yang tidak paham termasuk Menachem Ali yang mencoba mengambil beberapa bagian tertentu dari injil apokrif untuk menjustifikasi Islam. Justru pemahaman dari kalangan kekristenan gnostik ini lebih menekankan pada aspek keilahian Yesus. Namun kesesatan mereka, terletak pada pemahaman kristologi yang tidak seimbang karena mereka umumnya menolak kemanusiaan Yesus. Hal ini sudah ditanggapi oleh rasul Yohanes dalam suratnya. Makanya mereka menolak Yesus bisa mati karena dianggap Yesus hanya sepenuhnya ilahi. Sehingga sungguh ironi, jika Quran mengadopsi hal ini namun disisi lain menolak keilahian Yesus yang justru posisi Yesus begitu ditinggikan sebagai figur ilahi dalam dokumen-dokumen gnostik tersebut.
Menarik menyimak pendapat salah seorang scholar Raymond Brown dalam bukunya The death of the Messiah, Volume 1 and 2: From Gethsemane to the grave, a commentary on the Passion narratives in the four Gospels (1094). New York; London: Yale University Press. Brown menuliskan
Dari analisis historis ini kita bisa melihat bahwa anggapan bahwa Yesus tidak mati di kayu Salib, baik pendapat yang menyatakan bukan Yesus yang disalibkan tetapi orang lain maupun pendapat Yesus memang disalib tetapi tidak mati hanya pingsan, kesemua teori ini tidaklah memiliki dasar yang kuat. Rujukan sejarah yang ada dari substitution & figuratif docetisme theory justru membuktikan adanya pengaruh injil apokrif & dokumen gnostik terhadap Quran. Dan dokumen-dokumen itu seperti kisah tentang penyaliban bukan merupakan fakta sejarah melainkan imajinasi dari pengikut gnostik yang dianggap sebagai sebuah fakta sejarah dalam Quran.
Muncul pertanyaan berkaitan dengan konteks sejarah dari pernyataan Quran tersebut, apakah pernyataan ini memiliki kaitan dengan data sejarah sebelumnya? Atau pernyataan yang benar-benar baru? Sebelum menganalisisnya kita lihat dulu teks Quran yang berbicara tentang hal ini serta melakukan survey terhadap berbagai pendapat para sarjana & ulama Islam dari masa ke masa.
Teks yang menjadi acuan yaitu QS An Nisaa 4:157.
"dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa"Berdasarkan teks ini muncul teori substitusi (substitution theory) yang menyatakan bahwa bukan Yesus (Isa) yang disalibkan. Namun teori ini tidak terima beberapa sarjana Islam lainnya dengan tafsiran tersendiri atas teks tersebut, mereka berpendapat Yesus memang disalibkan tetapi tidak mati atau hanya pingsan, pendapat ini dikenal dengan nama teori pingsan (swoon theory). Masih ada teori lain namun kurang begitu dikenal yaitu dual sphere/figurativ docetism theory. Kita tidak menganalisis lebih jauh teknis penafsiran atas teks itu dari pendapat-pendapat yang berbeda tersebut. Namun kita lebih menekankan pada analisis sejarah atas teori-teori tersebut. Jika kita menyimak sejarah tafsir Islam, maka terlihat jelas bahwa substitution theory & figurativ docetism theory lebih banyak dipegang para sarjana & ulama Islam awal sedangkan swoon theory lebih populer di masa belakangan.
Sarjana Islam awal yang diketahui memegang substution theory ini yaitu al-Kalbi (763M) dan sejarawan Islam awal Ibn Ishaq (767M) yang juga menulis biografi Muhammad yang pertama. Selanjutnya ahli tafsir Islam awal yang terkenal Al-Tabari (923M) kemudian sarjana Islam lainnya seperti Abd Al-Jabbar (1025M), Al-Baydawi (1286M), Ibn Kathir (1373M), Al-Suyuti (1505M) dll. Namun mengenai siapa "orang pengganti" tersebut terdapat banyak variasi pendapat. Ada yang menyatakan bahwa dia salah satu murid Yesus dan ada juga menyatakan dia salah satu orang Yahudi yang menangkap Yesus. Ada yang menyebutkan nama orang itu Yudas dan ada beberapa nama lainnya seperti Natyanus (al-Kalbi), Tatanus (Al-Baydawi), Serjes (Ibn Ishaq).
Namun ahli tafsir lainnya mengkritisi substitution theory dengan mengajukan dual sphere/figurative docetism theory seperti Ja'far Ibn Muhammad Al-Sadiq (750M), Al-Sijistani (971M) & Abu Al-Futuh al-Razi (1131M). Theory ini beranggapan bahwa tubuh fisik Yesus yang disalib tetapi jiwanya tidak disalib sehingga tidak ada "orang pengganti" dalam peristiwa penyaliban Yesus. Dari data sejarah tafsir Islam sejak lahirnya Islam sampai abad pertengahan, belum ada data tentang sarjana Islam yang memegang swoon theory, nanti pada abad belakangan mulai banyak sarjana Islam terutama para apologet Islam yang memegang teori ini seperti Ahmed Deedat orator Islam yang terkenal. Termasuk Irena Handono yang menuliskan buku khusus tentang hal ini.
Dari penelusuran berbagai data biblikal, non biblikal & extra biblikal pra Islam ditemukan hanya beberapa dokumen sejarah saja yang memiliki kaitan dengan substitution & figurativ docetism theory namun sama sekali tidak ada petunjuk mengenai swoon theory. Data sejarah tersebut bagian dari injil apokrif & dokumen-dokumen gnostik pada abad ke-2 s/d 5 yaitu The Second Treatise of the Great Seth & Apocalypse of Peter serta pengajaran dari Basilides & Cerinthus sebagaimana ditulis oleh Ireneus (Adv. haer). Sedangkan data awal untuk swoon theory kita bisa mengaitkannya dengan ide tentang teori pingsan yang pertama kali dimunculkan oleh Venturini pada sekitar abad ke-17.
Menurut Ireneus (Adv. haer. 1.24.4), the gnostic Basilides mengajarkan bahwa Yesus tidak menderita melainkan orang lain yang mengantikan dia disalib yaitu Simon dari Kirene “Rather a certain Simon of Cyrene was compelled to bear his cross for him … and through ignorance and error it was he who was crucified.”. Sedangkan Cerintus menurut Ireneus ((Adv. haer. 1.26.1), Cerintus memiliki pemahaman adanya perbedaan antara Yesus duniawi (the earthly Jesus) dengan Kristus sorgawi (the heavenly Christ). Sehingga yang disalib adalah Yesus duniawi tetapi Kristus sorgawai tidaklah mati “in the end Christ withdrew again from Jesus—Jesus suffered and rose again, while Christ remained impassible inasmuch as he was a spiritual being.”.
Dalam the Apocalypse of Peter (VII.81.7–25) salah satu dokumen gnostik dari Nag Hammadi Library, kita bisa membaca bahwa menurut dokumen ini Petrus melihat ada dua figur yang terlibat dalam penyaliban. Salah seorang mengalami penyiksaan dengan dipaku kaki & tangannya dan orang yang lainnya melihatnya dari atas pohon sambil tertawa melihat peristiwa itu berlangsung. “The Savior said to me, ‘The one whom you saw on the tree, happy and laughing, is the living Jesus; but the one into whose hands and feet they drive the nail is his fleshly part. It is the substitute being put to shame, the one who came to being in his likeness.’”.
Hal yang serupa juga dinyatakan dalam dokumen gnostik lainnya dalam The Second Treatise of the Great Seth (VII.51.20–52.3) “I visited a bodily dwelling. I cast out first the one who was in it, and I went in … He was an earthly man; but I, I am from above the heavens.”. Dalam dokumen ini, Yesus dianggap menolak menyatakan bahwa dia yang disalib melainkan orang lain yaitu Simon "..It was another, their father, who drank the gall and the vinegar; it was not I … It was another, Simon, who bore the cross on his shoulder” (VII.56.6–11).
Dari berbagai data ini, kita bisa melihat adanya pemahaman gnostik yang beranggapan bahwa Yesus tidak disalibkan melainkan orang lain. Pemahaman lainnya bahwa bukanlah Yesus sesungguhnya yang disalibkan melalui hanya tubuh duniawinya saja. Apakah ini mirip dengan pengajaran Quran? yah, untuk substitution theory mirip dengan orang pengganti seperti Simon berdasarkan pengajaran Basilides & The Second Treatise of the Great Seth dan untuk figurativ docetism mirip dengan pengajaran Cerintus & the Apocalypse of Peter. Mungkin karena adanya kemiripan ini sehingga Menachem Ali menyebut tentang The Second Treatise of the Great Seth dalam sebuah seminar saat membahas penyaliban Yesus. Jika kita membandingkan sejarah tafsir Islam atas persoalan ini, adanya kemiripan ini memiliki kaitan dengan pendapat para sarjana Islam awal yaitu substitution & figurativ docetism theory. Hal ini menunjukan juga bahwa swoon theory memang benar-benar pendapat baru yang tidak memiliki rujukan sejarah pada masa lahirnya Islam maupun masa pra Islam.
Namun masalah yang substansial, apakah keterangan tersebut merupakan fakta sejarah yang riil atau tidak. Pernyataan-pernyataan dari Basilides, Cerintus, the Apocalypse of Peter & The Second Treatise of the Great Seth jelas bukanlah fakta sejarah melainkan imajinasi dari para pengikut gnostik. Makanya sejak awal para bapa gereja seperti Ireneus dalam bukunya yang membahas ajaran sesat, telah membantah hal itu seperti pengajaran Basilides & Cerintus tersebut. Demikian pula dengan dokumen gnostik the Apocalypse of Peter & The Second Treatise of the Great Seth yang berisi sinkretisme antara kekristenan & gnostik. Bahkan dari antara dokumen-dokumen tersebut terdapat detail signifikan tertentu yang kontradiktif, seperti yang disalibkan orang lain vs tubuh duniawi Yesus.
Perlu diketahui bahwa munculnya injil apokrif & dokumen gnostik nanti banyak terjadi mulai abad ke-2 yaitu sejak meninggalnya generasi para rasul. Pada abad pertama, ajaran-ajaran dalam kekristenan belum banyak muncul karena masih ada para rasul yang langsung mengcounter ajaran tersebut seperti surat rasul Yohanes menanggapi ajaran docetism. Sejak meninggalnya para rasul, mulai banyak bermunculan pengajar sesat dan juga menuliskan ajaran-ajarannya tersebut yang dikategorikan sebagai injil apokrif. Salah satu motivasi penulisan injil apokrif ini yaitu ingin memasukan bahan-bahan yang tidak ada dalam injil kanonik khususnya kehidupan masa kecil Yesus. Selain itu memasukan pengajaran gnostik dipadukan secara sinkretistik dengan kekristenan seperti paham docetism.
Banyak orang yang tidak paham termasuk Menachem Ali yang mencoba mengambil beberapa bagian tertentu dari injil apokrif untuk menjustifikasi Islam. Justru pemahaman dari kalangan kekristenan gnostik ini lebih menekankan pada aspek keilahian Yesus. Namun kesesatan mereka, terletak pada pemahaman kristologi yang tidak seimbang karena mereka umumnya menolak kemanusiaan Yesus. Hal ini sudah ditanggapi oleh rasul Yohanes dalam suratnya. Makanya mereka menolak Yesus bisa mati karena dianggap Yesus hanya sepenuhnya ilahi. Sehingga sungguh ironi, jika Quran mengadopsi hal ini namun disisi lain menolak keilahian Yesus yang justru posisi Yesus begitu ditinggikan sebagai figur ilahi dalam dokumen-dokumen gnostik tersebut.
Menarik menyimak pendapat salah seorang scholar Raymond Brown dalam bukunya The death of the Messiah, Volume 1 and 2: From Gethsemane to the grave, a commentary on the Passion narratives in the four Gospels (1094). New York; London: Yale University Press. Brown menuliskan
"..Islamic apologists have pointed out that Mohammed would have had no trouble accepting the crucifixion of Jesus; therefore the fact that he did not accept it shows he got revelation on the subject from God. But we do not know how much orthodox Christianity Mohammed knew; the Arabian Christianity he was acquainted with probably came from Syria and was heterodox. It may have brought with it the gnostic substitution views described above. (Tröger, “Jesus” 217, maintains that certainly the Islamic commentators on the Koran were familiar with gnostic texts.)..".Menurut Brown informasi yang terdapat dalam Quran tersebut kemungkinan didapatkan dari ajaran kekristenan heretik yang ada di Arabia. Hal ini sejalan dengan beberapa pendapat scholar lainnya seperti J. Spencer Trimingham dalam bukunya Christianity Among the Arabs in Pre-Islamic Times, London, Longman, 1979.
Dari analisis historis ini kita bisa melihat bahwa anggapan bahwa Yesus tidak mati di kayu Salib, baik pendapat yang menyatakan bukan Yesus yang disalibkan tetapi orang lain maupun pendapat Yesus memang disalib tetapi tidak mati hanya pingsan, kesemua teori ini tidaklah memiliki dasar yang kuat. Rujukan sejarah yang ada dari substitution & figuratif docetisme theory justru membuktikan adanya pengaruh injil apokrif & dokumen gnostik terhadap Quran. Dan dokumen-dokumen itu seperti kisah tentang penyaliban bukan merupakan fakta sejarah melainkan imajinasi dari pengikut gnostik yang dianggap sebagai sebuah fakta sejarah dalam Quran.